🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Jangan Ganggu Calon Istriku
Melihat Daliya keluar dari ruang meeting, Kevin segera berdiri dan menyusul. Sementara itu Pak Nauval hanya bisa termenung, bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Maaf," Ren berbicara kepada Pak Nauval, tapi tatapannya tajam melihat ke arah pintu keluar. "Sepertinya rapat kali ini harus kita tunda,"
Pak Nauval yang semula terdiam akhirnya segera tersadar saat mendengar nada bicara Ren yang berubah dingin. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu segera membereskan berkas-berkasnya dan beranjak keluar ruangan.
"Kalau begitu, saya permisi Pak," pamit Pak Nauval. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Ren, ia segera pergi dari ruangan itu.
Saat ini, hanya tertinggal Ren dan Joanna di dalam sana. Joanna sudah senyum-senyum kesenangan, mengira tindakan Ren barusan untuk membelanya.
"Ren, you harus cepet-cepet memecat perempuan itu! Kalau didiamkan makin kurang ajar!" Joanna masih terus mengompori Ren. Kedua tangannya ia gunakan untuk merangkul lelaki tampan itu.
"Minggir," ucap Ren dengan suara datar.
"Apa? I nggak denger,"
"Minggir ku bilang!" Ren berseru emosi sembari tangannya melepas paksa rangkulan dari Joanna. Gadis itu langsung terhempas ke lantai karena dorongan kuat dari Ren.
"Oh My God! You apa-apaan sih, Ren?" Joanna meringis kesakitan. "Kenapa you jadi kasar begini? I akan lapor ke Papi I!"
"Silahkan," Ren berdiri dengan kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. "Kamu pikir aku takut dengan ancaman mu itu? Joanna, jangan pikir karena Papimu ada kerjasama dengan papaku, jadi kamu bisa bersikap seenaknya,"
"Ren! I nggak—"
"Kamu pikir aku nggak tahu? Sikap kamu yang manja itu sudah sangat merepotkan orang. Kalau bukan karena papaku yang menyuruh, aku tidak akan sudi menjaga kamu. Jadi percuma saja kamu memfitnah Daliya macam-macam, karena aku tidak akan percaya!" sergah Ren.
"You jadi begini cuma gara-gara perempuan sialan itu?"
"Bukan perempuan sialan," Ren mengangkat dagu Joanna dengan telunjuknya. "Dia calon istriku,"
"What?"
"Jadi, jangan pernah kamu macam-macam dengan wanitaku!" Ren menghempaskan wajah Joanna ke samping dan berjalan meninggalkan gadis itu yang masih terduduk lemas di lantai.
...----------------...
"Liya!"
Sementara itu, Kevin masih mengejar Daliya yang telah keluar dari ruang meeting. Langkah gadis itu terlalu cepat, tapi tanpa arah. Sampai ada saat dimana gadis itu mulai menuju tangga darurat dan hampir kehilangan langkahnya pada anak tangga.
"Liya!" Untunglah, dengan cepat Kevin menangkap lengan gadis itu sebelum Daliya jatuh. "Kamu apa-apaan sih? Memangnya nggak bisa lihat di sana ada tangga!" teriak Kevin merasa marah sekaligus khawatir.
Dengan napas memburu, Daliya menoleh ke arah Kevin. Kevin terperanjat ketika menyadari wajah sahabatnya itu sudah penuh dengan air mata.
"Liya, kamu nangis?" Kevin menangkup wajah Daliya dengan kedua tangan. "Hey, what's wrong? Apa gara-gara baj*ingan tadi membentakmu?"
Daliya menggelengkan kepalanya, tangisannya mulai pecah. "Jangan nanya dulu Vin, please,"
"Oke, oke, nangis dulu aja sepuasnya," Kevin membenamkan wajah Daliya ke pelukannya, kemudian dielus-elusnya rambut panjang Daliya dengan lembut. "It's okay, semua akan baik-baik saja. Ada aku disini,"
"Huhuhu...," Daliya terisak-isak di dalam pelukan Kevin. Kedua tangannya mencengkram kemeja lelaki itu erat-erat.
Daliya juga tak mengerti. Kenapa dirinya bisa menangis seperti ini hanya karena seorang laki-laki. Tapi melihat Ren bermesraan bersama wanita lain membuat hatinya terasa hancur.
"Sorry," ujar Daliya setelah dirinya selesai menangis. Saat ini posisinya sudah tidak berada di pelukan Kevin. "Aku malah jadi ngerepotin kamu,"
"Jangan sungkan Liya, aku kan sahabat kamu," Kevin tersenyum lembut. Percakapan mereka kemudian terhenti karena terdengar dering telepon dari ponsel Daliya.
Daliya hanya menatap nanar panggilan telepon itu. Dari ekspresinya, sudah bisa ditebak kalau itu dari Ren.
"Apa nggak mau kamu angkat?" Kevin bertanya hati-hati. Sebenarnya dia sudah ingin marah dan melarang gadis itu mengangkat telepon dari Ren, tapi dia takut mulutnya yang lancang itu akan bicara buruk lagi tentang Daliya seperti terakhir kali.
"Hm," Daliya hanya bisa menarik napas panjang, tapi kemudian ia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel pada telinganya.
"Halo?"
"Daliya, kamu dimana? Aku bisa jelaskan semuanya, Joanna itu—"
"Mohon maaf Pak, saya sedang ada urusan di luar. Sebentar lagi saya akan segera menyusul bapak untuk mempersiapkan jadwal meeting kita selanjutnya," Daliya memotong ucapan Ren, membuat lelaki itu terdiam sejenak.
"Daliya, aku—"
"Jika bapak tidak keberatan, tolong tunggu saya dalam lima menit, saya akan segera ke sana," Daliya berbicara tanpa menunjukkan bahwa dirinya sedih, membuat Kevin yang memperhatikannya jadi keheranan.
"Kalau begitu, saya izin tutup telepon Pak," pungkas Daliya mengakhiri sambungan telepon.
"Liya," Kevin bertanya dengan nada khawatir. "Kamu yakin masih mau lanjut kerja?"
"Tentu saja," Daliya membulatkan tekad. "Selama tiga tahun aku berjuang untuk bisa berada di posisi ku sekarang. Jadi, aku tidak mau kalah hanya karena hal seperti ini," Daliya menepuk bahu Kevin sebelum ia beranjak pergi. "Makasih buat semuanya Vin. Kamu memang sahabat terbaik,"
Kevin hanya bisa tersenyum getir menanggapi ucapan Daliya. Entah kenapa mendengar kata 'sahabat' diucapkan gadis itu membuat dadanya berdenyut. Seperti ada sesuatu yang salah di dalam sana.
...----------------...
Ren menunggu kedatangan Daliya dengan wajah cemas.
Apa aku sudah keterlaluan? Kevin berpikir keras. Aku menyuruh Daliya pergi supaya Joanna tidak bicara macam-macam lagi padanya. Apa mungkin dia salah paham akan hal itu? Dan kenapa pula dia harus pergi bersama Kevin? Jangan sampai laki-laki itu menggodanya lagi.
Ren terlalu larut dalam pikirannya sampai tak sadar Daliya sudah berdiri di belakangnya. Gadis itu mengepalkan tangan, mencoba menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
"Pak," panggilan Daliya membuat Ren sontak tersadar. "Mari kita segera berangkat untuk jadwal selanjutnya,"
"Daliya," Ren menghampiri Daliya dengan wajah penuh sesal. Matanya meneliti wajah gadis itu dengan jeli. Ia terkejut melihat kedua mata cantik itu berubah sembab. Meski sudah tertutup make-up, tetap saja Ren bisa mengetahui perbedaannya. "Kamu habis nangis?"
Daliya sontak memalingkan wajahnya. "Tidak Pak,"
"Jangan bohong!" Ren mencengkram bahu gadis itu. "Apa kamu menangis gara-gara aku? Daliya, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengusir kamu dari sana. Kamu tahu sendiri kan, Joanna itu adalah perempuan licik. Papaku sudah berjanji dengan papanya Joanna kalau aku akan menjaganya selama di Indonesia, jadi—"
"Saya tidak butuh penjelasan bapak," Daliya berkata dengan nada dingin. "Itu bukan urusan saya,"
"Daliya?" mata Ren bergetar. "Tentu saja ini urusan kamu. Tidak, ini bukan hanya urusan kamu, tapi urusan kita berdua! Ini untuk kelangsungan hubungan kita!"
"Pak," Daliya memberanikan diri menatap mata Ren. "Hubungan apa yang bapak maksud? Kita sekarang bahkan tidak sedang dalam hubungan apapun,"
Cengkeraman tangan Ren pada bahu Daliya melonggar, napasnya tercekat mendengar penuturan gadis di depannya itu. "Kamu serius bicara begitu? Apa kejadian dua hari lalu tidak ada artinya sama sekali untuk kamu?"
"Bukankah seharusnya saya yang bertanya demikian? Bukankah menurut Anda saya ini hanya sekedar wanita yang bisa dijadikan mainan Anda? Bukankah saya ini hanya sebuah boneka yang bisa bapak buang sesuka hati?"
"Bicara apa kamu, Daliya!"
"Jujur saja, bapak memilih saya bukan karena cinta, tapi karena tidak ada orang lain lagi kan?"
Rahang Ren mengeras. "Apa perlu aku buktikan perasaanku?"
"Tidak perlu, saya tidak butuh!" Daliya berniat pergi, tapi Ren tidak melepaskannya begitu saja. Dengan gerakan cepat, lelaki itu menangkap tangan Daliya dan menarik gadis itu masuk ke dalam ruangannya. Setelah mereka berdua masuk, Ren segera mengunci pintu ruangan itu rapat-rapat.
"Apa yang bapak lakukan! Kita sebentar lagi harus— hmph!" ucapan Daliya tak bisa selesai dengan utuh karena Ren sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan sebuah ciuman dalam.
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..