Menyulam Rasa Di Balik Cadar Alina
Liam Arkand Damien menatap layar laptop dengan ekspresi datar, meski di dalam kepalanya, pikirannya berputar seperti badai yang tak kunjung reda.
Tumpukan dokumen di mejanya menunggu ditandatangani, namun perhatiannya terseret ke arah waktu. Tak terasa, jam terus berdetak menuju saat yang semakin ia hindari: kepulangan ke rumah.
Rumah. Sebuah kata yang sekarang terasa asing baginya. Tempat itu seharusnya memberi rasa nyaman, tapi justru menjadi ruang yang penuh tekanan sejak hari pernikahannya dengan Alina.
Wanita yang taat beragama, bercadar, dan penuh kesopanan itu adalah sosok yang bertolak belakang dengan dirinya. Dunia mereka begitu berbeda, seolah terpisah oleh jurang yang tak mungkin dijembatani.
Setiap hari, ia mendapati dirinya semakin menjauh. Bukan karena ia tidak menghargainya, tetapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tidak mampu. Sesuatu yang mengunci hati dan pikirannya dalam kebekuan yang tak terpecahkan.
Dia menutup laptopnya dengan sentakan kasar. Rasa frustrasi membengkak di dadanya, Pandangan matanya suram saat menatap sejenak ke luar jendela. Perusahaan ini adalah satu-satunya yang membuatnya merasa memiliki kendali.
Di sinilah ia menjadi Liam Arkand Damien, CEO yang di segani, dihormati, bahkan ditakuti. Tapi di rumah… ia adalah pria yang tak bisa mengendalikan ketakutannya sendiri.
Ketakutan untuk menyentuh istrinya, dan ketakutan untuk jatuh cinta lagi.
Dengan gerakan cepat, Liam meraih kunci mobil dan melangkah keluar dari ruang kerjanya, meninggalkan staf yang berdiri hormat di samping pintu. Matanya lurus ke depan, tidak memperdulikan sapaan hangat mereka.
Saat Liam memasuki rumah, keheningan menyambutnya. Ruang tamu terlihat rapi, aroma dupa tipis menggantung di udara, menciptakan suasana yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat dadanya semakin berat.
Dia mendengar langkah kaki ringan dari dalam, dan tak lama kemudian, muncul sosok Alina di ujung lorong dapur.
Alina mengenakan gaun panjang berwarna putih yang membungkus tubuhnya dengan sederhana namun anggun. Cadar menutupi sebagian wajahnya, hanya memperlihatkan sepasang mata yang teduh, menggambarkan senyum di balik cadarnya.
"Kamu sudah pulang," suara Alina lembut, terdengar rendah namun cukup untuk memecah keheningan di antara mereka. Dia mendekat ke arah suaminya.
Liam hanya mengangguk singkat, melepaskan jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Alina mendekat untuk mengambilnya, tetapi tangannya berhenti di udara saat Liam berkata dengan nada dingin,
"Tak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
Senyuman Alina yang sempat mengembang di balik cadarnya perlahan pudar. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dan mundur, memberinya ruang yang selalu dia inginkan.
Keduanya berjalan dalam diam ke ruang makan. Meja sudah tertata rapi dengan makanan yang disajikan di atas piring porselen. Liam duduk tanpa menunggu Alina, tanpa mengucapkan terima kasih. Kebiasaannya.
Sejak hari pertama pernikahan mereka, Liam selalu menjaga jarak. Bukan hanya jarak fisik, tetapi juga jarak emosional yang semakin hari semakin terasa memisahkan mereka.
Saat makan malam dimulai, hanya keheningan di antara mereka. Alina, seperti biasa, mencoba memecahkan suasana.
"Aku… hari ini belajar tentang tafsir ayat baru," ucapnya hati-hati, berharap menemukan percakapan yang bisa menjembatani jarak itu.
"Tentang bagaimana suami dan istri adalah pakaian satu sama lain… untuk saling melindungi dan melengkapi."
Liam berhenti menyuap makanannya, rahangnya mengencang mendengar kata-kata itu. Pakaian? Bagaimana mungkin dia bisa menjadi ‘pakaian’ bagi Alina jika dia sendiri hancur di dalam? Dia merasa lebih seperti tembok yang dingin, tak bisa ditembus.
"Aku tidak punya waktu untuk pembahasan agama sekarang," jawab Liam kaku, nadanya nyaris terdengar kasar. Tatapannya tetap tertuju pada makanan di depannya, menghindari kontak mata dengan istrinya.
Alina terdiam, merasa kata-kata itu bagaikan tamparan halus di wajahnya. Tapi, seperti biasa, dia tidak melawan. Dia hanya menunduk, diam-diam melanjutkan makannya. Hatinya mulai terbiasa dengan kekasaran Liam. Entah mengapa, dia selalu percaya ada sesuatu di balik sikap dingin suaminya, meskipun setiap hari terasa seperti cobaan yang semakin berat.
Saat malam menjelang, Liam pergi ke kamarnya sendiri, sebuah ritual yang telah menjadi kebiasaan sejak mereka menikah. Dia selalu tidur terpisah dari Alina, dengan alasan yang tak pernah dia jelaskan dengan benar. Ketika pintu kamarnya tertutup, Alina hanya bisa berdoa dalam hening, meminta kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya, berharap suatu hari sikap suaminya berubah.
Di balik pintu kamarnya, Liam duduk di tepi tempat tidur, kepalanya tertunduk. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa sesak oleh emosi yang tak bisa dia ungkapkan. Perempuan itu, istrinya, terlalu suci, terlalu baik untuk seseorang seperti dirinya.
Sosoknya yang dingin, keras, dan arogan hanyalah pelindung bagi luka yang terus menghantuinya. Trauma masa lalu itu, yang memaksa dia mengunci hati dan tubuhnya dari kedekatan, dan keintiman. Sentuhan, bagi Liam, bukanlah kenyamanan, melainkan ancaman yang tak terucapkan.
Dan malam itu, sekali lagi, dia memilih kesendirian sebagai
pelariannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Efrianto
Aku mampir kak, ngk tau mau bilang apa. Soalnya ceritanya bagus banget/Smile/
2024-10-27
0
Ceriwis (Kurogane Haruka)
Jangan terlalu sensi entar kamu cintah lo😁😁
2024-11-01
0