Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Narendra segera beranjak dari duduknya kemudian segera keluar dari ruangannya. Benar saja, ia mendapati Arumi yang tengah berjongkok di lantai dengan getaran kecil yang berasal dari pundaknya.
“Hei, Arumi, kamu kenapa nangis?” tegur Narendra yang turut berjongkok di hadapan wanita itu.
Pria itu menyentuh kedua bahu sang istri yang masih bergetar. Ada rasa menyesal telah bersikap ketus kepada wanita itu.
Arumi yang masih terisak sama sekali tidak menyadari jika suaminya mendatangi dirinya bahkan berjongkok di hadapannya. Wanita itu ingin mendongak, tetapi ia malu karena saat ini pasti wajahnya sangat sembab karena lama menangis.
“Hei … kamu nangis?” tegurnya lagi karena tidak mendapat jawaban dari Arumi.
Dengan mata yang masih memerah, Arumi mengangkat kepalanya dan menatap wajah tampan di hadapannya.
“Maaf, Tuan,” ucap Arumi yang berusaha untuk berdiri.
“Hei, kenapa kamu jadi begini? Sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu! Kamu istriku, seharusnya kamu memanggilku dengan sebutan suamiku bukan Tuan!” tegas Narendra.
“Maaf, t-tapi a-aku, aku … maaf sudah mengecewakan kamu, Ren,” lirih Arumi di sela isakannya membuat Narendra menjadi begitu miris.
Apa yang sebenarnya ada di pikiran wanita ini. Kenapa dia mudah sekali menangis, batin Narendra.
Pria itu membawa Arumi ke dalam dekapannya. Diusapnya surai hitam milik sang istri agar kembali tenang. Arumi masih menangis. Namun, kali ini tidak terlalu heboh dan hanya menyisakan sedikit isakan kecil.
“Ayo, masuk ke ruanganku dulu,” ajaknya.
Narendra kemudian melerai pelukannya dan menarik tangan Arumi untuk kembali ke ruang kerjanya. Arumi awalnya ragu, tetapi wanita itu tetap mengikuti langkah kaki suaminya.
Narendra meminta Arumi untuk duduk di sofa besar yang ada di sudut ruangannya. Sofa itu adalah sofa yang diperuntukkan untuk tamu Narendra yang berkunjung agar mereka bisa lebih nyaman dan santai.
Pria itu mengulurkan segelas air putih untuk Arumi dan segera diminum wanita itu. Kini, Arumi sudah jauh lebih tenang apalagi Narendra memperlakukan dirinya dengan begitu baik.
“Terima kasih,”
Narendra duduk di sebelah Arumi, diusapnya pipi Arumi yang masih menyisakan bekas air matanya dengan pelan.
“Kamu kenapa tiba-tiba nangis?” tanya Narendra pelan. Namun, Arumi langsung menggeleng sebagai tanda jika dirinya tidak ingin menjawabnya.
“Kamu marah dengan ucapanku yang minta kamu berhenti kerja?”
Sedikit terjeda karena Arumi tiba-tiba memandang lekat netra suaminya. “Bukankah kamu berniat mendepakku dari sini? Bukankah itu berarti kamu akan menceraikanku?”
Mendengar hal itu tentu saja Narendra langsung melotot, sebegitu jauh istrinya mengartikan ucapannya. Padahal sudah begitu jelas bahwa Narendra ingin dirinya di rumah saja.
“Kamu dapat kesimpulan dari mana? Astaga, Arumi … aku mengatakan untuk kamu tidak usah bekerja dan di rumah saja, itu berarti aku ingin kamu tinggal di rumah kita, kamu mengurusku layaknya seorang istri pada suaminya, dan biarkan aku saja yang mencari nafkah untuk keluarga kecil kita. Bukan berarti aku ingin menceraikan kamu!” Narendra benar-benar kecewa karena Arumi tidak bisa melihat betapa dirinya sedang berusaha menerima pernikahan mereka.
“Bukankah semalam dan tadi pagi sudah membuktikan kalau kamu–” Arumi menghembuskan napasnya yang terasa menekan dadanya. “aku minta maaf, Ren,”
“Jadi karena semalam aku pergi dari kamar dan tadi pagi berangkat lebih dulu, jadi kamu menyimpulkan kalau aku akan ninggalin kamu?” Narendra menjeda ucapannya, tetapi itu membuat Arumi menganggukan kepalanya.
“Buang jauh-jauh pikiran buruk yang ada di kepalamu itu, Rum. Aku pergi karena ingin menenangkan diri karena aku tidak ingin melampiaskan kekesalanku sama kamu. Terlepas dari apapun yang terjadi sama kamu, itu hanyalah masa lalu kamu. Kamu berhak untuk menguburnya dalam-dalam karena sekarang aku suamimu. Meski aku bukan pria yang pertama, tapi aku akan tetap menerima kamu dan mempertahankan pernikahan kita seperti yang pernah aku katakan sama kamu!” tegas Narendra membuat Arumi langsung menoleh ke arahnya.
“Kamu pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada aku, Ren,” ungkap Arumi menatap lekat wajah suaminya.
“Tapi aku maunya kamu, Rum. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku benar-benar tidak ingin meninggalkanmu. Kamu istriku dan aku suamimu. Kita akan terus sama-sama hingga kita berdua bisa saling mencintai dan membangun keluarga kecil kita sama-sama,”
“Kamu jangan berbohong, Ren. Tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan wanita sepertiku!” teriak Arumi dengan napas tersengal-sengal.
Ia pikir, Narendra tengah menghibur dirinya sebab kini dirinya tengah merasakan kesedihan, sehingga apapun yang keluar dari bibir Narendra, Arumi tidak serta merta percaya begitu saja.
“Ada, Arumi! Aku suamimu dan aku menerima kamu apa adanya?!” bantah Narendra dengan suara meninggi.
“Seharusnya kamu menghargai dirimu lebih dulu sebelum kamu menghargai orang lain. Kamu saja bisa menerima statusku yang duda, kenapa aku tidak? Bahkan sebelum kamu mengatakan kejujuranmu semalam, aku sudah menerima semua kelebihan dan kekurangan yang ada di diri kamu. Aku hanya butuh waktu untuk menyakinkan diri bahwa kamu benar-benar ditakdirkan untukku!” tegas Narendra dengan kilatan merah di matanya.
Mata pria itu memanas, ia akui hal itu tidak mudah dilalui Arumi seorang diri. Wanita yang terlihat begitu tegas dan kuat itu nyatanya tidak setangguh yang kelihatannya. Ada luka menganga yang mencoba ia tutup meski orang lain terus menyiramnya dengan air jeruk nipis.
Narendra meraih kedua tangan Arumi yang berada di pangkuan wanita itu. Digenggamnya dengan erat dan membawanya ke dalam dadanya.
“Percaya sama aku, apapun yang terjadi, aku akan tetap menerima kamu apa adanya. Kalau kamu bertanya apakah aku kecewa atau tidak. Maka jawabannya adalah iya, aku memang kecewa. Namun, kenyataannya, rasa kecewa itu tertutupi oleh rasa yang aku sendiri tidak tahu itu apa. Aku memang belum mencintai kamu, tapi aku juga tidak ingin kehilangan kamu. Justru aku ingin memastikan kamu selalu bahagia dengan dikelilingi oleh orang-orang yang tulus sayang sama kamu.” Kembali Narendra menjeda ucapannya.
“Arumi, bukan hanya kamu yang memiliki masa lalu yang buruk, aku pun juga punya. Jadi, jangan pernah berpikir bahwa dirimu tidaklah penting daripada orang lain. Kamu pantas dihargai karena kamu memang berharga,” pungkasnya pelan.
Lidah Arumi begitu kelu mendengar penuturan dari suaminya. Ah, dirinya memang terlalu berburuk sangka. Mungkin karena dulunya ia sudah terlalu sering dikecewakan sehingga kini sangat sulit untuk dirinya percaya kepada orang lain meski itu suaminya sendiri.
Arumi masih ragu atas penuturan dari Narendra, tetapi wanita itu mencoba untuk menyikapinya dengan kepala dingin. Sekarang dirinya hanya membutuhkan bukti nyata dari pria itu.
“Bisakah aku memegang kata-katamu itu?” tanya Arumi dengan polos.
Narendra dengan sabar pun mengangguk. “Kita rawat dan jaga rumah tangga kita sama-sama. Aku butuh kamu, dan kamu harus membutuhkanku.”
Narendra menarik tangan Arumi dan membawanya dalam dekapannya. Pria itu berjanji dalam hati untuk terus menjaga dan melindungi wanita yang ada di dalam dekapannya saat ini.
“Terima kasih, Ren. Entah kebaikan apa yang aku lakukan di masa lalu sehingga Tuhan mengirimkan sosok kamu yang begitu baik buat aku,” Meski masih ragu, tetapi Arumi. mencoba mempercayai Narendra.
“Sstt… sudah, berhenti menangis. Mau aku antar pulang?” tawar Narendra membuat Arumi langsung melepas pelukannya dan menatap Narendra dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
“Memangnya aku jadi dipecat?”
krik krik!
🤪🤪🤣🤣🤣🤣