Jatuh cinta sejak masih remaja. Sayangnya, pria yang ia cintai malah tidak membalas perasaannya hingga menikah dengan wanita lain. Namun takdir, memang sangat suka mempermainkan hati. Saat sang pria sudah menduda, dia dipersatukan kembali dengan pria tersebut. Sayang, takdir masih belum memihak. Ia menikah, namun tetap tidak dianggap ada oleh pria yang ia cintai. Hingga akhirnya, rasa lelah itu datang. Ditambah, sebuah fitnah menghampiri. Dia pada akhirnya memilih menyerah, lalu menutup hati rapat-rapat. Membunuh rasa cinta yang ada dalam hatinya dengan sedemikian rupa.
Lalu, apa yang akan terjadi setelah dia menutup hati? Takdir memang tidak bisa ditebak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Part 18
Hembusan napas berat Lusi lepaskan. Sebisa mungkin dia tata kembali hatinya yang sedikit retak akibat guncangan barusan.
Setelahnya, dia pun langsung menyibukkan diri dengan dunianya saat ini. Berusaha tidak memikirkan apa yang sudah matanya lihat dengan fokus pada keadaan yang ada di depan mata.
Beberapa waktu berlalu, antrian panjang itu akhirnya usai. Giliran Dinda untuk diperiksa pun tiba. Saat Dinda di periksa, Lusi diam sendirian di kursi tunggu. Saat dia ingin bangun, kakinya malah tidak seimbang yang membuat dia hampir jatuh ke samping.
Beruntung, seseorang sigap menahan tubuh Lusi dengan kedua tangan kekar nya. Yang pada akhirnya, Lusi dan si pria malah berakhir saling tatap dengan jarak yang sangat dekat untuk beberapa saat.
Sadar akn keadaan, keduanya langsung saling memberikan jarak. Wajah Lusi terlihat sedikit tidak nyaman akan apa yang baru saja terjadi. Sementara si pria terlihat biasa saja.
"Mbak gak papa?"
"Ah, gak. Gak papa kok. Terima kasih banyak."
"Yakin gak papa. Apa perlu saya periksa dulu. Kelihatannya, kaki itu pernah mengalami cedera sebelumnya," ucap si pria dengan pakai khas dokter pada umumnya.
Ya. Dia pria yang tadinya menolong Lusi yang hampir terjatuh. Dia memang dokter di rumah sakit ini. Tubuhnya yang reflek saat melihat Lusi yang akan terjatuh membuatnya memberanikan diri untuk bicara lebih banyak dengan Lusi sekarang.
"Yakin kok, Dok. Saya gak papa."
"Mm ... tapi memang benar, kaki ini pernah cedera saat saya masih kecil. Tapi sekarang, saya rasa sudah gak papa."
"Oo ... mm."
Si dokter malah merogoh saku celananya. Dia keluarkan dompet dari dalam saku tersebut. Lusi yang melihatnya tentu saja di serang rasa bingung. Tapi, semuanya terjawab saat si dokter dengan tiba-tiba menyodorkan kartu nama yang baru saja dia keluarkan dari dompetnya itu.
"Ini kartu nama saya. Mungkin, mbak nya ingin berkonsultasi dengan saya, bisa langsung di hubungi." Si dokter bicara sambil terus mempertahankan wajah manisnya.
Bingung? Ya, tentu saja. Di mana-mana itu yang nyari dokter adalah pasien. Yang ini kan sangat berbeda. Dokternya yang nyari pasien. Bahkan, langsung memberikan kartu namanya sekalian. Kan ada yang aneh. Berasa, ada udang di balik bakwan saja pikir Lusi.
Namun, Lusi yang punya etika baik itu mana mungkin langsung menolaknya. Dia terima kartu nama tersebut dengan wajah manis. Tentunya sambil tersenyum pada si dokter tampan.
"Ooh. Iy-- iya, Dok. Terima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih. Saya dokter."
"Anu, bisakah saya juga diberikan kartu nama?"
"Ha? Kartu ... nama saya? Untuk apa?"
"Ya, ya buat saya simpan. Mana tahu nanti anda menghubungi saya, saya malah tidak tahu siapa yang sedang menghubungi saya. Jadinya-- "
"Si." Panggilan dari Dinda langsung memotong perkataan si dokter. "Ah, lama nunggunya?" Dinda berucap lagi.
"Gak kok."
"Ya udah, pulang sekarang. Aku lapar," kata Dinda malah mengabaikan dokter yang ada di samping Lusi.
Belum sempat Lusi menjawab apa yang Dinda katakan, dokter yang ada di sampingnya yang angkat bicara duluan.
"Mau pulang sekarang? Atau, mau makan di kantin rumah sakit aja? Di sini masakannya juga enak kok."
"Hah? Dia--
"Gak kok, Dok. Kami makan di tempat kerja saja. Soalnya, harus kembali secepatnya. Maklum, banyak kerjaan."
Gegas Lusi memotong perkataan Dinda yang kelihatannya sangat ingin tahu akan apa yang sedang terjadi sekarang. Sementara itu, Dinda yang penasaran semakin penasaran. Sedangkan si dokter pula mencoba untuk memaklumi meski wajahnya terlihat sedikit kecewa.
"Oh, baiklah. Mm ... kartu namanya, Mbak."
"Hah?" Dinda semakin di buat kebingungan.
"Eh, iy-- iya. Tunggu sebentar," ucap Lusi sambil merogoh ke dalam tas yang ada di tangannya.
"Ini, Dok." Lusi serahkan kartu namanya ke tangan si dokter. Meski sebenarnya hati Lusi merasa agak berat untuk melakukan hal itu. Sebab, agak aneh rasanya jika seseorang yang baru dia kenal langsung ingin tahu siapa namanya dengan cara meminta kartu nama.
Sementara itu pula, si dokter malah terlihat sangat bahagia. Senyum manis terus dia pertahankan di bibirnya sambil melihat ke arah kartu nama yang baru saja dia terima.
"Baiklah. Sampai bertemu lagi," ucap dokter itu malah terus tersenyum.
Lusi hanya mengangguk pelan sambil memperlihatkan senyum lebar yang pada dasarnya benar-benar sedang dia paksakan. Gegas pula Lusi tarik tangan Dinda agar si sahabat segera beranjak menjauh meninggalkan dokter aneh dalam bayangan Lusi sekarang.
"Si."
"Huh. Akhirnya tiba ke lantai dasar." Lega Lusi bukan kepalang.
Dinda yang melihat hal tersebut malah tersenyum. Tidak enak badan yang dia rasakan kini malah semakin menghilang gara-gara apa yang terjadi dengan sahabatnya tadi.
"Lo digodain dokter selama aku berobat, Si?"
"Apaan sih? Siapa yang di goda dokter? Orang aku sama dia cuma ngobrol doang."
"Ha ha ha. Yang bener cuma ngobrol, Lusiana? Barusan itu gue liat lo dipaksa ngasi kartu nama. Keliatan banget kalo dia naksir lo, Si."
"Apaan sih? Gak nyaman banget. Ngomong jangan pakai lo gue. Aku gak nyaman."
"Eh .... "
"Dan satu lagi, harus ingat kalau aku gak digoda sama itu dokter. Ngobrol biasa. Bikin kesal aja."
"Kok kesal? Dokternya ganteng kok."
"Adinda .... " Kesal Lusi kini plus dengan wajah pura-pura dibuat sangat sedih.
Karena keasikan ngobrol, keduanya malah tidak peduli dengan sekeliling. Ditambah lagi Dinda yang terus-terusan menggoda Lusi yang baru saja di goda oleh salah satu dokter tampan. Alhasil, ketika mereka melewati salah satu ruangan, bahu Lusi malah langsung bertabrakan dengan bahu seseorang yang baru keluar dari ruangan tersebut.
"Auh!"
Lusi mengeluh sambil memegang bahunya. Sementara orang yang dia senggol malah sibuk memperhatikan orang yang sedang di sampingnya.
"Maaf, aku-- " Ketika bibir Lusi berucap sambil mengangkat wajah, bibirnya langsung tidak bisa dia gerakkan.
Mata mereka yang saling tatap membuat keduanya sama-sama bungkam. Bagaimana tidak? Karena yang Lusi senggol barusan adalah Saga. Saga yang baru keluar dari ruangan bersama Resti. Saga yang masih memapah Resti dengan penuh perhatian.
"Kak." Resti memanggil Saga untuk menyadarkan Saga dari tatapan lekat yang terfokus pada Lusi.
Sementara Dinda, tentu saja tidak mau kalah. Dia malah langsung menarik Lusi untuk dia ajak menjauh. "Ayo, Si."
"Lain kali, jalan pakai mata ya. Kalau mau keluar, liat dulu." Malah Dinda yang bicara dengan nada ketus pada Saga. Seolah, yang salah adalah Saga bukan sahabatnya.
"Hei!" Ratih ingin membantah. Tapi Dinda malah sudah menarik tangan sahabatnya dengan cepat untuk menjauh.
"Kak."
"Gak papa. Ayo pulang sekarang!"
Ucapan Saga barusan terasa seperti bukan Saga yang sebenarnya di mata Resti. Karena biasanya, Saga adalah pria yang sedikit galak. Barusan itu sudah sangat jelas kalau yang salah bukan Saga, melainkan yang sudah menabraknya. Tapi Saga tidak hanya tidak marah pada orang yang sudah menyenggol dia. Dia juga tidak marah saat dirinya di salahkan.
.bawangnya banyak banget....
.
Tapi thank's ya thor buat tulisannya. tetep semangat menulis
. q tunggu cerita br nya🥰
sebenernya masih kurang sih... he he..
tpi kalau emang kk author lelah, y udh berhenti aja jngn dipaksakan...🥰🥰🥰
ditunggu karya barunya..🥰😍
pdahal blm puas... he he... effort saga buat deketin lusi masoh kurang...😢