Siapa sangka, Alya yang pernah memutuskan Randy 8 tahun lalu, membuat lelaki itu memiliki dendam mendalam. Hingga saat ini, Randy masih mencari Alya hanya untuk membalaskan rasa sakitnya. Sisa cinta dan dendam seakan saling bertarung di hati Randy.
Kehidupan Alya yang berubah drastis, membuatnya mau tak mau bekerja sebagai asisten rumah tangga yang tergabung di salah satu yayasan penyalur ART ternama.
Hingga takdir mempertemukan mereka kembali, Alya bekerja di rumah Randy yang kini sudah beristri. Di situ lah kesempatan Randy memperlakukan Alya dengan buruk. Bahkan, menghamilinya tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu apa alasanku dulu memutuskanmu, kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.” – Alya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Iya, Pa, Nadia tahu kalau bisnis Papa ada di tangan rumah tangga Nadia, tapi Nadia juga sudah tidak betah diperlakukan seperti ini. Apalagi, Randy punya anak lain dengan selingkuhannya. Selama ini saja, dia tak mencintai Nadia. Lalu, sampai kapan semua ini berakhir? Nadia juga ingin hidup normal seperti yang lain.” Terdengar curahan hati Nadia dalam panggilan teleponnya bersama sang papa.
Tampak mendengarkan dengan saksama lawan bicaranya, Nadia melanjutkan ucapannya. “Om Tama terlalu menekan keluarga kita, Nadia tidak suka diperlakukan begini terus dan Papa harus segera mengakhirinya!”
Hingga panggilan itu ditutup, Nadia lalu membalikkan badannya.
“Kamu? Mau apa di sini?” Nadia terkejut mendapati Lia berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Ehm ini, Nyonya, anu, tadi saya lihat ada kecoak, mau saya pukul pakai sapu tapi dia tidak keluar juga dari kolong meja,” jawab Lia mencari alasan, yang kebetulan sedang membawa sapu.
Memandanginya dengan wajah kesal, Nadia berlalu pergi.
Sedangkan Lia tampak menghafal apa yang sudah ia dengar tadi. Ia lalu berjalan mengembalikan sapu ke tempatnya dengan raut wajah bak anak SD yang sedang mengingat apa saja daftar belanjaan yang diperintahkan orang tuanya. Tapi, saat ia akan meletakkan sapu pada tempatnya, tak sengaja ia menemukan sebuah botol kecil berisi pil berwarna putih tergeletak di samping tempat sampah.
“Ini obat apa? Sengaja dibuang apa memang jatuh?” gumamnya sembari mengambil botol tersebut.
Menggelengkan kepalanya tanda tak ingin pusing, Lia menyimpannya di saku baju dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sementara Nadia yang kembali ke kamar, segera mengajak suaminya untuk berangkat ke resepsi Alex.
Randy yang tengah melamun, tampak mengabaikan ajakan Nadia.
“Pernikahan Alex terkesan terburu-buru, padahal dia suka gonta-ganti pacar. Apa Om Tama sengaja membuat satu per satu anaknya segera menikah dan memiliki anak untuk menjadi penerus perusahaan ini? Ah, kalau saja benar begitu, aku harus gerak cepat. Rantai kekuasaan mereka harus segera terputus!” batinnya.
Randy juga mengingat kala dirinya dulu yang seperti dinikahkan mendadak oleh sang paman. “Tapi, sepertinya tidak mungkin kalau Om Tama memiliki tujuan yang sama dengan pernikahanku bersama Nadia, karena sampai saat ini pun aku belum memiliki anak. Sepertinya juga, tidak mungkin kalau Om Tama ingin aku menikah dan punya anak agar bisa menjadi penerus perusahaan. Tidak mungkin Om Tama mau membiarkan anakku nantinya menjadi salah satu pemegang jabatan di kantornya. Pasti ada tujuan lain.”
“Randy, ayo berangkat!” titah Nadia dengan suara kerasnya.
Lamunan Randy pun buyar dan ia segera mengambil jaz hitamnya juga kunci mobil.
***
Saat memandangi keluarga Om Tama di resepsi mewah Alex, hati Randy pun dibuat ingin mengamuk. Bagaimana tidak, andai ia tahu bahwa Om Tama sengaja baik padanya selama ini hanya untuk menutupi kebusukannya, tentu ia tak akan sudi menganggapnya sebagai keluarga. Tapi, sebelum ia bisa membalikkan segalanya, ia harus bersikap pura-pura tak tahu dengan semua ini.
“Selamat ya, Om dan Tante, atas pernikahan Alex. Randy turut bahagia. Alex itu sudah seperti saudara kandung Randy,” sapanya ketika mendekati sang paman.
Om Tama yang sedang mengobrol bersama para tamu dan koleganya, membalikkan badannya menghadap Randy lalu menyalaminya, juga memeluknya. “Ah, terima kasih banyak Randy, ponakan Om satu-satunya, yang juga sudah Om anggap sebagai anak Om sendiri.”
Dengan senyuman kecutnya, Randy cukup muak dengan kebohongan ini.
Tentu ada rasa iri dalam dirinya, karena apa yang Om Tama nikmati saat ini adalah haknya. Keluarga sang paman bisa hidup bergelimang harta di rumah mewahnya, sedangkan dirinya hanya tinggal bersama Bu Yusi dan Pak Mukid di rumah kecil. Padahal, seharusnya Om Tama dan istrinya lah yang mengasuh dirinya dan menganggapnya anak.
Hingga selentingan kabar honeymoon Alex dan istrinya ke negara kincir angin pun mencuat, istri Om Tama lah yang memamerkannya pada para tamu mereka.
Sementara itu di tempat lain, Pak Antonio tengah sibuk mencari berkas-berkas lain yang berhubungan dengan penanganan warisan ayah Randy dulu. Seolah ia sedang mengusahakan agar semuanya bisa menjadi bukti bahwa Om Tama telah mengingkari surat wasiat itu. Tak lupa, ia juga berkomunikasi dengan Rusdiana untuk membantu Randy mengurus persoalan ini. “Koordinasikan dengan timmu, bertarung lah di arenamu.”
Jiwa membelanya seakan kembali membara dalam diri seorang Antonio Ali, seorang pengacara dengan jam terbang tinggi pada masanya.
***
Keesokan harinya, Randy kembali menemui Gio di sekolah. Ia dan Nana yang sudah tiba di sana, menunggu Gio keluar kelas. Namun, tak lama sebuah mobil berhenti di depan mereka, seorang lelaki pun turun dari sana.
“Aku rasa Bu Puri dan Alya akan marah jika tahu diam-diam kamu mengizinkan laki-laki ini menemui Gio,” ujar Davin pada Nana.
“Jangan ikut campur,” sahut Randy.
Tersenyum remeh, Davin merasa Randy lah yang telah ikut campur. Urusannya dengan Alya telah selesai. Jadi, tak seharusnya Randy masih menampakkan dirinya di hidup Alya dan Gio.
“Tidak ada yang namanya selesai antara ayah dan anak,” cetus Randy tak gentar.
“Tidak ada juga yang namanya ayah jika dari awal tak mengakuinya anak,” balas Davin.
Nana pun berharap Gio segera keluar kelas agar ia bisa membawanya ke panti, karena telinganya sudah panas mendengar pertikaian 2 lelaki ini.
Tak lama, Gio keluar kelas dan berlari penuh riang menghampiri Randy.
“Gio, pulang sama Om Davin ya. Kita jalan-jalan setelah ini,” ajak Davin setengah menjauhkan tubuh Gio dari Randy.
Menolaknya, Gio tak ingin pergi bersama Davin dan hanya ingin bersama Randy.
“Dengar ‘kan? Dia saja ingin denganku. Pergi!” titah Randy.
Membisikkan lirih di telinga Randy, Davin mengatakan andai Gio tahu Randy adalah ayahnya dan bagaimana perilaku ayahnya itu pada mamanya dulu, tentu anak itu tak akan sudi menganggapnya ayah.
Menegaskan sekali lagi untuk tak ikut campur pada urusan masa lalunya, Randy menggendong Gio dan mengantarnya pulang ke panti.
Nana dan anak-anak panti yang lainnya pun segera menyusulnya.
Hingga sesampainya di panti, Alya yang sedang menyirami bunga di halaman panti pun terkejut melihat Gio yang berada dalam gendongan Randy, memanggilnya.
Memalingkan wajahnya sekian detik, Alya mengepalkan tangannya. “Kuat, Alya, kuat. Kamu bisa, hadapi dia. Jangan takut.”
Seakan sedang menguatkan dirinya untuk mengalahkan rasa traumanya melihat Randy, tak ada yang bisa ia andalkan saat ini selain dirinya sendiri.
“Gio, ke sini, Sayang.” Alya memberanikan dirinya menghadapi Randy.
Menolaknya, Gio masih ingin bersama Randy.
Sedikit menaikkan suaranya, Alya meminta Gio turun dan masuk ke dalam.
“Gio, Sayang, masuk ke dalam gih, besok kita main lagi,” bujuk Randy lirih lalu mencium pipi sang anak.
Entah mengapa jika bersama Randy, Gio begitu patuh.
Mengusirnya pergi dengan nada bergetar, Alya tak ingin melihat laki-laki di hadapannya itu.
“Alya, izinkan aku bicara sebentar saja padamu. Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku minta maaf...” Belum selesai Randy bicara, Alya memotongnya.
“Gio bukan anakmu. Dia anakku bersama mantan majikanku sebelummu. Aku ini wanita hina yang sengaja menggoda majikan-majikan kayaku. Bukan kamu orang pertama yang bermain denganku,” ujar Alya semakin bergetar, sakit hatinya kembali hadir kala mengingat hinaan Randy dulu padanya, yang bahkan tak mengakui anaknya.
“Alya, aku....” lanjut Randy.
“Dia bukan anakmu! Pergi!” titah Alya sekali lagi lalu membalikkan badannya berlari masuk ke dalam panti sembari menahan air matanya.
...****************...
Sambil nunggu update bab selanjutnya, boleh nih dibaca karya teman author yang satu ini.