Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan Terhadap Siti Adawiyah
Jenderal Ali khawatir kepergiannya akan menyulitkan Asrul. "Ini tidak benar. Jika aku pergi, engkau tidak bisa melakukan banyak hal sendirian."
Melihat Asrul tidak menanggapi bahkan terlihat marah, Jenderal Ali tidak membahasnya lebih jauh. "Baiklah Panglima, aku berfikir terlalu jauh. Aku pamit dulu."
Di kediaman Asrul, Jenderal Surti dan Bianca sedang membicarakan tentang orang-orang terdekat Asrul yang mulai meninggalkan Asrul.
Bianca mengatakan keadaan kediaman Asrul yang terlihat lengang. "Sejak Panglima menerima hukuman, kenapa orang-orang terdekat Panglima malah meninggalkan Panglima? Sungguh tidak setia!"
Surti menanggapi. "Yang aku tidak habis fikir, bahkan Siti Adawiyah juga meninggalkan Panglima. Menurutku, Siti Adawiyah tidak akan meninggalkan Panglima jika tidak dipaksa oleh ayahnya."
"Kenapa engkau tidak menghalanginya? Aku lihat, engkau tidak mempedulikan hal itu." Bianca malah menyalahkan Jenderal Surti.
Jenderal Surti menatap Bianca. "Apakah mereka telah pergi?"
"Tentu saja. Ini sudah dua hari kepergiannya. Aku tidak melihatnya sih, tetapi mereka tidak berada disini." Bianca menjawab.
Jenderal Surti berbalik dan hendak pergi. "Sudahlah. Bagaimanapun takdir tidak bisa dipaksakan. Yang penting sekarang bagaimana cara membantu Panglima."
Terdengar suara pintu kamar Siti Adawiyah terbuka perlahan, dan Siti Adawiyah mengintip.
"Apakah ayahku sudah pergi?" Siti Adawiyah bertanya kepada Jenderal Surti dengan berbisik.
"Tentu saja tabib Jena telah pergi.. Eh, kenapa engkau masih berada disini?" Jenderal Surti kaget melihat kehadiran Siti Adawiyah.
Siti Adawiyah menjawab. "Aku telah bersembunyi selama dua hari disini, agar ayahku pulang sendiri."
"Engkau memang sahabat sejatiku. Bahkan engkau tetap menemaniku disaat sulit." Jenderal Surti memeluk Siti Adawiyah sangat erat, seolah-olah tidak ingin berpisah lagi. "Ugh.. Bau sekali tubuhmu!"
"Aww.. Sakit! Jangan memelukku terlalu erat! Sakit tau?" Siti Adawiyah berusaha melepaskan pelukan Jenderal Surti.
"Kenapa tubuhmu bau sekali? Sebenarnya engkau selama dua hari ini bersembunyi dimana?" Bianca menutup hidungnya dengan lengan bajunya.
Siti Adawiyah menjawab. "Apakah aku bau? Aku bersembunyi di Lebak Murni."
Bianca perlahan berjalan menjauh. "Walah.. Wajar saja kau bau sekali. Lebak Murni itu adalah tempat pembuangan seluruh limbah negeri akhirat. Sepertinya aku tidak akan bisa tidur dalam beberapa hari ini karena baumu ini."
"Memang kenapa kalau bau? Engkau adalah sahabat sejatiku. Baik dimasa senang maupun susah." Jenderal Surti sangat senang melihat Siti Adawiyah.
Ketika Surti melepaskan pelukannya, ada sesuatu yang terjatuh dari kantong jubah yang dipakai Jenderal Surti.
Bianca memungutnya.
"Apakah ini kalung liontin? Jenderal Surti, engkau telah membuat kalung liontin?" Bianca tersenyum ketika mengetahui bahwa Jenderal Surti telah membuat kalung liontin.
"Untuk siapa kalung liontin itu, Surti?" Siti Adawiyah juga tidak mengetahui rencana Surti.
"Tidak perlu aku memberitahu kepada kalian. Sudahlah. Pekerjaan kita sangat banyak. Sekarang hanya kita bertiga yang tetap tinggal disini, semua sudah pada kabur. Ayo kerja!.. Apa yang kau lihat? Cepat kerja!" Surti menutupi rasa malunya dengan mengalikan pembicaraan.
Siti Adawiyah dan Bianca tersenyum tiada henti, namun mereka harus melakukan perintah dari Jenderal Surti.
Setelah meninggalkan Jenderal Surti, Siti Adawiyah berjalan menuju kamar Asrul. Dilihatnya Pudel berlarian mendekatinya.
"Anak anjing pintar.." Siti Adawiyah mengelus kepala anak anjing itu.
"Sekarang engkau cari Panglima." Siti Adawiyah melepaskan anak anjing itu, tetapi Pudel malah berlari menjauhi kamar Asrul.
"Hei.. Arahnya kemari! Apa yang kau lakukan?"
Pudel berlari semakin jauh, dan tidak lama kemudian Asrul sudah berada dibelakang Siti Adawiyah.
"Ada apa mencariku?"
Siti Adawiyah terkejut atas kehadiran Asrul. "Panglima.. Kebetulan sekali.."
"Apa engkau membutuhkan sesuatu?" Asrul bertanya tanpa bermaksud mencurigai.
Siti Adawiyah berusaha membuat sebuah alasan. "Panglima, beberapa hari yang lalu aku telah membuat kamarmu berantakan. Meskipun engkau akan mengatakan tidak masalah, tetap saja aku tidak boleh berdiam diri."
"Kapan aku mengatakan tidak masalah?" Asrul mengatakannya sambil berbalik meninggalkan Siti Adawiyah.
Siti Adawiyah cemberut melihat Asrul meninggalkannya. "Panglima hendak mempermasalahkannya?.. Padahal aku hanya asal bicara."
Siti Adawiyah mengikuti Asrul yang berjalan menuju teras depan kamarnya.
"Panglima, bolehkah aku pergi ke Lebak Murni? Sebenarnya dua hari yang lalu ketika ayahku hendak membawaku pulang, aku telah bersembunyi di Lebak Murni. Baru pagi tadi aku keluar dari Lebak Murni. Anehnya setelah aku keluar dari sana, kenapa Surti dan Bianca mengatakan bahwa aku bau? Padahal aku sudah berendam di air kehidupan beberapa jam. Tetap saja Bianca bilang bahwa dia tidak bisa tidur karena bauku. Coba apa pendapat Panglima. Apakah aku bau, coba cium aku."
Siti Adawiyah menyodorkan pipinya. Melihat Asrul berpaling, Siti Adawiyah mundur.
Kemudian Asrul bertanya. "Kenapa engkau tidak ikut bersama ayahmu pulang ke Lembah Taman Seribu Bunga?"
"Tentu saja aku tidak mau ikut ayah pulang. Panglima sangat membutuhkan orang yang berbakat. Aku adalah satu-satunya orang yang berbakat." Siti Adawiyah menjawab dengan percaya diri.
Asrul menoleh kearah Siti Adawiyah. "Apa yang bisa engkau lakukan?"
"Aku.. Aku bisa mengepel, mencuci baju,.." Asrul hanya menatap wajah Siti Adawiyah. "Aku.. Aku bisa menemani Panglima mengobrol dan mencurahkan isi hati.." Siti Adawiyah mengatakannya sambil tertunduk.
Asrul mulai menyelidiki Siti Adawiyah.
"Kudengar, tabib Jena tidak pernah membiarkanmu keluar dari Lembah Taman Seribu Bunga."
Siti Adawiyah menjawab. "Ya, benar. Ceritanya begini. Dahulu ayahku bekerja di istana negeri akhirat. Sejak Tabib Maelin bekerja di istana, ayahku mengundurkan diri, entah apa yang difikirkan olehnya. Sejak itu aku selalu diawasinya."
"Apakah engkau benar-benar tidak pernah meninggalkan Lembah Taman Seribu Bunga?" Asrul masih penasaran.
"Bagaimana bisa? Aku adalah wanita yang pintar. Tiap tiga bulan sekali aku keluar Lembah Taman Seribu Bunga. Terkadang aku tidak pulang selama dua hari." Siti Adawiyah bercerita dengan jujur.
"Apakah engkau selalu berhasil kabur?" Asrul merasa kurang percaya.
"Itu tergantung keberuntungan. Tapi pernah juga, saat aku baru keluar, ayah memergokiku lalu mengurungku. Apa Panglima mengira aku tidak bisa apa-apa? Aku sangat mahir melakukan sihir. Bahkan aku sudah memiliki kemampuan ilusi dan racun. Aku mampu menerobos pagar ilusi dan jebakan." Siti Adawiyah bercerita dengan percaya diri.
"Kemana saja tempat yang pernah engkau kunjungi?" Asrul terus memancing Siti Adawiyah.
Siti Adawiyah menjawab. "Aku pernah mengunjungi alam dunia, Pulau Es Utara, bahkan aku pernah memasuki Jurang Neraka."
"Apakah engkau tidak tahu bahayanya Jurang Neraka?" Asrul mulai berfikir sesuatu terhadap Siti Adawiyah.
"Tentu saja aku tahu. Bukankah Jurang Neraka adalah tempat terbunuhnya raja Iblis? Aku selalu mawas diri untuk menghindari pengaruh Iblis. Aku berada disana bukanlah kehendak aku. Kalau penjaga gerbang istana negeri akhirat tidak mengejarku, aku tidak mungkin terjebak masuk kesana." Siti Adawiyah menyesalkan perbuatan penjaga gerbang.