Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA TERLARANG
Vani menatap Pak Salim dengan mata berkaca-kaca. Kembali teringat bagaimana menderitanya Rani diakhir hidupnya. Kakaknya itu selalu mimpi buruk, tak jarang sampai berteriak-teriak ketakutan. Setiap hari hanya mengurung diri dikamar sambil menangis. Setelah melahirkan mengalami baby blues berat sampai keluarga menjauhkan Sisi dari jangkauannya.
"Apa anda tahu, seperti apa menderitanya kakak saya?" Vani mendongak, menatap Pak Salim sambil mencengkeram lengannya kuat. "Apa anda tahu hah?" bentak Vani. Bersamaan dengan itu, tangisnya pecah. Rasanya tak bisa terima saat kakaknya menderita, Pak Salim masih hidup enak hingga sekarang.
Vani memegangi dadanya yang sesak sambil menangis sesenggukan. Kalau tidak ingat ini rumah sakit, dia sudah teriak sekencang-kencangnya, memaki-maki pria didepannya itu.
"Kakakku yang ceria, berubah saat dia kembali dari Jakarta. Dia menjadi pemurung dan sering ketakutan. Dan yang makin membuat syok, dia sedang hamil saat itu. Setiap hari dihantui dengan mimpi buruk, mengamuk, menangis histeris, bahkan pernah mau mengakhir hidupnya. Kakakku mengalami depresi berat sampai akhirnya meninggal."
"Me-meninggal," ulang Pak Salim dengan wajah pucat pasi. Dia sungguh tak tahu jika Rani akan mengalami nasib seburuk itu.
Dengan tangan gemetaran dan air mata berderai, Vani kembali mencengkeram lengan Pak Salim. "Ya, Kakakku Rani meninggal. Dan andalah penyebabnya. Pria berengsek, kurang ajar, bajingan." Dia terus memaki Pak Salim sambil memukuli lengan dan dadanya. Pak Salim hanya diam menerima perlakukan Vani. Perlahan air matanya mulai mengalir. Terbayang seperti apa menderitanya Rani.
Lelah memukul, Vani terduduk lemas dilantai. Dia menepuk-nepuk dadanya yang sesak sambil tersedu-sedu.
Pak Salim mendekat kembali kekaca, melihat Sisi yang kondisinya masih belum stabil didalam sana. Meletakkan telapak tangan dikaca seperti ingin menyentuh Sisi. Vani yang melihat itu, langsung melemparkan tatapan sengit.
"Dan anak tak berdosa didalam sana, ada karena kelakuan bejat anda."
"Dia bukan putriku."
Vani yang mendengar itu langsung murka. Dia kembali bangun, menarik kasar lengan Pak Salim sedikit menjauh dari PICU.
"Anda benar-benar bajingan," maki Vani sambil melotot. "Saya pikir anda akan terenyuh melihat kondisi Sisi seperti itu," Vani menunjuk keruang PICU. "Tapi ternyata anda tetaplah pecundang. Anda tak mau bertanggung jawab saat Kakak saya hamil. Dan sekarangpun, anda tak mau mengakui Sisi sebagai anak anda. Pria macam apa anda ini, hah!"
Pak Salim menggeleng dengan tatapan nanar. "Tapi dia memang bukan putriku. Tak pernah terjadi apapun antara aku dan Rani, aku berani bersumpah."
Tubuh Vani terasa lemas, tangannya perlahan mulai lepas dari lengan Pak Salim. Apa ini artinya, dia sudah salah menuduh?
FLASHBACK
Hoek hoek hoek
Mendengar suara orang muntah dari arah dapur, Pak Salim yang baru pulang dari luar kota langsung pergi kedapur untuk melihat.
"Ran, kamu sakit?" tanyanya sambil menghampiri Rani yang ada didepan wastafel dapur.
Hoek hoek hoek
Rani kembali memuntahkan isi perutnya hingga keluar cairan kuning yang terasa pahit. Pak Salim yang berdiri dibelakangnya langsung mengulurkan tangan memijit tengkuk Rani.
"Tolong jangan seperti ini, Pak." Rani coba menepis tangan Pak Salim. Dia membasuh mulutnya dengan air lalu berniat meninggalkan dapur. Tapi baru beberapa langkah, kepalanya terasa berat. Dia merasa lantai yang dia pijak berputar sangat cepat. Dia hampir terjatuh kalau saja Pak Salim tak berhasil menahan tubuhnya.
"Ran, kamu kenapa?" Pak Salim panik melihat wajah Rani yang lemas dan pucat. Segera dia angkat tubuh kurus itu masuk kedalam kamar Rani. Setelah membaringkan Rani diatas ranjang, Pak Salim keluar untuk membuatkan teh hangat lalu kembali.
"Minumlah dulu."
Rani terkejut melihat majikannya membuatkan teh untuk dia. Tapi kondisi tubuh yang tidak bersahabat, membuatnya tak ada pilihan selain meminum teh hangat buatan Pak Salim.
"Terimakasih. Sekarang, tolong Bapak keluar, saya tak mau ada yang salah faham," ujar Rani setelah tubuhnya terasa sedikit enakan.
"Ran, kamu sedang sakit. Kita kedokter ya," Pak Salim memegang tangan Rani lalu menggenggamnya.
"Tolong jangan seperti ini, Pak." Rani menarik tanganya dari genggaman Pak Salim. "Tolong keluar, saya tak mau ada yang salah faham."
"Saya akan kaluar setelah memastikan kamu baik-baik saja. Kita kedokter ya."
Rani menggeleng cepat. "Saya baik-baik saja, tolong keluar."
"Ran, kamu tahukan saya mencintai kamu."
Rani berdecak pelan, bingung harus seperti apa lagi menolak Pak Salim. Sudah berkali kali Pak Salim menyatakan cinta, dan sudah berkali-kali juga Rani menolaknya.
"Tolong jangan seperti ini, Pak. Ingat, anda sudah menikah. Tolong pikirkan perasaan Bu Retno. Dia pasti sedih jika tahu suaminya menyukai perempuan lain."
Pak Salim tersenyum simpul. "Untuk apa memikirkan dia jika dia saja tak pernah memikirkanku. Dia hanya sibuk dengan kariernya, tak pernah mau peduli padaku. Jadi salahkah aku jika jatuh cinta padamu, pada wanita yang selalu ada untukku. Memasakkan makanan favoritku, membuatkan aku bekal, menemani mengobrol, sampai merawatku saat aku sakit."
"Tolong jangan salah paham. Saya melakukan itu murni karena pekerjaan, bukan karena lainnya. Apalagi karena ada perasaan untuk anda."
"Ran," Pak Salim kembali menggenggam tangan Rani.
"Lepas, Pak. Jangan seperti ini." Rani takut jika ada yang melihat. Meski saat ini Bu Retno sedang bekerja, tapi ada ART lainnya dirumah ini.
"Menikahlah denganku."
"Tidak, Pak." Rani menggeleng cepat. "Mengertilah, saya tidak mencintai Bapak. Ada orang lain yang saya cintai dan itu bukan Bapak." Rani terus berusaha menarik tangannya. Alih-alih melepaskan, Pak Salim malah memeluknya erat.
"Aku sangat mencintaimu, Ran."
"Kurang ajar kalian," teriak Bu Retno. Wanita itu tiba-tiba saja muncul didepan pintu yang memang tidak tertutup. Pak Salim reflek melepaskan pelukannya. "Dasar pembantu tak tahu diri."
PLAKK
Bu Retno menampar Rani dengan sangat kuat. Tak sampai disitu, dia juga menjambak rambut Rani, menariknya hingga terjatuh dari ranjang.
"Lepaskan dia." Pak Salim berusaha menarik tangan istrinya dari rambut Rani.
Bu Retno syok mengetahui suaminya malah membela pembantu.
.
.
Siapa yang kemarin menduga Sisi anaknya Pak Salim???
Selamat, tebakan anda salah.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan