(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Pergi
Siang itu, di jam istirahat makan siang. Seperti biasa Marchel dan Willy akan berada di sebuah cafe merangkap restoran yang ada di dalam rumah sakit tempat mereka bekerja.
"Apa kau sudah dengar tentang wabah yang melanda pelosok pulau Sulawesi? Aku dengar daerah itu sudah di isolasi." tanya Dokter Willy di sela-sela makan siangnya.
"Aku sudah dengar. Katanya mereka kekurangan tenaga medis," jawab Marchel.
"Mereka menawarkan padaku. Tapi aku menolak. Aku banyak pekerjaan di sini."
Marchel terdiam beberapa saat. Jiwa penolongnya sebagai seorang dokter seakan menariknya untuk menjadi relawan di tempat yang sangat jauh itu.
"Mungkin aku akan menawarkan diri untuk menjadi relawan di sana."
"Kau yakin? Marchel, itu tempat yang sangat jauh. Dan di sana itu pedalaman. Desa itu terserang wabah. Dan vaksinnya belum ada."
Marcel kemudian menatap tajam pada sahabatnya itu. "Tidak masalah bagiku. Aku ke sana untuk menolong orang. Bukan untuk bersenang-senang. Apa masalahnya kalau di sana pedalaman? Lagipula, kalau kau begitu takut terjangkit wabah saat menjalankan tugasmu, kenapa kau memilih menjadi seorang dokter?" Willy terdiam, seolah ucapan Marchel menghujam jantungnya. "Kita adalah seorang dokter dan sudah tugas kita menolong orang."
"Ya, kau benar. Tapi kalau kau pergi, bagaimana dengan Sheila?"
Seketika raut wajah Marchel berubah mendengar nama sang istri disebut. Jika Marchel pergi, sudah pasti Sheila akan menjadi bulan-bulanan ibunya. Tentu saja sang mertua akan dengan leluasa menyiksa Sheila tanpa keberadaan Marchel. Memikirkan itu saja, rasanya kepala Marchel terasa berdenyut.
Sheila bahkan tidak berani melawan saat ibu dan Audry bertindak semena-mena padanya. Walaupun mereka menyiksanya, Sheila tak dapat berbuat apa-apa selain pasrah dan menangis.
"Aku juga memikirkan itu. Tapi di rumah ada Bibi Yum. Dia akan menjaga Sheila dengan baik. Bibi Yum tidak akan tinggal diam kalau melihat Sheila dihukum ibu."
"Kau tidak pikirkan bagaimana perasaannya nanti? Dia pasti akan sedih kalau kau pergi."
"Aku pergi hanya sementara, Wil... Jangan berlebihan!"
Willy hanya menyahut dengan mengedikkan bahunya. Laki-laki itu tahu betul alasan Marchel ingin pergi. Selain ingin melupakan kenangan buruk malam itu, Marchel juga ingin menghindari Sheila akibat rasa bersalah yang menghantuinya.
"Aku hanya bisa berharap kau tidak salah dalam mengambil keputusan."
"Tidak akan ada yang salah dalam hal membantu orang, Wil. Aku ke sana untuk membantu mereka."
"Kau yakin? Atau kau ingin pergi hanya karena mau menghindari Sheila?" Willy menatap curiga pada Marchel, membuat yang ditatap diam seribu bahasa.
Tebakan Willy memang benar adanya, namun keinginannya menolong orang pun sangat besar.
"Kau benar! Sebagian alasanku untuk pergi memang karena aku mau menghindari Sheila. Setiap kali aku menatap wajah polosnya, aku merasa diriku sangat kotor. Aku sudah melakukan dosa besar dengan menghkianatinya."
Willy kemudian menepuk bahu sahabatnya itu. "Kau mencintai Sheila, kan? Aku yakin kau sudah jatuh cinta padanya. Hanya saja kau belum menyadarinya. Dan..."
"Tidak! Itu bukan cinta." Marchel dengan cepat menyela.
"Baiklah, teruslah membohongi dirimu. Suatu hari kau akan menyesal kalau Sheila pergi darimu," ucap Willy.
"Sheila tidak akan kemana-mana. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Dokter Willy hanya dapat menggelengkan kepalanya. Sudah tidak sanggup lagi mendebat sahabatnya itu. Marchel terus menyangkal perasaannya dan terkadang sangat keras kepala.
"Jadi, apa kau akan mengajukan permohonan untuk menjadi relawan di sana?"
"Ya. Aku rasa itu keputusan terbaik untuk saat ini. Aku butuh waktu untuk melupakan malam itu."
****
Sheila duduk melamun seorang diri di taman belakang sekolah. Pikirannya terus tertuju pada Marchel. Sejak kejadian malam itu, Marchel terkesan menghindarinya. Bahkan, kini mereka kembali tidur di kamar terpisah.
Tepukan lembut yang mendarat di bahu gadis itu membuyarkan lamunannya. Rayhan datang, dan langsung duduk di sampingnya.
"Ada apa denganmu? Sejak tadi aku perhatikan dari jauh melamun saja." Rayhan menyelonjorkan kaki panjangnya di atas rerumputan.
"Aku tidak apa-apa. Hanya ada sedikit masalah."
"Masalah? Kau ada masalah tapi menutupinya dariku. Sahabat macam apa kau ini." Rayhan mendorong pelan bahu Sheila.
"Maafkan aku."
"Apa Maya mengganggumu lagi?" tanya Rayhan diikuti gelengan kepala oleh Sheila.
"Bukan Maya. Ini tentang hal lain. Aku belum bisa menceritakannya."
"Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan menunggu dengan sabar."
Sheila kembali melamun. Larut dalam kesedihannya sendiri. Memikirkan Marchel yang semakin menjauh darinya. Ada kerinduan yang teramat besar di hati gadis polos itu.
Kenapa aku sangat merindukan Kak Marchel. Sekarang dia kembali seperti dulu. Sangat dingin dan tidak peduli padaku lagi.