Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Makan Siang yang Terlupakan
Hari itu adalah hari Jumat, dan Adara sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk sedikit bersantai. Setelah seminggu penuh jadwal yang padat dan pekerjaan yang menumpuk, ia berencana untuk menikmati makan siang panjang dengan menu kesukaannya di kafe dekat kantor. Bahkan, sebelum meninggalkan rumah tadi pagi, ia sudah membayangkan menikmati sepiring pasta seafood yang kaya rasa, segelas minuman segar, dan mungkin, jika waktunya cukup, secangkir kopi yang hangat untuk menemaninya menghela napas panjang.
Namun, tepat pukul sebelas pagi, ponsel kantor Adara berdering. Suara di seberang telepon sangat khas—dalam, tegas, dan langsung mengarah. Itu adalah Arga, bosnya yang terkenal dingin dan sulit didekati.
"Adara, tolong datang ke ruangan saya," suara Arga terdengar di ujung telepon.
“Baik, Pak,” jawab Adara cepat sambil bergegas ke ruangan Arga di lantai paling atas.
Begitu memasuki ruangan, Adara merasa hawa tegang. Arga duduk di belakang meja kerjanya, menatap komputer dengan ekspresi serius. Ruangan itu, dengan dinding kaca besar yang memandang ke gedung-gedung tinggi, dipenuhi dengan keheningan yang hanya diisi suara tik-tok jam dinding.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak Arga?” tanya Adara dengan nada hormat.
Arga hanya mengangguk tanpa berkata-kata, menunjukkan setumpuk berkas di atas meja. “Kita perlu menyelesaikan laporan ini hari ini. Saya sudah menjadwalkan pertemuan dengan klien penting sore ini, dan laporan ini harus lengkap sebelum mereka datang.”
Adara terkejut. “Hari ini juga, Pak?”
"Ya, hari ini juga," jawab Arga singkat, tanpa menunjukkan ekspresi.
Adara mengangguk, mencoba menyembunyikan sedikit rasa kecewanya. Sejak mulai bekerja di perusahaan ini, ia memang sudah terbiasa dengan ketidakpastian dan perubahan jadwal yang mendadak, tetapi kali ini sedikit berbeda. Makan siang panjangnya yang sudah direncanakan sepertinya harus ditunda.
Duduk di meja samping, Adara mulai bekerja dengan fokus penuh, mencoba membaca dan memverifikasi data yang ada di setiap halaman. Suara Arga yang sibuk dengan panggilan telepon dan mengetik membuat suasana menjadi semakin serius. Sementara itu, waktu terus berjalan tanpa ia sadari. Terkadang, ia mencuri pandang pada jam di layar komputernya, dan perutnya mulai memberikan tanda-tanda lapar. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan tetap fokus pada tugas yang sedang dikerjakan.
Pukul satu siang, Arga bangkit dari kursinya. "Saya akan keluar sebentar untuk bertemu klien. Tetap di sini, dan pastikan data ini selesai saat saya kembali."
"Baik, Pak," jawab Adara.
Setelah Arga pergi, Adara menghela napas panjang. Kesempatan untuk makan siang semakin tipis, namun ia masih berharap bisa menyelinap sebentar untuk sekadar mengambil sesuatu yang bisa mengganjal perutnya.
Namun, tepat ketika ia berencana meninggalkan mejanya, ponselnya berdering. Arga kembali meneleponnya, kali ini dengan instruksi tambahan untuk menyiapkan beberapa berkas lain yang harus dicetak, diurutkan, dan disusun dengan rapi.
Seolah waktu semakin mendesaknya, Adara harus kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya. Dia menghela napas lagi, mencoba menahan rasa lapar yang semakin mengganggu. Dengan penuh konsentrasi, ia mencoba menyelesaikan semua permintaan Arga, dan lagi-lagi mengabaikan rasa laparnya.
Menit demi menit berlalu, dan jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Saking sibuknya, ia benar-benar kehilangan waktu untuk makan siang. Namun, semua pekerjaan akhirnya selesai tepat pada saat Arga kembali ke ruangan. Arga melirik tumpukan berkas di meja Adara dan mengangguk puas.
"Bagus, Adara. Semuanya sudah siap," katanya sambil membaca ringkasan laporan yang Adara berikan.
Adara tersenyum tipis, menutupi rasa letih yang mulai menyergap. Namun, tanpa disangka, Arga mengamati wajahnya dengan seksama. "Kamu terlihat pucat. Sudah makan siang?"
Adara terkejut mendengar pertanyaan itu. Belum pernah Arga bertanya tentang hal-hal pribadi seperti ini. Ia menggeleng pelan. "Belum, Pak. Masih menyelesaikan laporan seperti yang Anda minta."
Arga mengangkat alis. "Belum makan sejak pagi?"
Adara mengangguk malu-malu. "Ya, Pak. Tidak masalah, saya bisa makan setelah ini."
Arga diam sejenak, lalu memandang jam tangannya. “Saya juga belum makan. Ikut saya. Kita pergi ke restoran di dekat sini.”
Adara tertegun. Bosnya ini jarang sekali menunjukkan perhatian pada hal-hal kecil seperti itu, apalagi mengajaknya makan. Tetapi tanpa banyak berkata, ia mengangguk dan mengikutinya. Mereka turun ke restoran hotel terdekat, dan Arga memilih meja di sudut yang agak sepi. Begitu menu diberikan, ia memesan untuk mereka berdua tanpa banyak tanya, tampaknya sudah memahami selera Adara dari pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Makan siang itu terasa canggung pada awalnya. Adara tidak tahu harus berkata apa, sementara Arga duduk dengan tenang dan terlihat nyaman. Dia hanya sesekali menatap Adara, tetapi pandangan itu seolah menembus dirinya, membuat Adara sedikit gugup.
Ketika makanan disajikan, mereka makan dalam diam. Namun, di tengah makan, Arga tiba-tiba bertanya, “Apa kamu betah bekerja di sini, Adara?”
Pertanyaan itu mengejutkannya. “Tentu saja, Pak. Saya belajar banyak dan sangat menikmati tantangannya.”
Arga mengangguk sambil tersenyum tipis. "Kerja keras itu penting, tapi kesehatan juga tidak kalah penting. Jangan sampai lupa makan, terutama di tengah tekanan pekerjaan seperti ini."
Adara tersenyum. “Terima kasih atas perhatiannya, Pak.”
Namun, dalam hatinya, ia sedikit terharu. Tidak disangka, pria yang selama ini ia kenal sebagai bos dingin dan kaku bisa menunjukkan perhatian kecil seperti itu. Setelah makan, Arga bahkan sempat membahas proyek-proyek yang sedang ditanganinya, seolah ingin membuka komunikasi lebih akrab. Adara merasa nyaman mendengarnya bercerita, seakan-akan ia tidak hanya menjadi sekretaris, tetapi juga seorang rekan yang dianggap penting.
Sore itu, Adara kembali ke kantornya dengan perasaan berbeda. Makan siang yang ia anggap sepele ternyata menyimpan kesan mendalam baginya. Ada sisi dari Arga yang selama ini tertutup rapat, sisi yang mungkin penuh perhatian, namun terpendam di balik sikap profesionalnya.
Dan sejak saat itu, Adara mulai melihat pekerjaannya dengan sudut pandang baru. Makan siang yang terlupakan hari ini ternyata menjadi titik awal dari kedekatan yang selama ini tak pernah ia bayangkan.