Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Fauzana harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Erik.
Berharap dukungan keluarga, Fauzana seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Fauzana lakukan setelah kejadian ini?
Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Setelah makan malam, Kevin sengaja mengantar Rakha dulu biar dia ada kesempatan berdua dengan Ana. Atasannya itu terpaksa mengikuti karena tanpa bertanya dia telah menjalankan mobil menuju rumahnya.
Kevin langsung menjalankan mobil kembali setelah pamit dengan Rakha. Dia lalu meminta Ana untuk duduk di depan.
"Ana, duduk di depan dong. Aku seperti supir kamu jadinya kalau kamu duduk di belakang," ucap Kevin.
"Maaf, Kev. Aku pindah dulu, ya," ucap Ana. Dia keluar dari mobil setelah Kevin mengehentikan mobil di pinggir jalan yang sepi.
Kevin memang sengaja meminta Ana pindah saat telah jauh dari rumah atasannya, agar tak dilihat Rakha. Dia tak mau atasannya jadi berpikir macam-macam kalau melihat dia meminta Ana pindah ke depan.
Setelah Ana pindah, Kevin kembali menjalankan mobilnya. Dia melirik sesekali ke samping.
"Apa aku memang harus bersaing dengan atasan sendiri?" tanya Kevin dalam hatinya.
Saat perjalanan sudah setengah jalan, Kevin akhirnya membuka suara. Dia ingin tahu kehidupan pribadi wanita yang diam-diam dia cintai itu.
"Ana, apa kamu sudah memiliki kekasih?" tanya Kevin dengan ragu.
Ana menoleh ke samping. Dia tersenyum saat bertatap dengan Kevin. Pertanyaan pria itu mengingat kembali pada sosok pria pertama yang mengisi hatinya. Erik adalah cinta pertamanya. Dia berharap dulu pria itu juga menjadi cinta terakhir baginya. Tapi semua hanya tinggal harapan.
"Aku ... Aku tak punya kekasih. Belum mau berpacaran atau menikah secepatnya. Masih banyak mimpi yang ingin aku gapai," jawab Ana. Matanya menerawang entah kemana.
Mengingat Erik, membuat lukanya kembali terkoyak. Dia bukannya tak ikhlas. Sekali lagi bukan masalah belum move on. Namun, luka itu begitu dalam sehingga dia juga butuh waktu untuk dapat menyembuhkan semua itu.
Jika dikatakan belum move on, Ana tak setuju. Dia bukannya tak bisa melupakan pria itu jika hingga detik ini belum memiliki kekasih lagi. Tapi dia hanya ingin benar-benar siap membuka lembaran baru ketika bertemu dengan pria yang tepat, tak ingin terulang lagi.
"Kamu belum pernah pacaran?" tanya Kevin lagi.
Ana tersenyum saja kali ini. Tak ingin menjawab pertanyaan pria itu. Kevin tak bertanya lagi, dia mengerti karena gadis itu pasti tak suka pribadinya di tanyakan.
Sampai di kost, Ana langsung turun sebelum Kevin membukakan pintu untuknya. Dia tersenyum pada pria itu.
"Terima kasih, Kevin," ucap Ana.
"Tak perlu terima kasih, Ana. Aku pamit dulu," jawab Kevin.
"Hati-hati ...," balas Ana.
Kevin mengangguk sebagai jawaban. Dia lalu melajukan mobilnya menuju kost yang dia tempati, tak jauh dari kost putri.
Baru saja Ana membuka pintu kamar, terdengar suara ledekan Meyda. Ternyata sahabatnya itu sudah pulang dari rumah saudaranya.
"Cie ...cie yang lagi pedekate, nih!" ledek Meyda.
"Apaan, sih? Baru masuk rumah, bukannya di tanya dari mana, malah ngeledek!" balas Ana pura-pura kesal.
"Gimana kencannya hari ini? Sudah aku bilang, Kevin itu suka sama kamu. Terima aja dari pada jomblo terus," ucap Meyda.
"Aku tak mau. Masa menerima pria sebagai kekasih hanya karena takut dan malu dikatakan jomblo. Bukan karena memang telah siap untuk berhubungan. Aku tak mau gagal lagi, Mey," balas Ana.
Ana sudah menceritakan semua tentang kehidupan pribadinya pada sang sahabat. Hanya pada Meyda dia berani berterus terang.
Meyda jadi terdiam. Saat Ana pertama mengatakan semua tentang Erik dan keluarganya, mereka menangis berdua hingga pagi. Dia tak mau melihat sahabatnya itu sedih lagi.
"Tapi aku lihat Kevin pria yang baik," ucap Meyda serius.
"Erik juga pria yang baik. Tiga tahun kami berhubungan dia tak pernah menyakitiku, tapi sekali memberi luka, langsung menghujam dada ini. Aku masih merasakan sakitnya hingga saat ini," ucap Ana.
"Maaf, Ana. Aku tak bermaksud membuka lukamu," ucap Meyda. Dia memeluk sahabatnya itu. Tangis Ana pecah dalam pelukannya.
Setelah puas menangis, Ana lalu mandi dan membersihkan diri. Dia langsung membaringkan tubuhnya. Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Ana. Matanya langsung terpejam.
"Ana, semoga sakit yang kau rasakan akan di bayar dengan kebahagiaan suatu hari nanti. Aku yang hanya mendengar ceritamu saja begitu sakit, apa lagi kau yang mengalaminya," gumam Meyda dalam hatinya. Dia juga ikut membaringkan tubuhnya di samping gadis itu.
***
Seminggu telah berlalu sejak Ana dan Pak Rakha mengunjungi proyek. Hubungannya masih tetap sama, selalu saja atasannya itu membuat kesal.
Pagi ini dia di minta menghadap lagi. Ana langsung berpikir, apa lagi yang akan pria itu lakukan untuk mengerjainya.
Ana mengatakan pada Meyda apa yang atasannya ucapkan, gadis itu lalu mengartikan samua ucapan Rakha, juga tentang sesuatu yang tidur itu. Ana jadi malu mengetahui hal itu. Dia tak tahu istilah-istilah begitu.
"Ini undangan untukmu dan sahabatmu Meyda. Jangan sampai telat dan jangan lupa dandan yang cantik!" ucap Rakha.
'Terima kasih, Pak," balas Ana.
Setelah menerima undangan itu dia langsung keluar dari ruangan sebelum atasannya itu mengerjai dirinya lagi. Ana memberikan undangan itu pada sahabatnya.
Pulang kerja, Meyda mengajaknya ke salon untuk berdandan. Ana awalnya tak mau, dia ingin dandan sendiri saja. Namun, sahabatnya memaksa. Meyda mengatakan pesta ini salah satu ajang pamer bagi seluruh karyawan. Banyak yang hadir dengan dandanan cetar.
Setelah berdandan mereka kembali ke kost sebentar, meletakkan baju kerja tadi mereka pakai dan langsung menuju gedung tempat pesta berlangsung. Keduanya pergi menggunakan taksi online.
Sampai di tempat tujuan, Ana dan Meyda langsung masuk ke ruang pesta. Sudah banyak karyawan lain yang hadir. Mereka memilih duduk di sudut kanan.
Baru saja Ana akan duduk di tempat yang dia pilih, datang seorang bocah sekitar berusia lima tahun mendekatinya. Anak kecil itu sangat cantik, dia mendekati Ana dan memeluknya.
"Mami ... Kamu maminya aku'kan?" tanya bocah kecil itu dengan wajah memelas.
Ana dan Meyda jadi saling pandang. Mereka kaget karena kedatangan putri kecil itu.
"Ana, kamu sudah punya anak?" tanya Meyda dengan tersenyum.
"Enak aja. Aku masih perawan tingting ya," jawab Ana.
"Terus siapa bocah ini, kenapa dia memanggil kamu mami?" tanya Meyda.
"Mami, ayo ke sana!" ajak gadis cilik itu. Dia menunjuk ke dekat panggung.
Ana lalu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak kecil itu.
"Anak cantik, aku bukan mami kamu," ucap Ana pelan.
Di luar dugaan gadis itu menangis dengan kenceng sehingga dia dan bocah itu menjadi pusat perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Ana menjadi sedikit gugup karena takut dikira mencubit atau memukul gadis cilik itu.