Cecil dan Kevin sepasang kekasih. Hubungan mereka terkendala restu dari mamanya Cecil. Namun, karena rasa cintanya yang begitu besar, Cecil pun berani menantang orang tuanya.
Padahal, tanpa Cecil sadari, dia hanya dimanfaatkan Kevin. Gadis itu sampai rela menjual barang-barang berharga miliknya dan bahkan meminjam uang demi menuruti permintaan sang kekasih.
Apakah hubungan yang toxic ini akan bertahan? Sadarkah Cecil jika dia hanya dimanfaatkan Kevin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan
“Cecil! Kamu mau dengar apa nggak, sekali melangkah pergi kau tak boleh kembali lagi!” teriak Mama Nicky.
Cecil menggeram. Kenapa Mama Nicky selalu berteriak? Kala itu, dia sudah berada di ambang pintu, merasakan pergelangan tangannya ingin berbalik dan melangkah pergi.
“Aku tidak peduli! Aku sudah bilang aku bisa mengurus diriku sendiri!” Cecil menjawab sambil melangkah ke luar, berusaha menahan emosi.
Langit malam menyeruak ke dalam matanya, membuat jiwanya terasa lebih bebas. Namun saat dia menginjakkan kaki di halaman, suara Mama Nicky semakin keras terdengar dari belakang. Dia berhenti melangkah sejenak.
“Cecil, jangan kau pergi! Kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik!” Suara Mama Nicky penuh kepanikan. Cecil bisa merasakan ketidakberdayaan dalam nada suara mamanya.
Cecil menghentikan langkahnya lagi, menoleh dengan kesal. “Bicara baik-baik? Udah berapa kali kita coba bicara, Ma? Kamu selalu menyuruhku untuk mengikuti aturanmu, tanpa mendengar pendapatku! Mama selalu saja menyalahkan Kevin tanpa pernah mendengar ucapanku”
Mama Nicky keluar dari pintu, menatap putrinya dengan bola mata yang berkaca-kaca. “Ini demi kebaikanmu, Ce! Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Pria itu bukanlah orang baik!”
“Takut? Atau kamu hanya ingin mengendalikan hidupku?” Cecil melawan, suaranya menggelegar seperti petir, menggema di halaman. “Aku ingin hidupku sendiri! Aku tau mana yang baik untukku!"
“Cecil, kamu masih muda! Kamu butuh bimbingan!” Mama Nicky berusaha meminta pengertian, tetapi Cecil merasa semua itu hanya kebohongan belaka.
Cecil menggigit bibirnya. Dia tahu, bukan hanya perdebatan kecil ini yang membuatnya marah. Ini tentang kebebasannya, harapannya untuk mengejar mimpi-mimpinya yang terasa semakin jauh dengan setiap larangan yang diberikan mamanya. Terutama tentang larangan baginya untuk berpacaran dengan Kevin.
“Aku ingin pergi, Ma. Aku sudah cukup dengan semua ini!” Dia berbalik, berusaha menuju mobilnya yang terparkir hanya beberapa langkah dari situ. Niatnya sudah bulat, tetapi jantungnya berdegup kencang saat mengingat pandangan mamanya yang penuh harapan.
“Tunggu! Kembali ke sini!” Mama Nicky berlari mengejar, suaranya penuh ketegangan. “Jika kamu pergi, semua ini tidak akan sama lagi, Ce!”
Cecil berhenti di depan mobil, meraih pintu mobil dengan jari-jari temannya, tetapi urung membukanya. Dia menatap mamanya. Ada kerinduan yang aneh di antara kemarahan yang membara. Gadis itu masih berharap sang mama menahan kepergiannya dengan merestui hubungannya dengan Kevin.
“Ma, aku harus pergi ... aku tidak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang dan tekananmu!” Cecil menjerit, suaranya penuh getaran.
Mama Nicky tiba-tiba terdiam. Dia melihat Cecil dengan tatapan hampa. “Ce, kamu tahu nggak? Mama juga merasa tersakiti. Tapi mama hanya berusaha melindungi mu.”
“Melindungi ku? Dari apa?” Cecil hampir menangis. “Aku bukan anak kecil lagi, Ma! Aku mau menentukan pilihanku sendiri! Kevin itu tak seburuk yang Mama pikirkan!”
“Kalau kamu pergi, kamu akan menyesal!” Mama Nicky memberi peringatan. “Dunia ini tidak seindah yang kamu bayangkan, dan mama tidak ingin kamu kehilangan arah. Kamu hanya dibutakan karena cinta seorang pria!”
Cecil menghela napas, rasa pahit muncul di tenggorokannya. “Mama, bukankah setiap orang punya cara masing-masing untuk menemukan arah? Berharap pada kebebasan itu normal, kan?”
Mama Nicky merengut, seraya berjalan mendekat. “Tapi kamu harus tahu mana yang baik dan buruk. Terkadang, kebebasan itu justru bisa menghancurkan mu.”
“Bukan! Yang menghancurkan ku adalah semua aturan yang mengikatku!” Cecil menjawab, kini matanya mulai mengambang.
Dari hati kecilnya, Cecil tak ingin membantah ucapan mamanya. Namun, dia juga tak bisa berpisah dari Kevin untuk saat ini.
“Cecil, tidak ada satu pun orang tua yang ingin anaknya tersakiti. Mama cuma ... mau kamu aman. Kevin bukan pria yang baik, tak pantas kamu cintai!" Mama Nicky mengungkapkan perasaannya yang nyaris putus asa.
Cecil menggigit bibirnya, ragu. Dia bisa merasakan hati mamanya, tetapi suara hatinya lebih keras. “Kalau begitu, izinkan aku melangkah sendiri, Ma. Ini adalah cara terbaik agar kita bisa saling menghargai. Aku tak mau Mama mendikte ku hingga melarang ku dekat dengan pria manapun!”
“Tidak, Cecil! Mama tidak akan mengizinkanmu pergi dengan cara ini!” Mama Nicky berkeras, mencoba mendekatinya.
Cecil merasa tubuhnya mulai bergetar. “Sampai kapan? Sampai kapan kamu akan mengatur semua aspek hidupku? Aku tidak bisa terus seperti ini! Aku bukan anak kecil lagi. Usiaku sudah dua puluh tahun. Aku ingin Mama menghargai pilihanku!"
Cecil melangkah mundur, mengusap air mata dengan kasar. Dia berusaha menguatkan diri. Mama Nicky pun terdiam, tatapannya mengisyaratkan betapa sakitnya mendengar putrinya berteriak. Dia sebenarnya juga tak menginginkan pertengkaran ini, tapi putrinya harus diingatkan karena cinta gilanya itu bisa membuat dia sengsara nantinya.
“Kalau kamu pergi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu,” kata Mama Nicky pelan, seolah mengumandangkan mantra.
“Jangan berkata seperti itu, Ma. Kamu tidak bisa mengendalikan hidupku dengan ketakutan,” jawab Cecil, suara getarnya mulai reda.
Mama Nicky menatap putrinya dengan harapan yang mulai pudar. “Cecil, yang Mama inginkan adalah yang terbaik. Kuliah, pekerjaan, memiliki kehidupan yang aman dan pria baik yang mencintaimu ... semua terasa sejalan.”
“Ya Tuhan, Ma! Itu semua yang kamu inginkan, bukan aku! Apakah kamu mendengarkan apa yang kuinginkan?” Cecil melawan lagi, kali ini tanpa rasa ragu.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Mama Nicky lirih, matanya mulai berbinar dengan harapan.
“Bebas! Mengurus diriku sendiri, menentukan pria pilihanku sendiri, tanpa kamu mengatur semua hal! Mungkin aku bisa mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang aku senangi.” Jawaban Cecil semakin jelas.
Mama Nicky tertegun, tampaknya tertegun oleh keberanian putrinya. “Dan bagaimana kalau semua itu tidak berjalan baik? Apa kamu bisa menerima hidup yang penuh risiko?”
Dia masih mencoba membuka hati putrinya agar sadar jika Kevin bukan pria yang baik. Dia tak ingin Cecil makin terpuruk lebih dalam lagi.
“Sepertinya itu adalah bagian dari hidup, Ma! Belajar dari kesalahan!” Terang Cecil, merasakan ketegangan mulai mereda. “Aku hanya ingin mencoba menjalani hidupku sendiri.”
Waktu terasa terhenti. Mama Nicky melihat putrinya dengan rasa cinta yang begitu dalam, jantungnya berdegup kencang mendengar jawaban Cecil. Setelah beberapa detik yang menegangkan, dia juga teringat masa-masa ketika dia masih muda, waktu di mana impian seakan digenggam erat di tangannya.
“Cecil, untuk saat ini … kalau itu yang kamu inginkan, mama tidak bisa melarangmu. Tetapi mama harap kamu tak akan menyesal dengan pilihanmu ini,” kata Mama Nicky dengan suara rendah.
Cecil menarik napas dalam. Dia sebenarnya juga berat meninggalkan rumah tempat dia dibesarkan. Tapi harus bagaimana lagi, dia ingin buktikan jika Kevin tak seburuk yang mamanya katakan.
Cecil membuka pintu mobilnya. Dia kembali memandangi mamanya. Rasanya ingin memeluk wanita yang telah melahirkan dirinya. Sejak kedekatannya dengan Kevin mereka selalu bertengkar dan tak pernah ada pelukan lagi.
"Pergilah kemana kamu mau pergi, tapi Mama minta jangan bawa mobil itu!" ucap Mama Nicky tiba-tiba.
Cecil yang akan masuk mobil terkejut mendengar ucapan mamanya. Wanita itu melarang dia membawa mobil. Itu artinya dia harus pergi dengan taksi. Karena egonya, gadis itu menutup pintu mobil dan mengambil kopernya, lalu menyerahkan kunci ke tangan mamanya.
"Ambillah ini. Aku tak butuh ...!" ucap Cecil.
Cecil lalu berjalan keluar halaman rumah menuju jalan raya. Tak ada sedikitpun menoleh ke belakang lagi. Sepertinya tekadnya telah bulat untuk meninggalkan rumahnya.
tp gmn kl emg dh sifat dy begitu..
ya tergantung qt aja sbgai istri yg menyikapinya...
ya qt jg hrs ekstra lbh sabar mnghdapinya...