Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Nama Yang Hampir Sama
Terpaksa Haliza kembali ke rumah, setelah dengan nada marah sang papa menghubunginya dan menyuruhnya pulang. Rasa kecewa itu kian bertambah, setelah di bandara, Haliza tidak mendapatkan penjelasan dari Ardian, kenapa dia memutuskan tali kasih diantara mereka. Padahal Ardian sempat membicarakan keseriusannya untuk membawa hubungan itu ke jenjang pernikahan.
"Aku belum menemukan jawaban atas sikapmu itu, Mas. Sebelum aku mendapatkan jawaban itu, maka hidupku tidak akan merasa tenang. Apa salahku, Mas, sehingga kamu melukai perasaanku?" Sepanjang jalan Haliza meneteskan air mata, mengingat hubungannya bersama kekasih kandas begitu saja.
Tiba di rumah, kedatangannya sudah disambut oleh kedua orang tuanya.
"Akhirnya kamu pulang Liza. Siapkan diri kamu, nanti malam sehabis Isya, keluarga calon suami kamu akan datang kemari untuk melamarmu." Pak Hasan langsung mengatakan inti dari topik pembicaraan, sehingga membuat Haliza terbelalak tidak percaya.
"Apakah Papa tidak salah, secepat itu Liza dijodohkan? Liza tidak mau, apalagi dengan abdi negara yang Mama dan Papa ceritakan tadi siang." Haliza langsung menolaknya mentah-mentah, dia tidak terima jika dirinya dijodohkan dengan seorang abdi negara.
"Kamu pasti nanti akan menyukainya setelah tahu siapa dia," ujar Bu Hana merasa yakin kalau sang anak akan suka jika nanti melihat siapa calon suaminya.
"Tidak, Liza tidak akan suka. Setampan apapun dia." Masih dengan tampikannya, Haliza bergegas menuju kamarnya di lantai dua dengan kaki dihentak, menandakan dia sangat kecewa.
Hanin sang kakak yang kebetulan datang bersama anak dan suaminya, dengan pengertian mengikuti sang adik semata wayangnya. Dalam kondisi seperti ini, ia harus bisa memberikan rasa nyaman dan support.
"Mbak boleh masuk?" Tanpa menunggu diijinkan, Hanin sudah memasuki kamar sang adik, Hanin duduk di tepi ranjang di samping Haliza yang terlihat sangat kalut.
Hanin meraih bahu sang adik untuk sekedar memberi kekuatan.
"Mbakkk," sedihnya. Tanpa dikomando Haliza memeluk Hanin sembari menangis. Untuk beberapa saat Hanin membiarkan sang adik menangis untuk menumpahkan segala perasaan dongkol dan unek-unek di dalam dadanya.
Sepuluh menit kemudian, tangisan itu berubah isak. Hanin melerai pelukan sang adik lalu meraih kedua bahunya yang diarahkan menghadapnya. Hanin menatap sang adik dalam, mencoba memberi kekuatan dan semangat.
"Mbak, aku nggak mau dijodohkan dengan lelaki itu. Aku tidak suka abdi negara, demi apapun aku tidak suka. Meskipun papa dan suami Mbak seorang abdi negara, tolong jangan tularkan hal itu ke aku. Aku tidak mau, papa justru seolah-olah punya obsesi kalau anak perempuannya harus menikah sama Tentara, mentang-mentang papa seorang tentara," rajuknya masih terisak.
Hanin menggeleng, dia tidak setuju dengan ucapan sang adik. Papanya tidak seperti itu, dan tidak berobsesi kalau anak-anak perempuannya harus nikah sama tentara.
"Nggak, papa nggak begitu. Contohnya Mbak. Mbak dapat Mas Daffi bukan karena papa. Mbak justru dapat sendiri. Awalnya mbak juga kurang suka, tapi karena mas Daffi sangat baik dan perhatian akhirnya mbak menyukai dia dan tidak lama dari itu kami menikah tanpa mengenal pacaran lama," terang Hanin menceritakan awal mula dirinya menikah dengan Daffi yang notabene seorang tentara juga.
"Jadi, buang pikiran buruk kamu seperti itu tentang papa maupun tentang anggota TNI. Yang jelas tidak semua anggota TNI buruk. Di setiap lini kehidupan, entah pekerjaannya apa dan pangkatnya apa, semua sama. Ada sisi baik juga ada sisi buruk."
"Tapi, aku tetap nggak mau dijodohkan dengan lelaki itu. Lagipula aku masih belum bisa melupakan Mas Ardian. Dia belum memberi penjelasan kenapa dia pergi dan memutuskan hubungan kami," sergah Haliza lagi menunjukkan keengganannya.
"Kamu harus move on dari laki-laki itu, sebab dia tidak baik. Benar apa yang pernah mama dan papa bilang, kalau Ardian itu memang pernah kepergok jalan dengan seorang perempuan sangat mesra. Bahkan mbak juga pernah melihat dia keluar hotel bersama perempuan seumuran kamu saat mbak dan Mas Daffi keluar kota." Hanin mencoba menjelaskan kenapa Ardian memutuskan hubungan dengan sang adik.
"Kalau memang mas Ardian pernah kepergok keluar dari hotel bersama seorang perempuan, kenapa Mbak tidak memberitahu waktu itu, kenapa baru sekarang Mbak katakan?" cecar Haliza kecewa.
"Mbak, sudah pernah katakan sama kamu. Tapi saat itu kamu seakan tidak mau dengar mbak. Kamu marah dan bilang kalau mbak ngada-ngada. Tentu kamu masih ingat bukan mbak pernah cerita tapi kamu marah?" Hanin mencoba mengingatkan Haliza kembali terkait info tentang Ardian yang saat itu ditolak mentah-mentah oleh sang adik.
Haliza sejenak berpikir mengingat kembali apa yang pernah kakaknya katakan dulu. Haliza geleng kepala lalu meremas rambutnya, saat itu dirinya tidak percaya dengan apa yang pernah Hanin sampaikan padanya tentang Ardian yang kedapatan keluar dari sebuah hotel dengan seorang perempuan seumuran dengannya.
"Jalani dulu perjodohan ini, dia lelaki yang baik dan sopan sama orang tua. Bahkan dia juga memiliki seorang adik perempuan yang sangat dia sayang. Jadi, menurut mbak, lelaki itu tidak akan buruk untukmu, meskipun kamu tidak menyukainya," bujuk Hanin sebelum dia mengakhiri keberadaan dirinya di kamar sang adik.
Sekuat apapun Haliza menolak, pada akhirnya sebuah pertemuan itu terjadi juga. Keluarga pria yang ingin melamar Haliza, malam itu benar-benar datang. Rumah mereka yang sebetulnya bertetangga masih di komplek yang sama, hanya beda gang saja, membuat kedatangan mereka menjadi lebih mudah karena dekat.
Sedangkan Haliza, meskipun pria tentara yang akan melamarnya itu dikatakan sebagai tetangga di komplek perumahan yang sama, tapi dia sama sekali tidak mengenal sosok pria itu.
Berbalut gaun long dress berwarna krem, Haliza tampil sangat cantik dan elegan. Hanin sang kakak yang merias wajah Haliza tadi, sampai Haliza terlihat sangat cantik. Pada dasarnya Haliza memang cantik dan anggun.
Haliza menunduk sampai tamu yang akan melamarnya tiba. Pak Hasan dan Bu Hana menyambut kedatangan tamunya dengan ramah dan istimewa.
"Silahkan, calon besan dan mantu," sambut Pak Hasan ditimbrungi Bu Hana. Sepertinya antara dua keluarga itu sudah sama-sama saling kenal dekat, sebab dari obrolan mereka sudah tidak canggung lagi.
Hanin menghampiri Haliza supaya menghampiri ruang tamu dan menyambut calon mertua dan calon suami.
"Ini hanya baru sebatas pembicaraan, kan Mbak? Tapi kenapa justru seperti sebuah lamaran?" kaget Haliza tidak mengerti.
"Hampiri dulu mereka, ini perintah papa." Hanin meraih lengan Haliza lalu dibawanya menuju ruang tamu.
"Itu anak saya. Dia memang sedikit pemalu. Dunianya hanya habis dengan bekerja dan bekerja. Jadi, tidak sempat untuk bergaul di komplek perumahan ini," tutur Bu Hana memperkenalkan Haliza pada calon besannya.
Aldian yang berada di samping papanya sekilas menatap ke arah Haliza yang menunduk.
"Tidak salah lagi, gadis yang di bandara siang tadi. Pantas saja aku merasa kenal, rupanya dia Haliza. Cantik juga sih, tapi apakah dia sebaik Halwa cinta masa kecilku?" Aldian membatin sembari dengan sekilas membayangkan sosok Halwa yang dia kagumi.
"Silahkan Nak Aldian, kami persilahkan. Apa maksud dan tujuan Nak Aldian beserta mama dan papanya datang ke gubug kami," ucap Pak Diki merendah.
Haliza mendongak, ia terkesiap saat sang papa menyebutkan sebuah nama yang justru mengingatkan dirinya pada sosok pria yang sudah menorehkan luka di hatinya.
"Aldian? Kenapa namanya hampir mirip?" batinnya kaget.