Adisti sudah mengabdikan hidupnya pada sang suami. Namun, ternyata semua sia-sia. Kesetiaan yang selalu dia pegang teguh akhirnya dikhianati. Janji yang terucap begitu manis dari bibir Bryan—suaminya, ternyata hanya kepalsuan.
Yang lebih membuatnya terluka, orang-orang yang selama ini dia sayangi justru ikut dalam kebohongan sang suami.
Mampukah Adisti menjalani kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak sehat dan penuh kepalsuan?
Ataukah memilih berpisah dan memulai hidupnya yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Ke luar kota
"Sayang, Kata mama kamu nggak mau kirim uang ke Mama. Memang benar, ya, Sayang?" tanya Bryan saat dirinya dan sang istri sedang bersantai di ruang tengah menikmati acara televisi yang sedang berlangsung.
"Iya, Bang. Memang benar, apa ada yang salah?"
"Sayang, apa kamu tidak kasihan pada Erick? Bagaimana kalau dia putus kuliah karena tidak ada biaya?"
"Itu bukan tanggung jawabku. Bukankah mama punya toko? Hasilnya juga aku rasa sangat cukup untuk biaya kuliah Erick. Itu pun kalau uangnya benar-benar buat kebutuhan Erick," sahut Adisti yang kemudian berpura-pura fokus pada layar segi empat di depannya.
"Apa maksud kamu, Sayang? Tentu saja mama butuh buat kuliah Erick, memangnya buat apa lagi? Lagian toko mama 'kan kecil jadi, cuma menghasilkan beberapa rupiah saja, cukup buat makan."
Adisti menggelengkan kepala, selalu saja ada alasan yang dibuat oleh sang suami untuk membela mamanya. Andai saja dia tidak punya rencana, sudah pasti dirinya akan memukul kepala pria itu.
"Bang, aku yakin kamu juga sudah mengirim uang ke mama tiap bulan. Aku juga sudah mengirim uang ke mama, belum lagi hasil dari toko. Jika semuanya di gabungkan, itu jumlahnya tidak sedikit. Aku rasa semua untuk keperluan mama dan Erik itu sudah lebih dari cukup. Itu pun kalau mereka memang benar-benar memanfaatkan semuanya dengan baik, bukan menghambur-hamburkannya dan berfoya-foya."
Bryan berdecak kesal, sedari tadi istrinya terus saja berkata seperti itu. Memang benar selama ini mamanya selalu boros, tetapi sebagai anak dia tidak suka Adisti menjelekkan mamanya seperti itu. Lagian uang yang diminta mamanya juga tidak seberapa dibanding yang dimiliki wanita itu.
"Dari tadi kamu bicara seperti itu terus. Kamu 'kan tidak tahu apa ya saja kesusahan Mama. Jangan berbicara yang tidak-tidak kalau tidak tahu bagaimana kehidupan mereka!" ujar Bryan dengan sedikit meninggikan suaranya.
Adisti tertawa sumbang, ternyata mereka benar-benar keluarga benar yang hanya bisa memikirkan diri sendiri, tanpa tahu betapa susahnya orang lain mencari uang. Bryan sendiri juga sudah bekerja, tidakkah pria itu memikirkan dirinya?
"Kamu pikir aku tidak tahu apa-apa dengan apa yang dilakukan ibumu? Sudah cukup selama ini aku bersabar, tapi ternyata kamu sama saja dengan mamamu. Dasar tidak tahu terima kasih. Sudahlah! Aku tidak mau berdebat lagi denganmu. Kalau kamu punya uang, kasih saja uangmu itu pada mamamu. Aku tidak mau lagi mengeluarkan uang, tidak bulan depan dan seterusnya. Aku tidak akan lagi mengirim uang bulanan."
Adisti segera pergi ke kamarnya. Dia tidak ingin emosinya meledak dan malah akan menggagalkan rencana nanti. Saat ini Leo sedang mengurus semua berkas yang Adisti minta. Setelah selesai, baru wanita itu bisa bergerak sesuka hatinya.
Bryan mengusap wajahnya kasar, tidak menyangka jika Adisti malah mengajaknya berdebat. Padahal biasanya wanita itu selalu saja mengalah. Lebih baik menuruti apa saja keinginan sang suami daripada harus berdebat panjang lebar. Pria itu juga bisa melihat ekspresi wajah istrinya yang berbeda, tidak seperti sebelumnya.
Dalam hati Bryan bertanya-tanya, apakah mungkin Adisti tahu rahasianya? Namun, rasanya itu tidak mungkin. Jika memang benar istrinya tahu mengenai rahasianya, pasti wanita itu akan marah besar. Lebih parahnya akan menemui istri keduanya dan membuat ulah di sana.
Yang Bryan tidak tahu, Adisti bukan orang yang suka bertindak ceroboh. Wanita itu tidak mungkin melakukan seperti yang dipikirkan oleh sang suami. Dia lebih suka bertindak hati-hati dan penuh perhitungan agar ke depannya tidak ada masalah.
Ponsel Bryan berdering, tertera Nama Mama Lusi di sana. Bryan ragu untuk mengangkatnya, pasti nanti mamanya akan merongrong dirinya agar memberikan uang untuk acara syukuran tujuh bulanan istrinya. Padahal sebelumnya Bryan sudah mengatakan untuk mengadakan acara sederhana saja, tetapi wanita paruh baya itu tidak akan pernah mau karena sebelumnya juga sering membanggakan harta anaknya.
"Bryan! Kenapa lama sekali mengangkatnya Mama sampai jemuran!" sembur Mama Lusi begitu Bryan mengangkat panggilannya.
Bryan mendelik sebal, apa yang dia pikirkan ternyata terjadi juga. "Memang ada apa sih, Ma? Sudah untung aku mengangkatnya. Aku masih banyak kerjaan hari ini."
"Kamu tidak usah pura-pura banyak pekerjaan. Kamu memang sengaja 'kan menolak panggilan dari Mama agar Mama tidak meminta uang sama kamu? Ingat! Ini tuh acara untuk istri kamu, seharusnya kamu yang lebih antusias, ini malah ditelepon susah sekali. Pokoknya Mama tidak mau tahu, kamu harus segera kirim uang ke Mama dua puluh juta."
Bryan terkejut dengan uang yang diminta oleh mamanya. Ini hanya acara syukuran kehamilan, kenapa terkesan seperti acara resepsi. Sungguh mamanya ini selalu ada saja ulahnya.
"Kemarin sudah aku kasih uang. Lagipula untuk acara seperti itu buat apa uang banyak-banyak?"
"Pokoknya Mama tidak mau tahu. Uang segitu juga belum ada apa-apanya."
"Baiklah, nanti biar aku usahakan," sahut Bryan lemah. Akhirnya dia hanya bisa mengalah. Percuma juga berdebat dengan mamanya jika ujung-ujungnya pria itu akan kalah juga.
"Jangan hanya diusahakan saja, pokoknya Mama mau kamu itu mengirimkan uang itu ke rekening Mama." Lusi pun segera mengakhiri panggilan, membuat Brian menghela napas panjang.
Mamanya memang selalu seperti itu, mau menang sendiri dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Padahal dia adalah putranya, tetapi tetap saja sikap mamanya masih sama.
***
Pagi-pagi sekali Brian sudah rapi, tidak lupa juga sebuah koper kecil sudah dia isi dengan beberapa pakaian. Pria itu sangat bersemangat, tidak sabar ingin bertemu seseorang yang diharapkan.
"Kamu mau ke mana, Bang?" tanya Adisti saat melihat sang suami sedang merapikan bajunya dalam koper.
Tumben sekali pria itu menyiapkan semua sendiri. Biasanya selalu meminta Adisti jika sedang ada perjalanan ke luar kota. Mungkin Bryan sudah mencium aroma penolakan dari sang istri, mengingat akhir-akhir ini mereka sering berdebat.
"Aku ada pekerjaan di luar kota, Sayang. Itu pun dadakan jadi aku belum sempat bicara sama kamu," jawab Bryan beralasan.
"Memangnya berapa lama?"
"Mengenai itu aku kurang tahu. Mungkin sekitar tiga atau empat hari."
Adisti mengangguk, kini dia mengerti kenapa jika sang suami pergi ke luar kota hanya membawa sedikit baju. Pria itu selalu beralasannya agar tidak terlalu susah, lebih baik bajunya di laundry saja. Namun, saat pulang baju itu masih tetap sama dengan susunan Adisty. Bau pengharum bajunya juga masih sama.
Saat itu dia berpikir positif bahwa laundry-nya memang menggunakan pengharum pakaian yang sama. Padahal itu hanya tipuan sang suami saja karena di rumah ibunya masih banyak baju Bryan. Sekarang Adisti tahu bahwa baju di koper itu memang tidak pernah dibuka, apalagi dipakai. Koper itu hanyalah sebuah alasan. Betapa bod*hnya Adisti selama ini.
"Kamu di rumah jaga diri baik-baik, ya! Aku akan menghubungimu nanti saat sampai di tempat tujuan," lanjut Bryan setelah semua barangnya sudah selesai dia bereskan.
"Abang selalu bilang begitu, tapi begitu sampai tempat tujuan selalu lupa padaku, malam hari baru memberi kabar. Apakah itu yang namanya saat sampai tujuan akan memberi kabar"
"Maaf, Sayang, maklumlah habis naik pesawat pasti lelah jadi, aku tertidur begitu sampai di hotel."
Adisti hanya tersenyum menanggapi, tidak mau terlalu menimpali ucapan sang suami yang semuanya hanyalah dusta.