Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Hati yang gundah
.
"Bu Ningsih! Bu Ningsih! Cepat lihat ini!”
Berita tentang ketenaran Aya sampai juga di desa Karangjati. Bu Partini, tetangga setia yang selalu peduli padanya, berlari terengah-engah ke rumahnya sambil menggenggam ponsel.
“Ada apa to, Par?” tanya Bu Ningsih cuek. Baginya sudah biasa, Bu Partini memang selalu heboh.
“Ini lihat! Anakmu masuk hp,” seru Bu Partini sambil menyodorkan layar ponsel yang menampilkan artikel berita tentang Aya.
“Yang bener?” Bu Ningsih, yang sedang menjahit di beranda rumah, menerima ponsel itu dengan tangan gemetar. Matanya berkaca-kaca saat melihat foto Aya yang tersenyum di layar.
"Anakku,,, Aya anakku,,,,". bisiknya lirih, air mata haru mulai membasahi pipinya. Selama ini ia memang tidak mengetahui berita itu, karena bu Ningsih bukan ibu-ibu yang gemar bermain HP. HP yang dibelikan oleh Cahaya hanya digunakan ketika ia ingin menghubungi atau menerima panggilan dari Cahaya.
“Padahal kemarin dia juga baru saja menelpon. Tetapi dia hanya menanyakan kabar dan menyuruh jaga kesehatan. Selebihnya dia tidak bercerita apa-apa,” ucapnya.
Bu Partini tersenyum senang. "Aya itu kan dari dulu memang tidak pernah suka pamer Bu, dan sekarang dia sudah sukses besar. Beberapa hari yang lalu dia masuk tipi, sekarang tiap hari fotonya ada di HP. Ibu pasti bangga sekali," ujarnya sambil menepuk pundak Bu Ningsih.
Bu Ningsih mengangguk, air matanya semakin deras mengalir. "Dulu kami dipandang sebelah mata karena kemiskinan dan ketidak sempurnaannya. Aku bersyukur,
sekarang dia bisa hidup tanpa menundukkan kepala lagi," katanya dengan suara bergetar.
"Aya anak yang kuat dan hebat. Aku ikut senang melihat kesuksesan anakmu," timpal Bu Partini.
Bu Ningsih mengusap air matanya. "Terima kasih, Par. Minta bantu doanya ya, semoga ia selalu kuat dalam situasi apapun," pintanya tulus.
Berita tentang kesuksesan Aya juga sampai ke telinga Yuda, pria yang dulu pernah mengkhianatinya. Pernikahannya dengan Bunga telah dikaruniai seorang anak laki-laki.
Malam itu saat sedang bersantai di ruang keluarga, Yuda tidak sengaja melihat berita tentang Aya di televisi. Bunga, istrinya, ikut menonton bersamanya.
“Itu mantan calon istrimu dulu itu kan Mas?” tanya Bunga ketus. “Lumayan juga dia sekarang.” Nada iri tersirat dari suaranya.
Yuda menatap ke arah bunga tanpa menjawab. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa kesal. Ada sesuatu yang mengusik hatinya ketika kini melihat Cahaya menjadi gadis yang sukses. Gadis itu terlihat semakin cantik. Pakaian yang dikenakannya juga terlihat bagus. Bukankah itu artinya Cahaya sudah menjadi orang kaya?
“Hahhh… kalau saja dia yang menjadi istriku, pasti sekarang aku akan ikut terkenal. Selain itu aku juga akan ikut menikmati kekayaannya,” ucapnya yang hanya mampu terlontar dalam hati. Tak mungkin ia seberani itu berbicara secara gamblang di depan Bunga. Bisa-bisa ia dipecat dari jabatan sebagai suami.
*
Di tempat Bu Sumini. Wanita itu beberapa hari ini selalu saja uring-uringan. Apalagi setiap kali dia melihat wajah cahaya yang berseliweran di tok tok yang selalu ia lihat. Ia menjadi kesal.
“Dasar sombong! Baru bisa bikin tas gitu aja pamer!”
Pak Supardi yang sejak tadi mendengar gerutuan istrinya hanya diam sambil menggelengkan kepala. Padahal Cahaya tidak membuat masalah dengannya. Bahkan bertemu pun tidak, apalagi menyenggol.
Pak Supardi tahu, sebenarnya istrinya juga mengakui keunggulan Cahaya. Tetapi wanita itu hanya sedang gengsi untuk mengungkapkan, ditambah dengan rasa iri. Entah kapan istrinya itu bisa mengurangi sifat julidnya.
*
*
Semakin hari, akun media sosial Aya dibanjiri komentar dan pesan. Ribuan orang memberikan dukungan dan pujian atas apa yang telah ia lakukan. Foto-foto dan video kegiatan "Cahaya Harapan" mendapatkan banyak likes dan shares. Setiap unggahan kini diberi tagar #CahayaHarapan,
#DifabelBerdaya.
Aya berusaha membalas setiap komentar dan pesan, menyapa para pengikutnya dengan ramah dan tulus. Ia menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menyuarakan pentingnya inklusi dan pemberdayaan bagi para difabel, serta mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan memberikan kesempatan yang sama bagi mereka.
"Aya, kamu adalah inspirasi bagi kami semua. 'Cahaya Harapan' adalah bukti nyata bahwa kebaikan bisa mengubah dunia," tulis seorang warganet.
"Aya, kamu adalah pahlawan bagi para difabel. Kami akan selalu mendukungmu dan 'Cahaya Harapan'," timpal yang lain.
Popularitas Aya di media sosial semakin meningkat. Ia menjadi idola bagi banyak orang, terutama bagi para difabel. Mereka mengagumi Aya karena ia telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan keyakinan, semua orang bisa meraih kesuksesan, tidak peduli apa pun kondisinya. Brand "Cahaya Harapan" semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat.
*
*
*
Kesibukan Aya dengan "Cahaya Harapan" dan kesibukan Marcel sendiri di perusahaan, tidak membuat mereka berjarak, justru intensitas kedekatan mereka semakin terasa. Setiap hari Marcel selalu menyempatkan diri untuk datang ke kantor “Cahaya Harapan”. Mereka berdiskusi, merencanakan, dan bekerja sama. Perhatian-perhatian kecil dan tatapan penuh makna semakin sering terjadi.
Suatu sore Marcel datang untuk menjemput Aya di jam pulang. Pria itu melihat Aya tampak kelelahan. Pria itu menghampirinya dengan sebotol minuman isotonik. "Aya, ini untukmu! Kamu terlihat sangat lelah," kata Marcel lembut.
Aya tersenyum menerima teh itu. "Terima kasih, Kak. Sedikit lelah saja. Banyak yang harus diselesaikan hari ini."
"Jangan terlalu memaksakan diri. Kesehatanmu juga penting," balas Marcel dengan nada khawatir.
“Iya, Kak. Jangan khawatir, aku pasti bisa jaga diri.”
Kedekatan ini tidak luput dari perhatian orang-orang di sekitar mereka. Para relawan sering berbisik-bisik. "Lihat deh, mereka berdua cocok banget ya?" bisik seorang relawan kepada temannya.
"Iya, kelihatan banget ada sesuatu di antara mereka," balas yang lain sambil tersenyum.
Di dalam rumah keluarga Dirgantara pun, Nyonya Syifana dan tuan besar Dirgantara juga menyadari kedekatan mereka. Akan tetapi mereka memilih diam.
*
*
*
Malam itu, Aya duduk termenung di kamarnya yang rapi. Di dinding, terpajang foto-foto Aya bersama para difabel dan beberapa lukisan hasil karyanya. Suara jangkrik dari luar jendela menemani kesunyian malam.
Aya memegang sebuah foto Marcel, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa aku merasa Tuan Muda Marcel begitu baik padaku?" gumamnya dalam hati.
Ia mengingat kembali setiap perlakuan istimewa yang diberikan oleh Marcel: bagaimana pria itu selalu memprioritaskannya, selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan memberikan dukungan tanpa syarat.
Aya menggelengkan kepala. "Tidak, Aya. Jangan terlalu berharap. Kamu harus ingat siapa dirimu. Kamu hanya seorang pembantu, sedangkan Tuan Muda Marcel adalah seorang bangsawan. Kalian tidak mungkin bersama."
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang. "Tapi hatiku tidak bisa berbohong? Aku merasa begitu nyaman dan bahagia saat berada di dekatnya? Aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kami?" bisiknya pada diri sendiri.
Aya memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Ia mulai menyadari bahwa ia telah jatuh cinta kepada Marcel, tapi ia tahu bahwa dirinya haruslah sadar diri.
“Ay, ngapain sih malam-malam berdiri dekat jendela gitu? Nanti masuk angin loh!” Tina yang melihat cahaya seperti tidak biasanya, menegur.
“Ahh, nggak kok Mbak.” Aya gelagapan. Tak mungkin dia bercerita tentang apa yang ia rasakan pada Mbak Tina.
“Buruan tidur! Besok masih harus kerja lagi kan?”
“Iya, Mbak.” Aya pun segera menutup kembali jendela kamarnya dan kembali naik ke atas tempat tidur. Membaringkan tubuhnya di samping Mbak Tina, lalu menarik selimut sampai batas dada.
. cuit cuit