Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pencarian pusat kendali
Diana dan teman-temannya bergegas menuju ruang bawah tanah yang tersembunyi di perpustakaan tua. Mereka semua merasa ada yang aneh dengan tempat itu, seakan setiap sudutnya menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang mereka duga. Namun, dengan informasi baru dari Nanda, mereka tahu mereka tak punya banyak waktu. Mereka harus menemukan pusat kendali yang Nanda sebutkan sebelum semuanya terlambat.
"Jadi, pusat kendali ini ada di sini?" tanya Diana, suaranya bergetar karena ketegangan.
Nanda mengangguk, wajahnya serius. "Ya. Di dalam ruangan ini, kalian akan menemukan jawabannya. Tapi ingat, ini bukan hanya soal menemukan petunjuk. Ini soal bertahan hidup."
Arman, yang sejak tadi tampak cemas, berbicara dengan nada lebih keras. "Jadi, jika kita menemukan pusat kendali ini, kita bisa menghancurkan sistem mereka dan mengakhiri semuanya?"
"Ya," jawab Nanda, "tapi kalian harus siap. Mereka sudah tahu kita datang. Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja."
Dengan hati-hati, mereka melangkah lebih jauh ke dalam ruang bawah tanah. Udara di sini terasa lebih berat, dan ruangan yang sempit membuat mereka merasa seperti terjebak. Setiap langkah mereka dipenuhi dengan suara gemerisik dari dinding yang berderak, menciptakan atmosfer yang semakin mencekam.
Tiba-tiba, dari dalam kegelapan, terdengar suara tawa yang dalam dan mengerikan. Semua teman-teman Diana terdiam sejenak, jantung mereka berdegup kencang. Suara itu datangnya dari arah yang tidak mereka duga, dan seakan mengelilingi mereka.
"Siapa itu?" Rina berbisik, matanya terbelalak.
"Jangan menoleh," kata Nanda dengan suara tegas. "Itu adalah bagian dari permainan mereka. Jangan terjebak dalam ketakutan."
Namun, meskipun Nanda berbicara dengan penuh keyakinan, Diana merasakan hawa yang semakin menakutkan. Semua yang terjadi mulai terasa seperti mimpi buruk yang mereka tidak bisa hindari.
"Mari kita teruskan," kata Diana dengan tegas, meskipun suara ketakutan tak bisa disembunyikan dari suaranya.
Saat mereka berjalan lebih jauh, lampu di sekitar mereka tiba-tiba berkedip dan padam. Ruangan itu kini sepenuhnya gelap. Arman segera mengeluarkan senter, namun ketika ia menyalakan senter itu, bayangan aneh tampak bergerak di sekitar mereka, semakin mendekat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar sangat dekat, semakin cepat, dan semakin keras. Mereka semua menoleh, tetapi tidak ada apa pun yang bisa mereka lihat. Hanya kegelapan dan suara yang semakin menggema.
"Apa itu?" tanya Shara dengan suara gemetar.
Nanda menatapnya dengan wajah tegang. "Kita tidak bisa berhenti sekarang. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur."
Namun, ketegangan di dalam ruangan itu semakin memuncak. Diana bisa merasakan bahwa mereka sedang dikepung oleh sesuatu yang sangat berbahaya. Setiap gerakan mereka tampaknya sudah diperhitungkan dengan matang.
"Apa yang kita lakukan sekarang, Nanda?" tanya Diana, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang.
"Terus maju. Kita akan menemukan pusat kendali itu," jawab Nanda, meskipun dia tampak ragu. "Hanya di sana kita bisa menghentikan semuanya."
Begitu mereka mencapai ujung lorong, sebuah pintu besar yang terbuat dari besi tua muncul di hadapan mereka. Nanda melangkah maju dan menatap pintu itu dengan hati-hati. "Ini dia," katanya, "Pusat kendali."
Namun, sebelum Nanda sempat membuka pintu, mereka mendengar suara dari dalam. Sebuah suara rendah yang berbisik, seperti sebuah peringatan.
"Jika kamu masuk, tidak ada jalan keluar."
Diana merasa tubuhnya membeku. Suara itu bukan berasal dari seseorang di dalam ruangan. Itu datang dari dalam pikirannya.
"Jangan dengarkan itu," bisik Nanda. "Itu hanya trik mereka untuk menakut-nakuti kita."
Namun, saat mereka akan membuka pintu, suara langkah kaki yang cepat kembali terdengar di belakang mereka. Kali ini, langkah itu tidak berhenti. Mereka bisa merasakannya—sesuatu yang mengikuti mereka. Tapi ketika mereka berbalik, tidak ada siapa pun di sana.
"Ini semakin buruk," Rina berbisik, "Kita harus keluar dari sini."
Nanda tampaknya menimbang sesuatu, namun akhirnya mengangguk. "Kita harus lanjutkan, meskipun begitu."
Diana mencoba menenangkan diri dan membuka pintu. Ketika pintu itu terbuka, ruangan gelap yang berisi rak-rak berdebu dan layar besar yang berkedip-kedip terbentang di depan mereka. Mereka terperanjat melihat layar itu menunjukkan gambar mereka masing-masing dengan tanda silang besar yang menyertainya.
"Apa ini?" Arman bertanya, suaranya bergetar.
Nanda melangkah maju dan menjelaskan dengan suara pelan, "Ini adalah bukti mereka mengendalikan kita. Mereka bisa melihat dan memanipulasi apa pun yang kita lakukan. Sekarang kalian mengerti mengapa kita harus berhati-hati."
Diana merasa mual melihat gambar dirinya di layar. Semua yang mereka temukan, setiap langkah yang mereka ambil, semuanya diawasi dan dipantau.
"Bagaimana kita bisa menghentikan ini?" tanya Shara, merasa cemas.
Nanda menatap layar, matanya penuh tekad. "Ada satu cara untuk menghentikan mereka. Hancurkan pusat kendali ini, dan semuanya akan berakhir."
Namun, saat itu, sebuah suara menggelegar terdengar dari layar. "Kamu tidak akan bisa melakukannya, Nanda. Kami sudah mempersiapkan segalanya."
Layar itu kemudian memancarkan cahaya yang sangat terang, membutakan mata mereka. Dalam sekejap, mereka merasa seolah-olah semuanya berputar.
Apakah mereka akan berhasil menghancurkan pusat kendali ini? Atau apakah mereka akan terperangkap selamanya dalam dunia yang telah dikendalikan? Konflik di antara teman-teman mereka semakin terasa, dan setiap keputusan menjadi lebih berbahaya.
Cahaya yang membutakan mereka mulai meredup, namun ketegangan di dalam ruangan tetap mencekam. Semua masih berdiri di tempat, memandang layar besar yang kini menunjukkan gambar mereka dengan tanda silang di atasnya. Perasaan dingin merayap perlahan, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram setiap bagian tubuh mereka. Diana, yang semula berusaha tenang, kini merasa jantungnya hampir terlepas dari dada.
"Ini… ini seperti perangkap," bisik Shara, suaranya serak. "Mereka sudah mempersiapkan semuanya. Mereka tahu kita akan datang."
"Benar," jawab Nanda dengan nada yang lebih berat dari sebelumnya. "Mereka sudah memonitor setiap langkah kita. Semua yang kita lakukan sejak kita tiba di sini sudah terencana."
Diana menggigit bibirnya. "Tapi kenapa wajah kita ada di sini? Apa yang mereka inginkan dari kita?"
"Tanyakan saja pada dirimu sendiri," suara berat itu kembali bergema, kali ini lebih mengancam. "Apakah kamu benar-benar percaya bisa keluar dari sini hidup-hidup?"
Semua menoleh ke arah suara itu, tapi tidak ada yang bisa mereka lihat selain layar yang kini memancarkan kode-kode aneh, semakin kacau dan tidak teratur.
"Ini gila," kata Arman, wajahnya penuh kebingungan dan ketakutan. "Siapa yang melakukan ini? Apa tujuannya?"
Nanda menatap layar itu dengan mata yang semakin tajam. "Mereka bukan hanya memantau kita. Mereka memanipulasi kita. Menggunakan ketakutan kita untuk membuat kita saling berhadapan. Tujuan mereka adalah melihat apakah kita bisa mengatasi ketakutan kita dan bekerja sama."
Di balik kata-kata Nanda, ada nada kesedihan. Sepertinya, dia sudah terlalu lama terperangkap dalam permainan ini dan kini merasa bahwa mereka semua telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dan jahat daripada yang mereka duga.
Tiba-tiba, sebuah suara melengking keras keluar dari layar, menggetarkan dinding-dinding ruangan.
"Jangan coba-coba menentang kami. Kami lebih kuat dari yang kamu kira. Dan kami akan selalu mengawasi setiap gerakanmu."
Lampu ruangan tiba-tiba mati lagi, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Hanya suara detak jantung mereka yang terdengar jelas, berpadu dengan rasa takut yang merayap naik.
"Ini bukan hanya soal kita lagi," kata Diana, berusaha menghilangkan ketegangan yang mencekam. "Jika kita tidak menghentikan ini, mereka bisa menghancurkan lebih banyak nyawa. Bukan hanya kita yang terjebak di sini."
Nanda mendekatkan tangannya ke layar, tampak berusaha mencari petunjuk di balik kilatan-kilatan kode yang kacau. "Mereka ingin melihat apakah kita bisa memecahkan teka-teki mereka. Jika kita gagal, kita akan menjadi bagian dari permainan ini selamanya."
Sementara itu, suara tawa rendah dan mengerikan mulai terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya. Ketika suara itu berhenti, sebuah kode muncul di layar.
"12-5-19. Apa itu?" Arman bertanya, matanya tertuju pada angka yang muncul di layar.
"Kode sandi," jawab Nanda, matanya penuh teka-teki. "12 berarti L, 5 berarti E, dan 19 berarti S. L-E-S. Apa artinya?"
Shara memegang kepalanya, berpikir keras. "L... E... S... Apa itu? Mungkin itu nama tempat? Atau petunjuk?"
Diana terdiam sejenak, dan sesuatu mulai terlintas di pikirannya. "L... E... S... Mungkin itu adalah kata sandi untuk pintu berikutnya. Kita harus mencobanya."
Dengan hati-hati, Nanda memasukkan kode itu ke layar. Seketika itu, layar berubah, menampilkan peta yang menunjukkan lokasi lain di dalam gedung tua ini—sebuah ruang yang tersembunyi di dalam perut bangunan yang sudah lama terlupakan. Namun, ketika mereka menatap peta itu, semuanya menjadi lebih jelas. Tempat itu adalah ruang yang mereka ketahui sangat berbahaya. Ruang yang disebutkan Nanda sebagai "pusat kendali."
Tiba-tiba, lampu menyala kembali dengan terang, mengungkapkan ruangan yang jauh lebih besar, dengan pintu besar yang terletak di ujung yang jauh.
"Kita harus ke sana," kata Nanda dengan tegas. "Tidak ada waktu lagi."
Namun, begitu mereka melangkah maju, Arman mendekati Diana, menariknya sedikit ke samping. "Diana, ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang aku rasakan, dan aku tidak tahu apa itu."
Diana menatap Arman, terkejut. "Apa maksudmu?"
"Sejak kita masuk ke sini, aku merasa seperti kita bukan hanya melawan mereka—tapi juga melawan diri kita sendiri. Kita dipaksa untuk membuat pilihan-pilihan yang... tidak kita inginkan. Aku merasa seperti kita benar-benar terperangkap."
Diana menggigit bibirnya, merasa ketegangan semakin membebani mereka. "Kita tidak punya pilihan. Jika kita berhenti sekarang, kita akan kalah. Kita harus terus maju."
Mereka semua kembali bergerak, tetapi saat mereka melangkah menuju pintu besar, suara langkah kaki kembali terdengar—seperti bayangan yang mengikuti mereka, mengintai mereka dari balik kegelapan.
"Tidak ada yang bisa lari dari mereka," suara itu kembali terdengar, dan kali ini lebih mengerikan dari sebelumnya. "Kami adalah bagian dari permainan ini, dan kalian tidak akan pernah bisa keluar."
Di saat yang sama, bayangan hitam besar melintas di depan mereka, begitu cepat dan kuat hingga membuat mereka terkejut dan terhenti sejenak. Arman segera menarik Diana ke belakang.
"Ada sesuatu yang besar di depan kita!" katanya, suara tegang. "Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya terlambat!"
Namun, ketika mereka berbalik, pintu yang mereka coba buka sudah tertutup rapat, seolah-olah ruangan itu menelan mereka hidup-hidup.
"Apa yang terjadi?" Rina berteriak, suara panik terdengar.
Nanda hanya bisa menatap pintu dengan kosong, wajahnya penuh keraguan. "Mereka menginginkan kita untuk berputus asa. Tapi kita tidak bisa berhenti. Kita harus mencari cara untuk mengalahkan mereka."
Diana merasakan dadanya sesak, namun satu hal yang pasti—mereka sudah terlalu dalam terjerat dalam permainan ini. Mereka harus mencari jalan keluar, tetapi jalan itu semakin gelap dan berbahaya.