Permainan Tak Terlihat
Diana dan Nanda sudah bersahabat sejak mereka masih di sekolah dasar. Mereka seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Dimana ada Diana, di situ pasti ada Nanda, dan sebaliknya. Mereka selalu berbagi cerita, saling mendukung saat mengalami kesulitan, dan tertawa bersama di segala momen. Keduanya memasuki SMA dengan penuh semangat, membayangkan tahun-tahun yang akan penuh dengan petualangan baru, pertemanan, dan bahkan cinta pertama.
Namun, segalanya mulai berubah ketika mereka memasuki kelas dua SMA. Nanda, yang biasanya ceria dan banyak bicara, tiba-tiba menjadi lebih pendiam dan sering kali terlihat melamun. Diana tentu menyadari perubahan itu. Di hari pertama mereka kembali ke sekolah setelah libur panjang, Diana mencoba mengajaknya bicara.
"Nanda, ada apa? Kok kelihatannya kamu beda," tanya Diana ketika mereka duduk di bangku kantin sekolah, menikmati segelas es teh di siang yang panas.
Nanda tersenyum tipis, tapi tidak menjawab langsung. "Ah, nggak kok, Di. Cuma lagi banyak pikiran aja."
"Apaan? Cerita dong sama aku. Kamu tahu kan, apa pun yang kamu alamin, aku selalu di sini buat kamu," Diana mencoba mendorongnya.
Nanda menundukkan kepala, bermain-main dengan sendok es teh di gelasnya. "Nggak ada yang perlu diceritain, kok. Serius, ini nggak penting."
Diana hanya bisa menatapnya dengan bingung. Ada rasa sakit kecil di dalam hatinya. Nanda biasanya tidak pernah menutupi apa pun darinya. Mereka selalu berbagi, baik suka maupun duka. Tapi kali ini, Diana merasa ada sesuatu yang besar, sesuatu yang Nanda benar-benar tidak ingin dia ketahui.
Hari-hari berikutnya, Nanda semakin sering menghilang tanpa memberi kabar. Ia mulai menghindar saat Diana ingin mengajaknya pulang bersama, sesuatu yang biasa mereka lakukan setiap hari. Diana mulai resah. Ketika akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan lagi, Nanda hanya memberikan jawaban singkat, menghindari tatapan Diana dengan cara yang membuatnya semakin curiga.
Suatu sore, Diana melihat Nanda tengah berbicara dengan seorang laki-laki di belakang sekolah. Diana terkejut karena tidak mengenali laki-laki itu sebagai salah satu teman sekolah mereka. Nanda terlihat sangat tegang, dan laki-laki itu terlihat berusaha meyakinkannya tentang sesuatu. Diana yang penasaran berusaha mendekat, bersembunyi di balik dinding untuk bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Ini nggak bisa terus-terusan kayak gini, kamu tahu itu," ujar laki-laki itu dengan nada tegas. "Kalau kamu nggak mau bantu, konsekuensinya akan kamu hadapi sendiri."
Diana merasakan dadanya berdebar kencang. Apa maksud dari pembicaraan mereka? Siapa lelaki ini, dan mengapa dia berbicara dengan nada mengancam kepada Nanda?
Setelah laki-laki itu pergi, Diana memutuskan untuk menghampiri Nanda. "Nanda! Kamu kenal dia? Dia siapa?"
Nanda terkejut melihat kehadiran Diana. Wajahnya pucat, dan dia terlihat panik. "Diana, kenapa kamu ngikutin aku?"
Diana mencoba menahan emosinya. "Aku nggak ngikutin kamu. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu. Aku ini sahabat kamu, dan aku punya hak untuk tahu kalau kamu dalam masalah."
Nanda menggigit bibirnya, tampak ragu. "Diana... ada hal-hal yang lebih baik nggak kamu tahu. Aku nggak mau kamu ikut terlibat dalam masalah ini."
Kata-kata Nanda justru semakin membuat Diana ingin tahu. "Nanda, nggak ada yang lebih penting dari persahabatan kita. Apa pun masalahnya, kita bisa hadapi bersama."
Namun, bukannya membuka diri, Nanda malah berjalan pergi, meninggalkan Diana dengan perasaan cemas dan kecewa.
Di malam harinya, Diana tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Nanda dan lelaki misterius yang ia temui di belakang sekolah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Nanda begitu ketakutan? Diana tidak bisa diam begitu saja. Dia bertekad untuk menemukan jawaban, meskipun Nanda menolak untuk mengungkapkannya.
Keesokan harinya, Diana memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Ia mulai memperhatikan gerak-gerik Nanda lebih cermat, dan pada suatu hari, ia melihat Nanda berbicara lagi dengan orang yang berbeda di luar pagar sekolah. Diana merasa ada pola tertentu dari pertemuan-pertemuan tersebut, seolah-olah Nanda sedang terlibat dalam sesuatu yang rahasia dan penuh tekanan.
Selama beberapa minggu, Diana mulai merasakan jarak yang semakin lebar antara mereka berdua. Persahabatan yang dulu begitu erat kini terasa hampa. Diana merasa seperti seorang asing bagi sahabatnya sendiri. Namun, tekadnya semakin bulat. Ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahkan jika ia harus Melakukannya sendiri.
Hari-hari Diana kini dipenuhi dengan perasaan khawatir dan kebingungan. Semakin ia mencoba mendekati Nanda, semakin jauh sahabatnya itu menjauh. Rasanya ada tembok besar yang mendadak terbentang di antara mereka, memisahkan keduanya dari segala rahasia yang seharusnya bisa mereka bagi bersama.
Suatu siang, saat istirahat makan siang, Diana memutuskan untuk mendatangi teman sekelas mereka yang terlihat dekat dengan Nanda belakangan ini. Namanya Siska. Diana berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi pada Nanda.
"Siska, kamu tahu nggak, akhir-akhir ini Nanda kelihatan berbeda. Apa kamu tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan atau orang-orang yang baru dekat dengannya?" Diana bertanya hati-hati.
Siska tampak ragu. "Hm… Aku nggak terlalu dekat sama dia, tapi aku pernah dengar Nanda ngobrol sama seseorang di telepon. Dia sepertinya dalam masalah."
"Maksud kamu? Masalah apa?" Diana semakin penasaran.
"Entahlah, aku nggak dengar jelas. Tapi aku dengar dia menyebut sesuatu tentang 'utang' dan 'konsekuensi'." Siska mengangkat bahu, seakan tidak mau terlalu ikut campur. "Maaf ya, Di. Itu aja yang aku tahu."
Diana merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Utang? Sejak kapan Nanda punya masalah seperti itu? Dia ingat bahwa keluarga Nanda tidak kekurangan secara finansial. Jadi, dari mana masalah ini muncul? Atau mungkin ada hal lain yang lebih rumit?
Pada akhirnya, Diana memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat untuk bertanya langsung kepada Nanda. Meskipun ia tahu itu tidak akan mudah, ia merasa bahwa hanya Nanda yang bisa memberikan jawaban sebenarnya. Namun, saat kesempatan itu akhirnya tiba, Nanda kembali menolak berbicara.
Beberapa hari kemudian, saat Diana pulang dari sekolah, ia melihat sebuah amplop misterius terselip di antara buku-bukunya. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya sebuah tulian yang berbunyi: "Jika kamu ingin tahu apa yang Nanda sembunyikan, temui aku di taman belakang sekolah malam ini."
Diana merasa dadanya sesak. Siapa yang meninggalkan pesan ini? Dan mengapa ia harus datang malam-malam? Tetapi di sisi lain, ia sangat penasaran dengan jawaban yang mungkin bisa ia dapatkan.
Malam itu, Diana diam-diam menyelinap keluar dari rumahnya, berpura-pura ingin belajar kelompok di rumah temannya. Dengan langkah hati-hati, ia menuju taman belakang sekolah yang terlihat sepi dan gelap. Lampu-lampu taman hanya menyala di beberapa titik, membuat suasana semakin mencekam.
Diadi bawah pohon besar, sambil mengamati sekeliling dengan perasaan was-was. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul dari arah gelap, dan Diana bisa melihat sosok pria yang mengenakan hoodie menutup sebagian wajahnya.
"Kamu yang ninggalin amplop itu?" tanya Diana dengan suara bergetar.
Pria itu mengangguk pelan. "Aku tahu tentang rahasia Nanda. Tapi aku nggak bisa kasih tahu semuanya. Hanya satu hal yang perlu kamu tahu, Diana. Nanda dalam bahaya besar."
"Dalam bahaya? Maksud kamu apa?" Diana mendesak, merasa semakin takut dan cemas.
Pria itu menarik napas panjang. "Ada seseorang yang memanfaatkan Nanda untuk sesuatu yang tidak baik. Dia terlibat dalam masalah yang lebih besar dari yang kamu pikirkan. Dan kalau kamu mendekat, kamu bisa terseret ke dalamnya juga."
Diana merasakan tenggorokannya mengering. "Siapa kamu? Kenapa kamu peduli dengan Nanda?"
Pria itu menundukkan kepala, lalu menjawab singkat, "Aku… pernah dekat dengannya."
Sebelum Diana bisa bertanya lebih lanjut, pria itu berjalan pergi, meninggalkan Diana dengan segudang pertanyaan yang tak terjawab. Malam itu, ia pulang dengan perasaan takut dan khawatir. Ia tidak tahu pasti bahaya apa yang Nanda hadapi, tetapi ia yakin satu hal—ia tidak akan meninggalkan sahabatnya begitu saja.
Hari-hari berikutnya di sekolah, Diana mencoba mendekati Nanda lagi, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Ia tidak bisa lagi diam saja melihat Nanda terjebak dalam masalah tanpa bantuan.
"Nanda, tolonglah, kamu nggak perlu sembunyi dari aku. Apa pun masalahmu, aku bisa bantu," kata Diana ketika akhirnya berhasil menemui Nanda di sudut perpustakaan.
Namun, respons Nanda masih dingin. "Diana, tolong jangan terlibat. Aku nggak mau kamu ikut dalam masalah ini."
"Tapi kamu sahabatku!" Diana hampir menangis. "Kalau kamu dalam bahaya, aku nggak bisa diam aja, Nad!"
Nanda tampak terdiam sejenak, menatap Diana dengan mata yang penuh beban. "Aku tahu kamu peduli, Diana. Tapi kalau kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, kamu akan benci sama aku."
Diana menggeleng kuat. "Nggak akan. Kamu harus percaya sama aku."
Nanda menghela napas berat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, "Diana, yang aku lakuin ini bukan sesuatu yang bisa dimaafkan begitu aja."
Kata-kata Nanda semakin membuat Diana bingung dan penasaran. Namun sebelum Diana bisa mendesak lebih lanjut, Nanda sudah bergegas pergi, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Dengan tekad yang semakin bulat, Diana pun memutuskan untuk mencari tahu sendiri, apapun risikonya. Ia menyadari bahwa persahabatan sejati berarti tidak menyerah pada sahabat kita, bahkan ketika mereka mendorong kita menjauh..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments