Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 27 Gangguan Artha
Rumah besar yang megah. Sebelumnya, dua hari Inara pernah tinggal di sini. Namun, bedanya tak ada keluarga Argha di sini.
Wanita bertubuh mungil itu menggigil, seolah takut melakukan kesalahan di sini. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa.
“Mas, apa kamu mau kopi?” tanya Inara saat suaminya telah selesai mandi. Ia jenuh dengan kegiatannya yang tidak berbuat apa-apa di rumah ini.
“Gak perlu, biar Bibi aja yang buat saya—“
“Udah, biar aku buat aja. Gak usah dikit-dikit kita nyuruh bibi.” Inara mendekat, lalu memeluk Argha. Ia berharap, semakin hari ia akan semakin dekat dengan suaminya ini.
Argha sendiri mengusap lengan istrinya dengan lembut. “Nanti kamu capek.”
Inara terkekeh sendiri, kepalanya langsung mendongak. “Tumben takut aku capek, dulu-dulu kamu kaya kejam banget sama aku. Nyuruh ini dan itu seenaknya.”
Karena gemas, Argha mencubit ujung hidung istrinya itu. “Lain dulu lain sekarang. Dulu kamu hanya staffku, sekarang kamu istri, pemegang kendali suamimu ini.”
Mata Inara berkaca-kaca. Ia tak ingin semua ini berakhir. Ia benar-benar bahagia atas pernikahan ini dan bersyukur atas putusnya hubungannya dengan Artha.
“Aku buat kopi dulu ya.”
Argha manggut-manggut. Setelah ini, kamu harus ke kamar. Kita bisa cerita banyak hal.
“Siap, Mas.”
Inara pergi ke dapur yang ada di lantai bawah. Beberapa pelayan menghampirinya. Berjejer, berniat untuk membantu.
“Nona mau apa? Biar kami saja,” kata salah satu pelayan.
Inara menanggapinya dengan senyuman manis, kepalanya menggeleng lemah. “Tidak perlu, Bi. Biar saya sendiri. Saya hanya mau buat kopi, kok.”
“Tapi—“
“Tidak apa-apa. Silakan dikerjakan pekerjaannya yang tadi.” Inara masuk ke dapur, para pelayan itu saling tatap, lalu pergi. Ya, dari pada mereka nantinya akan terkena omelan?
Artha sendiri yang kebetulan baru pulang, tak sengaja mendengar percakapan tadi. Para pelayan juga sudah berpencar untuk membersihkan rumah ini.
Dengan mengendap-endap, Artha menghampiri Inara ke dapur.
Di sana, Inara sedang menyeduh kopi, yang ia yakini untuk Argha.
“Nara.”
Inara berjengit. Ia langsung menoleh ke belakang. Namun, saat melihat sosok Artha, wajah semringahnya menjadi datar.
“Kamu sedang ngapain?” Artha berbasa-basi, ia mendekati mantan kekasih yang kini sudah menjadi kakak iparnya itu.
“Buat kopi,” jawab Inara datar. Gadis itu hendak mencuci sendok yang baru ia pakai mengaduk kopi. Namun, pergelangan tangannya dicekal oleh Artha, hingga tatapan mereka kembali bertemu.
Namun, ekspresi benci yang Inara berikan.
“Nara, kenapa kamu lakuin ini?”
Inara gelagapan, matanya mengedar ke penjuru ruangan, takut jika seseorang akan memergoki mereka dan salah paham dengan situasi ini.
“Lepas, Mas Artha!” desis Inara berusaha menarik tangannya, tetapi tak mampu.
“Nara, aku mencintai kamu, kamu justru milih kakakku. Kamu tahu kan kalau dia—“
“Tutup mulut kamu, ya Mas! Mas Artha adalah pria normal. Aku sudah memastikannya!”
Mata Artha mendelik. Rasa tak rela meremas hatinya. Tidak, bukankah ia yang mengharapkan semua itu? Kenapa justru Argha yang memilikinya.
“Kamu sudah berkhianat! Aku bersyukur bisa putus darimu, Mas! Aku bahagia sama Mas Argha.” Inara berharap, Artha akan sadar diri untuk tidak mengusiknya lagi. Terlebih, mereka kini telah satu rumah.
Artha semakin menarik Inara dan membuat wanita itu membentur tubuhnya, Artha melingkarkan tangannya pada pinggang Inara.
“Lepas, Mas!”
“Gak akan!”
Inara ketakutan. Ia tidak mau orang lain salah paham dengan kondisi ini. Ia sama sekali tak mau.
“Mas, aku akan teriak kalau kamu enggak lepasin,” ancam Inara dengan mata berkaca-kaca, hendak menangis karena sangking takutnya.
Artha menyeringai. Ia senang melihat ekspresi Inara yang seperti in. “Teriak? Coba saja kalau berani.”
Dada Inara begitu sesak. Jujur, ia tak tahu harus berbuat apa. Terlebih, suaminya telah menunggu di kamar. Ia tak bisa menjawab pertanyaan suaminya nanti.
“Kenapa? Takut ya?” kekeh Artha. “Kamu tahu, bahkan setiap malam aku tersiksa, Nara.”
Inara menarik napas-napas, untuk mestabilkan dirinya yang ketakutan. Ide cemerlang terbesit di otaknya. “Pa. Papa butuh apa?”
Mendengar nama papanya disebut, buru-buru Artha melepaskan Inara. Ia menoleh ke belakang dan sialnya Inara terlepas dari cekalannya, perempuan itu menyambar kopi yang ada di meja. Ia telah dikelabui.
“Bi!” teriak Inara dan Artha semakin kesal.
“Iya, Non.” Seorang pelayan datang dengan tergesa. Inara merasa aman karena sudah ada seseorang di sini, dan ia yakin, Artha tak akan mengganggunya lagi.
“Eungh, bisa bawakan makanan untuk saya, bi ke atas. Makanan ringan aja.” Ia takut Bibi yang bekerja akan bingung. Ya, terpaksa ia meminta si Bibi membawakan camilan ke kamar.
“Baik, Non.”
“Makasih, Bi.” Sebelum pergi, Inara menoleh pada Artha yang menatapnya kesal. Inara menjulurkan lidah, merasa menang dari pria itu.
Artha sendiri frustasi, tak bisa menahan Inara lebih lama.
Kini, Inara merasa sangat aman setelah masuk ke kamarnya. Ia mengurut dadanya, lega. Ia bisa terbebas dari gangguan Artha. Pria itu benar-benar tidak mengenal rasa canggung dan takut sama sekali.
“Kamu kenapa tegang seperti itu?” tanya Argha. Ia menerima cangkir keramik yang istrinya bawa. Matanya menyipit saat melihat Inara yang ketakutan.
‘Duh, kalau Mar Argha tahu, urusan bisa runyam. Yang ada, malah tambah rame. Aku sembunyiin ini aja dulu kali ya?’ batin Inara.
“Kamu kenapa, Inara? Sakit?” Setelah meletakkan cangkir keramik itu di atas meja, Argha menempelkan punggung tangannya ke kening Inara. Istrinya itu menggelengkan kepala.
“Aku tidak apa-apa, Mas.” Inara memaksakan diri untuk tersenyum, supaya suaminya itu tak terlalu curiga.
“Serius? Tapi kamu pucat sekali.”
Inara menggiring suaminya itu untuk duduk di tepi ranjang. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam. Membujuk suaminya itu untuk lekas pergi dari sini. “Mas, kalau bisa, kita segera kembali ke rumah kita aja, ya, Mas. Jujur, aku enggak nyaman. Kamu tahu, kan. Mas Artha di sini, lagian kan enggak baik kalau aku harus tinggal serumah dengan ipar yang dulunya—“
“Jadi Artha gangguin kamu?” tebak Argha dan Inara menjadi gugup.
“A-aku ….” Inara kelabakan. “Bukan gitu. Aku Cuma ngerasa tidak enak.”
‘Justru itu tujuanku, Nara. Aku ingin Artha tersiksa dulu. Aku harus cari cara, supaya Inara tetap betah di sini dulu,’ batin Argha.
“Mas.”
Argha mengusap kepala Inara dengan lembut, senyumnya begitu manis, dan membuat Inara terhipnotis. “Tenang. Ada aku yang lindungi kamu. Artha tidak akan berani gangguin kamu. Kamu sekarang kakak iparnya.”
Ah, bagaimana caranya menjelaskan ini, Inara tak berdaya. Lebih tepatnya ia tak tahu harus mulai dari mana menjelaskan. Artha hampir saja bertindak kurang ajar padanya. Namun, ia juga tak bisa membantah suaminya, kan?
“Jadi, sabar dulu ya, Nara. Rumah kita juga sedang direnovasi.”
Inara terpaksa mengangguk, meski sebenarnya ia takut setengah mati pada Artha