Arumi harus menelan kekecewaan setelah mendapati kabar yang disampaikan oleh Narendra, sepupu jauh calon suaminya, bahwa Vino tidak dapat melangsungkan pernikahan dengannya tanpa alasan yang jelas.
Dimas, sang ayah yang tidak ingin menanggung malu atas batalnya pernikahan putrinya, meminta Narendra, selaku keluarga dari pihak Vino untuk bertanggung jawab dengan menikahi Arumi setelah memastikan pria itu tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.
Arumi dan Narendra tentu menolak, tetapi Dimas tetap pada pendiriannya untuk menikahkan keduanya hingga pernikahan yang tidak diinginkan pun terjadi.
Akankah kisah rumah tangga tanpa cinta antara Arumi dan Narendra berakhir bahagia atau justru sebaliknya?
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada calon suami Arumi hingga membatalkan pernikahan secara sepihak?
Penasaran kisah selanjutnya?
yuk, ikuti terus ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Narendra menghentikan mobilnya di sebuah restoran fine dining yang terletak di pusat kota. Pria itu menoleh ke arah Arumi yang masih termangu menatap kosong ke depan.
“Ayo, turun,” ajaknya sembari melepas seatbeltnya.
Arumi tersentak kaget ketika tangannya merasakan sentuhan. “Astaga!”
“Jangan banyak melamun, ayo, kita makan malam dulu.”
Narendra sengaja tidak langsung membawa Arumi pulang ke rumah. Ia ingin memastikan Arumi sudah baik-baik saja agar tidak membuat keluarganya di rumah khawatir.
Beruntung Arumi manut, wanita itu mengangguk kemudian segera turun dari mobil diikuti oleh Narendra.
Seorang pramusaji menyambut keduanya dengan hangat, kemudian mempersilakan Narendra dan Arumi untuk duduk di tempat yang sebelumnya sempat di tanyakan oleh Narendra.
“Silakan, Tuan, Nona,”
Suasana romantis di ruangan privat di lantai tiga bangunan restoran itu membuat Arumi sedikit melupakan kejadian barusan. Wanita itu sibuk menyapu pandang pada interior serta pemandangan yang terlihat di depan sana yang terlihat begitu cantik.
“Kamu suka?”
Arumi mengangguk. “Suka, tempatnya nyaman.”
Selesai memesan hidangan, keduanya kembali saling terdiam. Narendra ingin bertanya secara langsung mengenai kejadian tadi, tetapi ia urungkan dan memilih bertanya nanti setelah mereka selesai makan malam.
“Selamat menikmati, Tuan, Nona, semoga Anda senang dengan hidangan kami. Jika ada yang Anda inginkan, silakan panggil kami.” Pramusaji itu mengangguk setelah menghidangkan beberapa menu pesanan Narendra.
“Terima kasih,” sahut keduanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa yang sudah Vino lakukan sama kamu?” tanya Narendra setelah menghabiskan makan malamnya.
Arumi meletakkan gelas yang menggantung di tangannya ke atas meja, kemudian menghembus napasnya pelan. Wanita itu menatap Narendra dengan tatapan lemah.
“Maaf,” ucap Arumi sembari menunduk.
“Aku percaya kamu tidak bersalah, katakan, apa yang sebenarnya terjadi. Kalau memang Vino mengganggumu, bilang sama aku, biar aku yang menghadapinya!” Narendra meraih tangan Arumi dan menggenggamnya erat.
Narendra berusaha untuk memberikan kekuatannya untuk Arumi.
“Aku suamimu … ada atau tanpa cinta, sudah kewajibanku menjaga dan melindungi kamu.”
Arumi menggeleng pelan. Sesak rasanya ketika harus mengingat kejadian tadi, terlebih kata-kata Vino begitu menghancurkan harga dirinya.
“A-aku … V-vino hendak melece*hkanku lagi Ren, dia–” Arumi tercekat, ia tidak bisa menceritakan kisah masa lalunya hingga terjebak hubungan dengan Vino.
Narendra memejamkan mata untuk meredam amarahnya. Ia tidak menyangka wanita di hadapannya bisa serapuh ini. Hal itu membuat Narendra semakin ingin melindungi Arumi apapun yang terjadi nantinya.
Pria itu beranjak dari duduknya, berdiri di samping Arumi dan membawanya dalam dekapannya.
“Sudah … kalau kamu memang tidak sanggup, berhentilah bercerita. Lebih baik sekarang kita pulang, Mama pasti khawatir kalau kita pulang terlambat,” ajak Narendra.
Arumi menyeka air matanya yang tiba-tiba berhamburkan keluar dari pelupuk matanya. Ia merasa sangat aman berada di samping suaminya.
“Ren … aku bukan wanita sempurna, aku bukan wanita baik, dan bersih. Kalau suatu saat nanti kamu bertemu dengan wanita yang kamu cintai, beritahu aku, agar aku bisa melepasmu, aku–”
“Berhenti, Rum. Kamu sepertinya terlalu lelah sampai bicara ngelantur seperti ini.”
Narendra mengusap air mata yang membasahi pipi Arumi. Ia juga memberikan segelas air putih kemudian meminta wanita itu untuk tenang. Selang sepuluh menit akhirnya keduanya memutuskan untuk pulang.
Dewi, Bagas, dan Galendra masih bertahan di ruang keluarga untuk menunggu kepulangan Narendra dan Arumi. Ketiga orang itu begitu khawatir dengan keadaan Arumi terlebih Dewi yang tadi sempat memeluk tubuh menantunya yang bergetar. Ia sungguh khawatir akan terjadi hal buruk padanya.
Tidak berselang lama kemudian, terdengar suara salam dari luar. Dewi segera beranjak dari duduknya dan menghampiri Arumi yang tampak pucat meskipun wanita itu menutupinya dengan senyuman.
“Kamu baik-baik saja, Sayang?”
Dewi membimbing Arumi untuk duduk di sampingnya kemudian mengulurkan segelas teh hangat yang memang sudah disiapkan sedari tadi.
“Terima kasih, Ma. Arumi baik-baik saja, kok,” jawab wanita itu pelan.
Dewi mengangguk meskipun jawaban dari Arumi tidak membuat puas sebab wajah Arumi terlihat kuyu serta tatapan matanya yang terlihat kosong.
“Ya, sudah, setelah ini beristirahatlah, bukankah besok kamu akan kembali bekerja?”
“Iya, Ma.”
Narendra mengajak Arumi ke kamar setelah menghabiskan tehnya. Pria itu memperlakukan Arumi sebaik mungkin agar wanita itu tidak merasa terbebani dengan kejadian tadi.
Padahal Narendra bukanlah tipikal pria yang mudah luluh setelah bercerai dari istrinya. Namun, entah mengapa, setelah ia kenal dengan Arumi, ia menjadi begitu mudah tersentuh oleh wanita itu. Mungkin karena mereka berdua sama-sama pernah merasakan patah hati sehingga tidak sulit membuatnya jatuh hati.
Jatuh hati? Huh, sepertinya itu terlalu cepat untuk dikatakan demikian.
***
Keesokan paginya.
Arumi terbangun di hari yang masih gelap seperti kebiasaannya. Wanita itu bergegas mandi kemudian segera keluar dari kamar menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Beruntung Arumi sudah tidak terlalu kepikiran soal kejadian kemarin, sehingga ia bisa menerbitkan senyumannya yang indah di pagi hari ini.
“Pagi, Ma,” sapa Arumi ketika melihat mertuanya sudah berkutat di dapur bersama Bi Eni.
“Pagi, Sayang. Kok, sudah bangun?”
“Iya, Ma. Sudah kebiasaan karena jam kerja Arumi memang mengharuskan berangkat lebih pagi,” jawab Arumi sambil meraih bawang merah untuk dikupas.
“Kalau begitu lebih baik kamu bersiap saja, biar sarapannya Mama dan Bi Eni yang masak,”
“Tapi, Ma–”
“Sudah, sana bersiap. Ini juga sebentar lagi selesai, kok.”
Arumi mengangguk ragu. Dulu, meski ia sering kelelahan, ia tetap membantu ibunya memasak sarapan karena tidak ingin sang ibu kelelahan. Namun, sekarang ia justru dimanjakan oleh mertuanya, Arumi merasa sangat beruntung dipertemukan dengan keluarga suaminya yang baik dan tidak pernah membedakan status sosialnya.
Pukul setengah enam, Arumi kembali membangunkan Narendra setelah subuh tadi pria itu kembali tidur.
“Ren, bangun!” Arumi berseru sambil mengguncang pundak pria itu.
“Engh, ada apa, Rum?”
“Sudah jam setengah enam, kamu buruan bangun, sekalian aku mau pamit berangkat duluan,” pamit Arumi.
Narendra yang semula masih memejamkan matanya sambil bergumam pun langsung membuka matanya.
“Kamu berangkat sepagi ini?” tanyanya tidak percaya.
“Kamu, kan, juga kerja di sana, masak nggak tahu pekerjaan OG dimulai jam berapa!” gerutu Arumi kemudian segera berlalu menyambar tas kerjanya.
Arumi masih belum menyadari jika suaminya adalah anak dari pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Padahal kemarin Pak Hasbi dengan gamblang menceritakan semuanya, tetapi karena Arumi yang cukup terkejut melihat kelakuan asli dari Vino pun menjadi sulit mencerna semuanya.
“Kamu berangkat sama siapa?”
“Sama ojek online, kebetulan tadi aku sudah pesan.” Arumi meraih tangan kanan Narendra kemudian mulai menciumnya dengan khidmat.
“Aku berangkat dulu, Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumsalam. Tapi–”
Arumi menuruni anak tangga dengan cepat tanpa memedulikan Narendra yang memintanya untuk menunggunya. Arumi berjalan ke arah dapur dan berpamitan pada mama mertuanya.
Dewi terkejut melihat Arumi yang sudah siap berangkat. “Kamu nggak sarapan dulu?”
“Enggak dulu, deh, Ma. Arumi takut terlambat dan dimarahi atasan Arumi,”
“Ya, sudah, tapi tunggu sebentar, Mama siapkan bekal dulu, ya.”
Tanpa menolak, Arumi menunggu mertuanya menyiapkan makanan pada kotak bekal untuknya sarapan.
***
"Eh, OB, sini kamu!"