Fariq Atlas Renandra seorang pria yang berprofesi sebagai mandor bangunan sekaligus arsitektur yang sudah memiliki jam terbang kemana-mana. Bertemu dengan seorang dokter muda bernama Rachel Diandra yang memiliki paras cantik rupawan. Keduanya dijodohkan oleh orangtuanya masing-masing, mengingat Fariq dan Rachel sama-sama sendiri.
Pernikahan mereka berjalan seperti yang diharapkan oleh orang tua mereka. Walaupun ada saja tantangan yang mereka hadapi. Mulai dari mantan Fariq hingga saudara tiri Rachel yang mencoba menghancurkan hubungan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naga Rahsyafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Enam
Jam menunjukkan pukul tiga sore, Fariq baru keluar dari dalam mobilnya setelah pulang bertamu di tempat Vina. Pekerjaan yang begitu banyak membuatnya sangat lelah dan harus berlama-lama bersama Vina.
Walaupun begitu, Fariq tetap ingin kepada istrinya. Dia tidak akan pernah melupakan Rachel saat bersama dengan perempuan lain.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka, Fariq menghampiri Rachel yang sedang duduk di atas ranjang.
"Sayang ... Mama mana?" tanyanya. "Rumah sepi banget."
Perlahan Fariq membuka kemeja yang ia kenakan. Dia semakin mendekati Rachel karena wanita itu tidak merespon dirinya.
"Sayang ... Mas capek."
Saat tangan Fariq terulur untuk menggenggam tangan Rachel, ia kaget ketika wanita itu menepis tangannya dengan kasar.
"Sayang ... Kok kasar?" tanyanya bingung. "Mas capek pengen peluk kamu."
Rachel pun memandang Fariq, senyum pria itu sungguh manis sekali. Namun mengingat foto yang dikirim oleh Vina, emosinya kembali tiba.
"Mas dari mana aja?"
"Kerja sayang."
"Bohong!"
"Kok bohong sih."
"Jawab! Mas dari mana sama siapa?"
"Kerja."
"Pulang jam berapa?" tanya Rachel.
"Ini baru pulang sayang."
Rachel beranjak dari tempat duduknya, saat hendak turun dari atas ranjang. Ujung lengan bajunya malah ditarik oleh Fariq.
"Mau kemana?"
"Mas dari mana aja. Kenapa nggak mau jujur sama Rachel?"
"Mas emang baru pulang kerja sayang. Tadi Mas di tempat kerja."
"Ditempat kerja apa? Mas nggak usah menyembunyikan sesuatu."
"Kamu kenapa marah nggak jelas gini?" tanya Fariq. "Kenapa hm? Butuh vitamin dari Mas?"
Rachel turun dari ranjang, matanya berkaca-kaca menatap pria itu. "Mas kerja atau keluar? Kenapa baru sekarang pulang."
"Mas kerja. Terus tadi Mampir di rumah Vina, rekan kerja kamu itu."
"Kenapa Mas bisa ketemu sama dia?"
"Tempat kerja Mas deket sama rumahnya. Jadi Mas mampir."
"Mas jahat! Harusnya Mas nggak boleh berduaan sama perempuan lain ... Atau jangan-jangan Mas memang selalu seperti itu?"
"Sayang, dia 'kan rekan kerja kamu. Masak kamu harus marah."
"Rachel cemburu Mas. Rachel nggak mau Mas deket sama dia."
"Menjalin silaturahmi apa salahnya sayang." Ucap Fariq membela dirinya.
"Salah! Bagi Rachel itu salah."
"Ya sudah. Mas minta maaf sama kamu. Mas mengaku salah karena sudah berteman dengan wanita lain."
"Rachel males ngobrol sama Mas."
"Kok gitu? Kan Mas udah minta maaf."
"Mas jahat. Mas mampir ke rumah perempuan lain sedangkan Rachel nunggu dari tadi di sini."
"Mas, minta maaf ya sayang."
"Kenapa sih Mas mampir segala ke sana. Mau selingkuh kayak Papa?"
"Hei ... Kok ngomongnya gitu."
"Rachel capek ... Kalau Mas suka sama Vina silakan, tapi Rachel nggak bisa. Akhiri aja hubungan kita."
Fariq langsung beranjak dari tempat duduknya. "Kamu beneran marah? Kok ngomongnya gitu. Dosa sayang."
"Dosa Mas bilang? Terus berduaan dengan wanita lain padahal udah punya istri apa namanya?"
"Rachel ... Dengerin Mas-"
"Nggak! Rachel nggak mau."
"Dengerin Mas sebentar aja." Saat Fariq hendak menggenggam bahu wanita itu, Rachel malah mendorong Fariq.
"Kenapa kasar sayang?" tanya Fariq yang sudah terduduk di kasur.
"Maaf." Rachel berjalan meninggalkan Fariq sendirian.
"Sayang ... Rachel sayang ..."
"Dengerin Mas dulu Rachel ..."
Pintu tertutup, Fariq mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa lelahnya semakin menjadi-jadi karena wanita itu sedang mengabaikan dirinya. Pikirannya semakin kacau karena harus memikirkan kesalahannya yang membuat Rachel marah besar.
[] [] []
Fariq sedang membaca koran tidak jauh dari tempat Rachel dan ibunya menonton televisi. Sesekali Rachel menoleh kearah suaminya yang sedang fokus membaca. Wanita hilang fokus ketika ia merasakan ada telapak tangan yang berada di bahunya.
"Kenapa, Ma?"
"Kamu yang kenapa?" tanya Indi. "Lagi ribut ya?"
"Enggak kok, Ma."
"Jangan bohong ... Selama kalian menikah, Ariq nggak pernah jauh dari kamu kecuali lagi kerja. Sekarang kalian malah duduk berjauhan."
"Enggak, Ma ... Mas Ariq 'kan lagi baca, biarin aja."
"Jangan terlalu lama diamnya. Nggak baik suami istri bertengkar."
Fariq menoleh, ia memberikan senyuman kepada kedua orang itu. Kembali ia fokus pada kertas yang memiliki banyak tulisan tersebut.
"Atau kamu lagi yang marah sama Ariq?" tanya Indi. "Yang sekarang Mama liat, Ariq biasa aja."
"Enggak, Ma."
"Sayang ... Ariq udah terbiasa sama kamu, itu sangat bagus. Kamu jangan diemin dia, usahakan dia tetap butuh kamu. Supaya dia nggak tertarik dengan wanita lain."
"Rachel lagi kesel sama dia, Ma."
"Jangan terlalu lama. Nanti semakin kamu diamkan, dia sempat merasa tidak penting. Dan akhirnya dia cari wanita lain. Kamu mau?"
"Mama kok nakut-nakutin Rachel sih."
"Sayang ..." Indi mengusap kepala anak perempuannya. "Mama rasa kamu lebih tau apa yang dibutuhkan sama Ariq. Jangan diabaikan."
"Mama tidur dulu ya. Udah ngantuk."
Rachel terdiam sejenak namun tatapannya mengarah pada pria itu. Dia sedang mencerna ucapan dari ibunya.
Rachel masih betah menyaksikan acara televisi, curi-curi pandang terhadap Fariq masih ia lakukan. Rasanya gengsi sekali harus menyapa pria itu terlebih dahulu.
Terlihat Fariq beranjak dari tempat duduknya, Rachel langsung merubah posisi agar membelakangi pria itu. Namun ia salah sangka, Fariq malah berlalu masuk ke dalam kamar.
"Iiih ... Kok nggak di bujuk sih. Dia yang salah. Ngapain ketemu sama Vina."
"Vina ... Kalau aku marah sama Mas Ariq. Vina pasti seneng."
"Bentar, bentar ... Vina pasti punya tujuan tertentu ngirim foto itu."
"Iya, aku tau sekarang. Dia mau aku sama Mas Ariq bertengkar."
"Nggak boleh! Aku butuh Mas Ariq. Mas Ariq juga butuh aku."
Rachel segera berlari kecil menghampiri suaminya, perlahan pintu mulai terbuka. Wanita itu melihat jika Fariq sudah berbaring di atas ranjang.
"Mas Ariq."
"Mas." Rachel mendekat, ia duduk di samping pria itu. "Beneran tidur. Cepet banget."
"Mas Ariq."
"Mas." Rachel mengusap wajah suaminya.
"Hmmm ..."
"Ngantuk banget ya?"
"Capek sayang. Kamu juga nggak mau ngobrol sama Mas," ucap Fariq yang masih memejamkan matanya. "Kamu tidur aja. Mungkin besok kamu udah nggak marah lagi ... Jadi Mas nggak perlu nungguin kamu buat ngobrol sama Mas."
"Maafin, Rachel ya."
Fariq membuka matanya. Keningnya mengerut sambil menatap sang istri.
"Rachel minta maaf. Harusnya Rachel nggak boleh mengabaikan Mas."
"Enggak sayang ... Kamu nggak perlu minta maaf. Mas yang salah karena mampir ke tempat perempuan lain. Mas akui itu."
"Rachel juga salah. Harusnya Rachel tau kondisi Mas sekarang. Tapi Rachel malah mengabaikan Mas gitu aja."
"Maafin Rachel ya."
"Nggak usah minta maaf lagi. Sekarang kamu tidur."
"Mas beneran udah ngantuk?" tanya Rachel memastikan.
"Kenapa hm? Mau ngobrol sama Mas?"
"Rachel mau makan buah. Mas mau keluar nggak?"
"Buah."
Rachel menganggukkan kepalanya. Sejenak Fariq menatap jam dinding.
"Udah jam sepuluh malam. Mau cari kemana sayang?"
Rachel pun tidak tau harus kemana membeli buah. Apalagi di jam-jam orang istirahat.
"Ya udah deh ... Rachel cari di online aja. Siapa tau ada malam-malam gini."
"Pengen banget makan buah?"
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Perlahan Fariq bangkit dari tidurnya. Ia mengusap lembut kepala wanita itu.
"Mas cariin ya."
"Beneran, Mas?"
"Iya sayang."
"Bukannya Mas ngantuk."
"Memberi kamu makan adalah kewajiban Mas. Jadi Mas nggak boleh tidur sebelum melakukan tanggung jawab Mas sebagai seorang suami."
"Rachel ikut."
"Nggak mau nunggu di sini?"
Rachel pun memberikan jawaban dengan anggukan kepala.