ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13: Refleksi di Tengah Ruang Tamu
Yena masih berdiri di tengah ruang tamu, memandang ke arah pintu utama yang baru saja dilewati Farel. Langkahnya yang santai dan tingkah konyolnya masih terbayang di kepalanya. Ia menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca karena campuran rasa lelah dan geli.
“Gue bener-bener menikah sama bocah,” gumamnya pelan.
Namun, pandangannya tiba-tiba jatuh pada sebuah benda besar di dinding ruang tamu. Sebuah foto keluarga Aldebaran terpajang megah di sana, mencuri perhatiannya. Yena melangkah mendekat, matanya tertuju pada dua sosok identik di foto itu—Farel dan Faris.
“Benar-benar kembar identik,” bisiknya sambil menatap lebih dekat. Tak ada yang berbeda secara fisik, tapi tetap saja, ada sesuatu yang membedakan aura keduanya.
Matanya berhenti pada wajah Farel. Bahkan dalam posisi diam di foto, wajah itu tetap terlihat... ngeselin. Yena tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil.
“Rel, lo ini kayak magnet masalah. Diam aja, tetep aja kelihatan bikin ribet.”
Yena menatap foto itu lebih lama, pandangannya akhirnya tertuju pada satu detail kecil yang membuat bibirnya tanpa sadar melengkung ke atas. Kerah baju Farel di foto itu terlihat sedikit kusut, tidak terlipat sempurna seperti orang lain di foto keluarga tersebut.
“Ya ampun, Rel... Bahkan di foto keluarga aja lo nggak bisa rapi.” Yena tertawa kecil, tangannya menutupi mulutnya untuk menahan suara tawanya agar tidak terdengar oleh siapa pun. Ada sesuatu yang begitu Farel tentang kerah kusut itu, seperti menegaskan bahwa dia adalah pria yang tidak pernah memedulikan hal kecil semacam itu.
Namun tawa kecilnya segera berubah menjadi rasa kagum ketika matanya beralih ke Faris. Kakak kembar Farel berdiri tegak di sisi Farel dengan postur sempurna, wajah tegas, dan tatapan yang penuh wibawa. Tidak ada yang salah dari penampilannya, benar-benar mencerminkan sosok pria dewasa yang sempurna.
“Farel... Lo beda banget ya, sama kakak lo,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba, suara Farel terdengar menggema di kepalanya, seolah-olah pria itu masih berada di ruangan.
“Ah, itu justru masalahnya. Faris terlalu sempurna. Lo tau nggak, jadi orang sempurna itu capek, makanya dia cuma bisa hidup segitu doang.”
Yena tersentak. Kata-kata itu pernah diucapkan Farel beberapa waktu lalu, tapi sekarang terdengar seperti sebuah misteri yang baru saja ia pecahkan. Ia menggelengkan kepala perlahan, merasa sedikit frustasi tapi juga tak bisa menahan senyuman.
“Lo bener-bener aneh, Rel,” ujarnya pelan sambil melangkah mundur dari foto itu. “Tapi ya... mungkin itu sebabnya gue harus sabar sama lo.”
"Beda banget ya?" suara lembut itu membuat Yena tersentak. Ia buru-buru berbalik dan mendapati sosok Arina, ibu Farel, yang kini juga menjadi ibu mertuanya. Wanita anggun dengan sikap yang selalu tenang itu mendekati foto besar keluarga Aldebaran yang tergantung di dinding.
Yena hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus menjawab apa.
Arina berdiri di depan foto, menatap lekat wajah-wajah yang terpampang di sana. Sorot matanya lembut, penuh kenangan. "Memang sifat mereka berbeda," ucapnya perlahan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi yang pasti, mereka saling menyayangi. Walaupun caranya tidak selalu terlihat."
Yena tetap diam, mendengarkan dengan saksama.
Tatapan Arina kemudian jatuh pada sosok Faris di foto itu. Suaranya tiba-tiba menjadi lebih berat. "Aku tidak pernah menyangka... putra sulungku itu akan pergi lebih dulu." Nada bicaranya melembut, nyaris seperti bisikan. Ada kesedihan mendalam yang sulit disembunyikan.
Melihat itu, Yena merasakan simpati yang begitu besar. Namun, ia tetap tidak berani memotong.
Arina menarik napas panjang, menahan emosinya. Lalu, ia berbalik, satu tangannya lembut menyentuh pundak Yena. "Anak itu, Farel... dia tidak menyulitkanmu, kan?" tanya Riana dengan nada penuh perhatian.
Yena sedikit terkejut, lalu buru-buru menggeleng sambil tersenyum. "Tidak kok, Bu. Dia selalu mendengar apa yang saya katakan. Meskipun... kadang caranya agak aneh."
Mendengar itu, Arina tersenyum kecil. "Baguslah," katanya sambil berjalan menuju sofa dan duduk. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan agar Yena ikut duduk.
Setelah Yena duduk, Arina melanjutkan dengan nada tulus. "Sejujurnya, aku kira dia akan memberontak sampai akhir, atau mungkin kabur dari tanggung jawabnya. Tapi ternyata, dia bisa bertahan juga. Dan itu pasti karena kamu."
Kata-kata itu membuat Yena sedikit terharu. Ia tahu Farel memang bukan orang yang mudah diatur, tetapi mendengar keyakinan ibu mertuanya membuatnya merasa dihargai.
"Saya belum melakukan apa-apa, tapi saya akan berusaha, Bu. Saya tahu, Farel bukan orang yang sempurna, tapi saya percaya dia bisa berubah."
Arina mengangguk perlahan. "Aku juga percaya. Farel mungkin bukan Faris, tapi dia tetap punya hatinya sendiri. Dan aku yakin, suatu hari nanti dia akan menunjukkan itu."
Suasana hening sejenak, namun tak lama Arina kembali mengangkat suara, seperti ada sesuatu yang terlintas di pikirannya. "Ini sudah hari kedua kamu jadi istri, nak. Kenapa kamu tidak meminta anak itu untuk bulan madu?" tanyanya sambil menatap Yena dengan penuh arti.
Yena yang mendengar pertanyaan itu langsung salah tingkah. Wajahnya memerah, ia tertawa kecil untuk menutupi rasa malunya. "Gausah, Bu. Paling dia bakal kumat lagi, bikin masalah. Lagian, dia kan baru mulai kerja."
Arina mengernyit, lalu menghela napas panjang. "Si tua itu," maksudnya adalah suaminya, "kenapa malah nyuruh anaknya kerja padahal baru selesai nikah? Harusnya kasih waktu buat bulan madu, dong."
Yena hanya tersenyum canggung, tak tahu harus menanggapi bagaimana.
Namun, Arina langsung melanjutkan dengan nada lebih tegas. "Sudah, jangan pikirkan itu. Kamu coba saja minta dia ajak bulan madu. Lagipula, kalau kamu tidak minta, dia tidak akan kepikiran."
Yena mengerutkan dahi, setengah bingung setengah ragu. "Tapi, Bu... dia itu, ya, tahu sendiri. Bukannya romantis, malah ngajak yang aneh-aneh."
"Aduh, anak muda zaman sekarang ini," Arina menghela napas dramatis. "Dengar ya, nak. Kamu itu istrinya, kamu punya hak untuk meminta. Kalau dia mulai aneh-aneh, kamu tinggal kasih tahu siapa yang lebih punya kuasa."
Yena hanya mengangguk kecil, meskipun di dalam hatinya ia tahu itu bukan tugas mudah. Ia membayangkan Farel yang pasti akan menghindar dengan berbagai alasan absurd. Namun, melihat keyakinan di mata Arina, ia merasa sedikit keberanian mulai muncul. "Baiklah, Bu. Saya coba nanti."
Arina tersenyum puas, lalu menepuk tangan Yena. "Itu baru menantu kesayangan Ibu."
Setelah percakapan mereka, Arina berdiri. "Ah, aku baru ingat, ada yang harus dikerjakan di ruang kerja. Kamu istirahat saja dulu, ya, Nak," ucapnya ramah sebelum melangkah keluar ruang tamu.
Yena hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Iya, Bu."
Begitu langkah ibu mertuanya menjauh dan suara pintu ruang kerja tertutup, suasana di sekitarnya berubah menjadi hening. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan, menciptakan kesunyian yang terasa menusuk.