"Aku pikir kamu sahabatku, rumah keduaku, dan orang yang paling aku percayai di dunia ini...tapi ternyata aku salah, Ra. Kamu jahat sama aku!" bentak Sarah, matanya berkaca-kaca.
"Please, maafin aku Sar, aku khilaf, aku nyesel. Tolong maafin aku," ucap Clara, suaranya bergetar.
Tangan Clara terulur, ingin meraih tangan Sarah, namun langsung ditepis kasar.
"Terlambat. Maafmu udah nggak berarti lagi, Ra. Sekalipun kamu sujud di bawah kakiku, semuanya nggak akan berubah. Kamu udah nusuk aku dari belakang!" teriak Sarah, wajahnya memerah menahan amarah.
"Kamu jahat!" desis Sarah, suaranya bergetar.
"Maafin aku, Sar," bisik Clara, suaranya teredam.
***
Mereka adalah segalanya satu sama lain—persahabatan telah terjalin erat sejak memasuki bangku kuliah. Namun, badai masalah mulai menghampiri, mengguncang fondasi hubungan yang tampak tak tergoyahkan itu. Ketika pengkhianatan dan rasa bersalah melibatkan keduanya, mampukah Clara dan Sarah mempertahankan ikatan yang pernah begitu kuat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11. Seperti Palu Godam
Tepat pada pukul delapan pagi, mama Clara pulang ke rumah, tapi bersamaan dengan itu Sarah pamit pulang dan sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke kampus sendirian.
Tadi sebelum ia pulang Clara sempat mengatakan ingin ikut pergi bersamanya, karena malas melihat mamanya di rumah. Tapi sebelum ia beranjak mamanya langsung menarik tangan Clara ke kamar dan setelah itu tidak ada satupun pesan dari Clara. Bahkan, sampai sekarang.
Sarah sedikit penasaran tentang apa yang Clara dan Mamanya bicarakan, tetapi ia sadar itu bukan urusannya. Ia mengabaikan rasa ingin tahunya dan melanjutkan perjalanan menuju kampus.
Tidak lama kemudian, angkot yang di tumpanginya berhenti di halte dekat kampus, di tengah keramaian pedagang kaki lima yang berjejer rapi di kiri kanan jalan.
Sarah melompat turun, menyerahkan uang kepada kenek dengan senyum singkat, lalu melangkah cepat melewati kerumunan, menghindari tetesan air hujan sisa gerimis pagi.
Udara masih sedikit lembap, bau tanah basah bercampur aroma kopi dari warung di sudut jalan. Ia melangkah cepat menuju gerbang kampus, melewati beberapa mahasiswa yang sedang asyik berbincang di bawah pohon rindang.
Di gerbang, ia berpapasan dengan Grace, yang berjalan dengan gaya santai bak model di catwalk. Tatapan mereka bertemu sekejap—dingin, tanpa basa-basi, seperti dua magnet yang saling tolak menolak. Tak ada sapaan, hanya tatapan singkat yang penuh teka-teki sebelum keduanya melangkah masuk kampus.
"Ehemm, Grace!" panggil Sarah, suaranya agak meninggi. Grace yang sedang berjalan di depannya spontan berhenti, lalu berbalik.
Tatapannya dingin—entah acuh tak acuh, atau malah menyimpan kebencian. Sarah merasakannya. Lalu, dengan tangan terlipat di dada, Grace menghampiri Sarah.
"Kenapa?" desis Grace, suaranya dingin menusuk.
Sarah sudah muak berbasa-basi. Ia bukan tipe orang yang suka berputar-putar, dan wajahnya langsung menunjukkan itu, tatapannya tajam, seperti panah yang siap mengenai sasaran, menunjukkan amarah yang membara tanpa perlu penjelasan panjang lebar.
"Kemarin ngapain Lo ajak Clara ke acara itu?!" tanya Sarah sedikit ketus.
Grace memutar bola matanya malas, mendengus. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Terus urusannya sama lo apa? Clara temen gue, terserah gue dong mau ngajak dia ke manapun!" Balasnya dengan nada agak tinggi. Grace kemudian menatap Sarah, keduanya saling menatap dengan tajam.
"Gue sahabatnya, gue lebih dulu kenal sama Clara daripada Lo kenal sama Clara. Lo jangan macam-macam ya, kalau sampai Clara ketahuan mabuk-mabukan lagi, awas aja Lo, Gue bakal bikin perhitungan sama lo!"
Sarah menunjuk wajah Grace dengan jari telunjuknya, kemudian menariknya kembali dengan cepat.
Grace menyeringai, meremehkan ancaman Sarah. Ia menggeleng pelan. "Segitunya neng? sekarang zaman udah modern kali, sah-sah aja dong kalau Clara mau minum minuman kayak gitu terus mabuk. Emang apa masalahnya sama lo? ngerugiin lo? enggak kan?!"
Napasnya tersengal setelahnya. Grace berbalik, suaranya meninggi. "Jangan hanya karena lo sahabatnya Clara lo bisa berbuat seenaknya dan bisa ngatur-ngatur dia. Mau gimanapun Clara itu orang asing, dia juga temen gue. Jadi sebelum Clara itu muak sama semua kelakuan lo ke dia, mending Lo jaga sikap dan nggak usah sok-sokan peduli!"
"Jijik tahu nggak lihat semua kelakuan lo. Kek b*bi!" suara Grace tajam, penuh penghinaan.
Grace pergi meninggalkan Sarah yang masih terpaku di tempatnya, wajah dan tubuhnya terasa panas, tangannya mengepal erat tanpa sadar. Lalu...
"Sar!" Sebuah tepukan di pundak membuat Sarah tersentak. Ia berbalik cepat, dan di sana berdiri Lein dengan wajah datarnya.
"Aku denger kok apa yang Grace bilang tadi. Kamu nggak usah sedih ya, apa yang kamu lakuin ke Clara itu sebagai bentuk rasa sayang kamu ke dia. Nggak salah kok, justru aku bangga banget sama kamu karena bisa sesayang dan sepeduli itu sama Clara," kata Lein, tersenyum tipis.
Sarah hanya diam, menatap Lein. Setelah beberapa saat ia mengangguk perlahan.
"Maaf, ya, kemarin aku pergi gitu aja," kata Sarah, suaranya sedikit pelan. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan, meskipun itu tidak besar.
Lein terlalu manis dan mengangguk. "Nggak papa kok. Aku ngerti kamu khawatir sama Clara waktu lihat dia mabuk. Kemarin aku ada rencana mau ngejar kamu, tapi temen-temenku manggil jadinya ya aku tetap stay di acara itu sampai selesai," jelasnya.
"Acaranya kemarin selesai jam berapa?" tanya Sarah.
Lein senang mendengar Sarah bertanya. "Agak malem kayaknya ya, sekitar jam sepuluh, mungkin," jawabnya agak ragu. Ia sendiri sebenarnya kurang yakin, karena kemarin yang ia lihat hanya langit yang gelap dan ia tidak membuka ponselnya untuk melihat jam.
Sarah kaget sebentar, lalu mengangguk-angguk. "Cukup malam ya," katanya.
"Biasalah kan sehabis acara utama teman-teman pada pesta. Kemarin itu...hehe kita mabuk-mabukan terus pulang dalam keadaan mabuk berat.
Aku aja kemarin hampir nggak tahu mau pulang ke mana, karena saking mabuknya aku nggak ingat jalan pulang. Tapi untungnya sampai rumah juga," kata Lein, sedikit takut sambil nyengir.
Sarah langsung menatap tajam Lein. "Kalau kemarin aku masih ada di sana tuh pasti aku ikutan mabuk kayak kamu!" ujarnya, ketus.
"Maaf-maaf, cuma kemarin aja kok. lain kali nggak, aku janji," kata Lein, merasa bersalah melihat wajah Sarah yang kesal. Ia hendak meraih tangan Sarah, tapi Sarah buru-buru mengangkat tangannya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Terserah kamu sih. Mau kamu mabuk atau enggak juga terserah kamu, aku kan bukan siapa-siapa kamu. Aku nggak bisa ngatur kamu terus. Jadi mulai sekarang terserah kamu aja mau ngelakuin apa. Aku nggak akan marah atau gimana-gimana," balas Sarah, suaranya sedikit bergetar.
Ia lalu berbalik, hendak pergi, tetapi Lein menahan tangannya.
"Aku lebih senang kalau kamu marah sama aku setelah aku ngelakuin salah. Aku masih cinta sama kamu Sar. Aku suka kamu yang protektif sama aku," ujar Lein, suaranya lembut tapi penuh harap.
Sarah diam saja. Dengan perlahan, ia menarik tangannya dari genggaman Lein dan berjalan menuju kelas.
Lein masih menatap punggung Sarah yang menjauh, matanya sendu. Lorong panjang itu dipenuhi mahasiswa yang berlalu lalang, tapi Lein hanya fokus pada Sarah. Ia menggeleng pelan, lalu berbalik dan berjalan pergi.
................
"APA Maksudnya ini, Ma?! Mama sama Papa mau cerai?! Nggak mungkin!" Clara menjerit, tubuhnya gemetar hebat, lututnya terasa lemas. Kejutan itu menghantamnya seperti palu godam, membuatnya terhuyung.
Air mata mengalir deras bagai air terjun, membasahi pipinya yang memerah. Ia merasa dikhianati, dunianya runtuh seketika. Amarah membara membakar jiwanya, menjadikan dirinya seperti gunung berapi yang siap meletus.
Mamanya yang berusaha menenangkannya, malah ikut terisak. Air mata menetes di pipinya yang putih, membasahi bulu matanya yang lentik.
"Papa kamu selingkuh, Ra! Dia udah nggak cinta lagi sama Mama!" Suara ibunya terdengar parau, penuh kepiluan. Kalimat itu bagai tamparan keras di wajah Clara.
Clara mencengkeram lengan ibunya, tatapannya tajam menusuk. "Bukannya kebalik ya? Mama kan yang selingkuh di sini bukan papa? kenapa sekarang jadinya Papa yang selingkuh?!" Suaranya bergetar, dipenuhi amarah yang tak terbendung.
"Jawab, Ma! Jawab!" Ia mengguncang lengan mamanya kuat-kuat, kecewa dan marah bercampur aduk dalam dadanya.
"Aku benci kalian berdua!" teriaknya histeris, menghantam dinding kamar dengan keras.
"Mama nggak selingkuh, Ra! Papa kamu yang selingkuh!" Mamanya membela diri, suara bergetar menahan air mata. "Mama nggak pernah selingkuh!"
Clara menepis tangan ibunya kasar. "Bohong! Mama bohong! Mama yang selingkuh! Mama yang jahat!" Air mata membasahi pipinya, tapi amarahnya lebih besar dari kesedihannya. Ia tak percaya satu kata pun yang keluar dari mulut ibunya.
"Percaya sama Mama, Ra!" Mamanya memohon, air mata mengalir deras.
Clara tak peduli. Ia berbalik, menghentakkan pintu kamar dengan keras. "Aku benci kalian berdua!" teriaknya, suara penuh kebencian menggema di rumah itu.
Ia berlari keluar kamar, meninggalkan ibunya yang terduduk lemas di lantai, tangisnya pecah tak terkendali. Clara berlari ke luar rumah, mencari udara segar, mencoba meredakan amarah yang membara di dadanya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dunianya terasa hancur berkeping-keping
Bersambung ...