Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Kunci Penting
Bab 35
"Mama, masih punya foto Agni dan Bagas sewaktu masih muda?" Terdengar suara Papa Anwar dari sebrang telepon.
"Untuk apa?" tanya Mama Aini penasaran.
"Pak Hari dan Pak Udin membutuhkan untuk penyelidikan."
"Sebentar, Mama cari dulu. Kayaknya masih ada di album lama."
Andhira yang sedang sedang menemani Arya bermain, melihat ibu mertuanya membuka laci bawah bufet. Beberapa buah album foto dikeluarkan olehnya.
"Itu untuk apa, Ma?" tanya Andhira.
"Katanya papa memerlukan foto papa dan mama kamu, untuk penyelidikan," jawab Mama Aini.
Andhira pun ikut membuka lembaran foto-foto lama milik mertuanya. Dia melihat banyak foto Papa Anwar dan Mama Aini sewaktu masih muda.
Mata Andhira bergerak ke kanan, kiri, atas, bawah mengikuti foto-foto yang ada di lembar kertas berbalut plastik. Dia melihat banyak sekali orang yang pernah dia kenal sewaktu kecil. Karena setiap ada acara dia selalu dibawa oleh kedua orang tuanya. Tidak heran jika kenal beberapa teman papa dan mamanya yang pernah bekerjasama atau teman sesama pembisnis.
Tiba-tiba tubuh Andhira menegang ketika melihat salah seorang laki-laki yang berdiri paling pinggir. Foto itu diambil ketika ada acara pertemuan para pengusaha muda. Ada Papa Anwar dan Pak Bagas juga di sana.
Mama Aini melihat perubahan ekspresi wajah Andhira. Muka sang menantu terlihat kaku dan pucat, keningnya berkeringat.
"Dhira ada apa?" tanya Mama Aini.
"Ma, siapa dia? Kenapa aku merasa takut sekali kepadanya?" tanya Andhira balik sambil menunjukkan sebuah foto.
"Dia adalah Sanusi. Orang yang dahulu pernah menculik kamu," jawab Mama Aini dengan lirih.
Tubuh Andhira bergetar, dia mendadak menggigil dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Melihat keadaan sang menantu yang seperti itu Mama Aini membawa Andhira ke kamar.
"Mama ... Oma." Arya mengikuti mereka sambil menangis karena takut mamanya kenapa-kenapa. Dia tahu jika ibunya dipegang seperti itu berarti dalam keadaan tidak baik.
"Bi Sumi, tolong teleponkan dokter!" titah Mama Aini kepada asisten rumah tangga yang kebetulan menghampiri mereka karena mendengar suara tangisan Arya.
Andhira merasakan sakit di kepalanya seperti akan pecah. Wajah Sanusi yang sedang marah, Sanusi yang tertawa terbahak-bahak, dan Sanusi yang memukulkan balok kayu kepada seorang laki-laki yang memunggungi Andhira.
"Tolong! Tolong!" Suara merintih keluar dari mulut Andhira yang memejamkan mata.
Arya ikut naik dan duduk di samping Andhira. Bocah itu memanggil-manggil mamanya, berharap mau membuka mata.
Mama Aini sampai menghubungi Papa Anwar dan Argani agar secepatnya pulang. Dia takut terjadi sesuatu kepada Andhira yang sedang hamil muda.
Dokter datang bersamaan dengan Argani dan Papa Anwar. Mereka meninggalkan rapat yang baru saja dimulai.
"Dokter, apa yang terjadi kepada Dhira?" tanya Argani.
"Nyonya mengalami shock dan beban pikiran. Ini tidak baik untuknya yang sedang hamil muda," jawab dokter.
Semua orang meninggalkan Andhira dan Arya di kamar. Biar bisa beristirahat dan tidak terganggu oleh pembicara mereka.
"Tuh, apa kata Papa juga. Jangan sampai Dhira tahu dan jadi kepikiran. Kamu jangan singgung-singgung lagi kasus itu. Kita bergerak tanpa melibatkan Dhira," ucap Papa Anwar.
"Ya, mau bagaimana lagi. Dhira itu kunci dari kasus yang menimpa keluarganya. Dia juga merupakan saksi utama untuk kasus kecelakaan yang mengakibatkan Dhika meninggal," balas Argani.
"Dhira seperti itu setelah melihat foto Sanusi," kata Mama Aini.
"Hah, di mana Dhira melihatnya?" tanya Argani.
"Di album foto ini," jawab Mama Aini. "Dia ketakutan ketika melihat foto ini."
Argani melihat foto Sanusi sewaktu masih muda. Wajahnya terlihat biasa saja, apalagi foto diambil ketika laki-laki itu tersenyum.
"Apa yang membuat Dhira sampai ketakutan seperti itu ketika melihat foto ini?" batin Argani.
"Orang di samping Sanusi ini adalah Prayoga, kakak angkat Agni, 'kan?" tanya Papa Anwar sambil menunjuk seorang laki-laki berkacamata.
"Ya. Dia meninggal ketika berusah menyelamatkan Dhira dari penculikan," jawab Mama Aini.
"Apa?" Argani lupa kalau banyak nyawa orang melayang ketika menyelamatkan Andhira sewaktu kecil.
"Ya. Aku rasa di alam bawah sadarnya Dhira kembali mengingat kejadian di mana Mas Prayoga meninggal karena melindungi dirinya. Aku rasa ini yang membuat Dhira shock sampai ketakutan seperti tadi," jelas Mama Aini.
"Setelah kejadian itu Agni dan Bagas membawa Dhira berobat ke luar negeri. Bisa dibayangkan bagaimana seorang anak kecil berkali-kali menyaksikan kematian orang-orang terdekatnya di depan mata. Orang dewasa saja bisa depresi, apalagi dia saat itu masih kecil," lanjut Mama Aini.
Kejadian terakhir itu menjadi berita besar dan diberikan di semua siaran berita televisi, radio, dan koran. Seorang pengusaha muda dari keluarga kaya yang meninggal ketika akan menolong keponakannya yang diculik.
Sanusi pun menjadi DPO yang wajahnya terpampang di mana-mana. Tersebar di seluruh negeri. Karena dia disebut sebagai seorang psikopat dan sangat membahayakan. Orang yang memiliki kelainan jiwa.
"Dhira menjalani pengobatan di luar negeri di mana, Ma?" tanya Argani.
"Di Singapore. Hampir setahun mereka tinggal di sana. Hanya Bagas saja yang pulang pergi setiap minggunya, Jakarta-Singapore," jawab Mama Aini.
Argani merasa kasihan sekali kepada Andhira. Hidupnya menderita gara-gara orang gila yang menyimpan dendam. Seorang anak kecil polos sampai mengalami trauma. Orang-orang yang menyayangi Andhira banyak yang jadi korban.
"Sanusi itu pantasnya mendapatkan siksaan berat seumur hidupnya sampai mati. Jangan dulu dibuat mati, biar dia bisa merasakan sakit yang teramat sangat dan tidak berkesudahan. Terlalu enak kalau dia hanya dihukum mati. Tidak seperti Dhira yang harus mengalami penderita, ketakutan, dan trauma sampai ingatannya harus dihilangkan," ucap Argani geram penuh emosi.
***
Sementara itu di sebuah rumah mewah, terlihat dua orang sedang berdiri saling berhadapan. Suasana di sana tegang karena dua orang itu sedang bertengkar.
"Kamu harus bertanggung jawab atas kehamilan aku ini!" teriak Putri kepada laki-laki yang berdiri di depannya.
"Kenapa aku yang harus bertanggung jawab? Bisa saja itu anak laki-laki lain. Kamu itu tidur dengan banyak laki-laki," balas Sandi.
"Hanya kamu satu-satunya orang yang tidak suka menggunakan pengaman ketika berhubungan badan. Sementara, Dewanto sudah meninggal."
"Hei, bisa saja itu benih terakhir punya Dewanto," balas Sandi bersikukuh tidak mau mengakui itu sebagai anaknya.
Sebenarnya Putri juga tidak yakin anak siapa yang sedang dia kandung. Selama lima bulan ini dia melayani lebih dari lima laki-laki dan dia menjadi wanita simpanan dari 3 pengusaha tua demi kelancaran bisnis keluarganya.
Akan tetapi, dari semua laki-laki itu Sandi dan Dewanto yang memiliki kemungkinan besar. Keduanya terkadang mengeluarkan di dalam dan tidak menggunakan pengaman. Sementara yang lain suka menggunakan pengaman dan tidak pernah mengeluarkan di dalam.
"Jika kamu tidak mau bertanggung jawab, aku akan lapor kepada polisi kalau kecelakaan yang menimpa Dewanto adalah ulah kamu. Kamu membayar orang untuk mencelakakan dia agar bisnis kamu semakin lancar dan memiliki untung besar. Selain itu kamu juga bisa memiliki aku," ujar Putri yang sedang emosi.
"Berani kau berbuat itu, lihat saja apa yang akan aku lakukan kepadamu!" teriak Sandi mengancam balik Putri.
"Kamu pikir aku tidak tahu kejahatan yang sudah keluarga kamu lakukan di masa lalu, hah!" lanjut laki-laki paruh baya itu dengan sorot mata tajam.
***
cepat² lah tobat pak Bagas, sama nenek peyot.🤭 gregetan bgt sumpah