Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Jejak di Perbatasan
Fajar baru saja menyentuh langit Eradel ketika Ayla, Kael, dan Arlen memulai perjalanan menuju perbatasan barat. Kabut pagi yang dingin menyelimuti hutan, memberikan suasana yang sunyi tetapi tidak sepenuhnya damai. Ketiganya menunggang kuda dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Ayla merasa berada di antara dua kekuatan yang berbeda, seperti tarikan antara cahaya dan bayangan. Kael yang kokoh dan selalu melindungi, adalah sosok yang telah membuatnya merasa aman. Namun, ada sesuatu tentang Arlen—caranya berbicara, sikapnya yang penuh teka-teki—yang memicu rasa ingin tahu dan ketertarikan.
"Apakah kau yakin ini jalan yang benar, Arlen?" tanya Kael tiba-tiba, memecah keheningan.
Arlen menoleh sedikit, senyumnya tidak sepenuhnya tulus. "Aku lebih dari yakin. Aku menemukan tanda-tanda aktivitas gelap di sini. Jika kita beruntung, kita bisa menemukan sesuatu yang signifikan."
Kael mendengus pelan, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
Perjalanan mereka membawa mereka semakin dalam ke hutan. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, dengan dedaunan lebat yang hampir menutupi cahaya matahari. Suasana menjadi semakin suram, dan Ayla bisa merasakan energi aneh di sekitarnya.
"Aku merasakan sesuatu," kata Ayla tiba-tiba, menghentikan kudanya.
Kael segera mendekat. "Apa yang kau rasakan?"
"Ada sesuatu... gelap, tetapi juga familier," jawab Ayla, menatap ke kejauhan.
Arlen turun dari kudanya, memeriksa tanah di sekitarnya. "Ada jejak di sini," katanya sambil menunjuk tanda-tanda bekas pergerakan di tanah yang lembap. "Ini tidak seperti jejak manusia atau hewan biasa."
Kael turun dan memeriksa sendiri, matanya menyipit. "Ini bisa jebakan. Kita harus berhati-hati."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan diskusi, suara aneh terdengar dari balik pepohonan. Suara itu seperti bisikan yang datang dari segala arah, membuat bulu kuduk Ayla meremang.
"Ayla, tetap di belakangku," kata Kael, menarik pedangnya.
Arlen hanya berdiri dengan tenang, tetapi tangan kanannya menyentuh gagang belatinya. "Kita tidak sendiri di sini."
Dari bayang-bayang, muncul sosok-sosok yang tampak seperti manusia tetapi dengan kulit abu-abu pucat dan mata yang menyala merah. Mereka bergerak dengan gerakan yang tidak wajar, seolah dikendalikan oleh sesuatu.
"Makhluk-makhluk ini... mereka dikutuk," kata Arlen dengan nada datar. "Ini adalah peringatan bahwa Noir tidak jauh."
Kael melangkah maju, melindungi Ayla di belakangnya. "Kita harus melewati mereka. Ayla, gunakan kekuatanmu jika diperlukan."
Ayla mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Cahaya lembut mulai bersinar dari tangannya, tetapi ia masih merasa ragu.
Arlen menoleh ke arahnya. "Percayalah pada dirimu, Ayla. Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan."
Pertarungan singkat itu berlangsung sengit. Kael dan Arlen berjuang dengan keterampilan mereka, tetapi perhatian Ayla tertuju pada sesuatu yang lain. Ia merasakan kehadiran Noir, samar tetapi nyata, seperti bayangan yang menunggu di balik pepohonan.
"Aku bisa merasakannya," bisik Ayla pada dirinya sendiri. "Dia di sini."
Saat makhluk-makhluk itu mulai mundur, Kael dan Arlen berdiri berdampingan, napas mereka terengah-engah.
"Kita harus melanjutkan," kata Ayla dengan tegas. "Noir ada di dekat sini, dan aku harus menghadapinya."
Kael memandang Ayla, ekspresinya campuran antara kekhawatiran dan keteguhan. "Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu."
Arlen melirik Kael dengan senyum tipis. "Dan aku juga. Kita tidak akan membiarkanmu melawan ini sendirian."
Ketiganya melanjutkan perjalanan mereka, semakin mendekati perbatasan. Ayla tahu bahwa apa pun yang menunggu mereka di sana akan menjadi ujian, bukan hanya bagi kekuatannya, tetapi juga bagi hatinya.
Langkah kuda mereka semakin perlahan saat hutan menjadi lebih lebat, dan udara semakin berat dengan aura yang menekan. Setiap napas terasa lebih sulit, seperti ada sesuatu yang mencoba menarik mereka kembali. Ayla mulai menggenggam erat jubahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat.
“Ini tempatnya,” ujar Arlen, suaranya nyaris seperti bisikan.
Mereka tiba di sebuah lembah kecil yang diselimuti kabut pekat. Di tengahnya berdiri reruntuhan sebuah altar tua, dihiasi ukiran-ukiran yang tidak bisa Ayla pahami. Batu-batunya tampak seolah-olah diwarnai dengan darah yang telah mengering, dan aura gelap menyelimuti tempat itu seperti selimut.
Ayla turun dari kudanya, tubuhnya gemetar karena perasaan yang bercampur aduk. “Aku pernah melihat tempat ini... dalam mimpiku,” katanya pelan.
Kael mendekatinya, memegang lengannya dengan lembut. “Apakah ini pasti terkait Noir?”
“Tidak diragukan lagi,” kata Arlen, matanya memindai setiap sudut reruntuhan. “Ini adalah tempat Noir menyimpan sebagian kekuatannya. Tempat ini mungkin menjadi kunci untuk mengungkap rencananya.”
Ayla melangkah mendekati altar, merasakan kekuatan aneh yang menariknya. Suara-suara berbisik mulai terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Kata-kata yang tidak dimengerti tetapi terasa seperti ancaman.
Kael segera menariknya ke belakang. “Hati-hati, Ayla! Tempat ini mungkin terkutuk.”
Namun, Arlen melangkah maju dengan tenang. “Biarkan dia, Kael. Dia yang memiliki koneksi dengan Noir. Ayla bisa menemukan sesuatu yang kita tidak bisa.”
Tatapan Kael berubah tajam, tetapi ia tidak menjawab. Ayla merasa dirinya terjebak di antara dua pria itu lagi, tetapi kali ini ia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan mereka.
Saat ia mendekati altar, cahaya lembut dari tangannya mulai bersinar lebih terang. Ukiran-ukiran di altar itu merespons, mulai memancarkan cahaya merah yang menyeramkan. Bayangan besar muncul di belakang Ayla, seperti sosok tanpa wujud yang berdiri diam, mengawasi.
“Noir...” bisik Ayla, matanya melebar karena teror.
Kael segera menarik pedangnya, berdiri di depan Ayla untuk melindunginya. “Tunjukkan dirimu, Noir! Jangan sembunyi di balik bayang-bayang!”
Arlen hanya mengamati, wajahnya tetap tenang tetapi sorot matanya penuh perhitungan. “Ini adalah peringatan. Noir tahu kita di sini.”
Tiba-tiba, suara tawa yang dingin menggema di seluruh lembah. Suara itu memecahkan keheningan, membuat bulu kuduk mereka meremang.
“Manusia bodoh,” suara itu berbicara, bergema seperti dari ribuan arah sekaligus. “Kalian pikir bisa melawanku? Aku lebih besar dari yang bisa kalian pahami.”
Ayla mencoba melawan rasa takut yang menghantui dirinya. “Jika kau begitu kuat, kenapa tidak muncul dan melawan kami secara langsung?”
Suara itu hanya tertawa lebih keras. “Kalian belum siap. Tapi waktuku akan tiba, dan ketika itu terjadi, tidak ada yang bisa menghentikan kehancuran.”
Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang memekakkan. Ayla jatuh berlutut di depan altar, tubuhnya terasa lemah setelah pertemuan itu.
Kael berlutut di sampingnya, memegang pundaknya. “Ayla, kau tidak apa-apa?”
Ayla mengangguk, meski hatinya masih bergemuruh. “Dia tidak jauh dari sini. Kita harus menghentikannya sebelum dia menjadi lebih kuat.”
Arlen mendekat, menatap altar itu dengan serius. “Aku setuju. Tapi untuk itu, Ayla, kau harus siap menggunakan seluruh kekuatanmu. Tidak ada ruang untuk ragu.”
Kael menatap Arlen dengan tajam. “Jangan menekannya. Dia sudah melakukan lebih dari cukup.”
Ayla berdiri, meski tubuhnya masih gemetar. “Kalian berdua, hentikan. Ini bukan saatnya untuk bertengkar. Kita punya musuh yang lebih besar.”
Mereka bertiga akhirnya meninggalkan lembah itu, tetapi Ayla tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan. Noir belum kalah, dan bayang-bayangnya terus menghantui mereka. Yang lebih buruk, ia merasa hubungan antara dirinya, Kael, dan Arlen semakin kompleks, membuat hatinya lebih bingung daripada sebelumnya.
Saat mereka kembali ke istana, Ayla hanya bisa berharap ia akan menemukan jawabannya—baik tentang Noir maupun tentang hatinya sendiri.