Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Belas - Apa Perkataanmu Bisa Dipercaya?
Cindi menemui Vira di rumahnya setelah pulang dari rumah Varo. Cindi merasa Alvaro makin berbeda sikapnya, apalagi tadi saat sedang bersamanya Varo bicara hanya seperlunya saja. Alvaro malah memuji-muji masakan istrinya. Lalu Alvaro menawarkan Cindi untuk makan malam bersama, menikmati tongseng kambing buatan Amara yang begitu lezat dan nikmat, akan tetapi Cindi menolak, karena melihat wajah Alvaro berbinar bahagia saat mengatakan masakan istrinya begitu enak, dan lezat, yang membuat dirinya tidak mau makan makanan lain selain masakan dari istrinya.
“Kamu kenapa, Cin?” tanya Vira yang melihat wajah Cindi cemberut, dan lagi-lagi dia menghela napasnya dengan kasar.
“Varo itu ada niatan balik sama aku lagi gak sih, Vir? Dia mau tidak untuk menikahiku? Anakku juga butuh ayah, kamu tahu sendiri dia itu bagaimana dengan Varo, kan?” ucap Cindi kesal.
“Sebentar-sebentar, ini kamu kenapa? Apa Varo berbuat yang tidak mengenakkan kepadamu?” tanya Vira.
“Dia sepertinya sangat mencintai istrinya sekarang,” cebik Cindi.
“Gak mungkin, Cin! Mana ada Varo begitu? Kalau cinta dari dulu gak sering menemui kamu dan Alea, dong? Sampai dibela-belain ke Australi saat Alea sakit. Gak mungkin dia cinta sama istri kampungannya itu!” ucap Vira dengan kesal.
“Gak tahu sih, mungkin perasaanku saja, karena tadi aku dia begitu bahagia sekali dengan istrinya, memuji-muji masakan istrinya, katanya dia itu rajin sekali meski dia siangnya bekerja di luar, tetap masih bisa urus dia di rumah, pokoknya bikin aku kesal semalam!” geram Cindi.
“Kemarin sebetulnya, aku sudah membujuk mama untuk menikahkan kamu dan Varo sesegera mungkin kok. Mama sudah setuju, bahkan sangat setuju. Tapi ya itu, Varo tidak mau. Dia kemarin marah saat membahas ini, sampai membentak kami dan meminta kami untuk tidak membahas itu lagi, dan tidak usah ikut campur dengan rumah tangganya,” tutur Vira.
Raut wajah Cindi terlihat sangat kecewa mendengar ucapan Vira barusan. Sudah tidak ada lagi harapan untuk kembali dengan Varo, sia-sia sudah dirinya pulang ke kotanya, hanya karena mengharap Varo kembali padanya.
“Sepertinya, tidak ada lagi harapan untuk aku kembali bersatu dengan Alvaro, Vir,” ucap Cindi dengan sedih.
Vira tersenyum, dan pandangannya menatap ke arah anak kecil yang sedang bermain kertas dan pena di lantai. Entah sedang menulis atau sedang menggambar Vira tidak tahu.
“Kamu tenang saja, aku tidak akan membiarkan keponakanku itu hidup tanpa seorang ayah,” ucap Vira dengan senyuman penuh arti, dengan memikirkan rencana busuknya supaya Varo pisah dengan Amara. Sedangkan Cindi, dia tersenyum samar, karena rencana menghasut Vira berhasil.
“Memangnya kamu mau ngapain? Dengan cara apa?” tanya Cindi.
“Tenang saja, aku akan membuat wanita kampungan itu mundur dengan sendirinya, kalau Alvaro masih saja begitu,” ucap Vira menyeringai.
^^^
Amara masih belum bisa memejamkan matanya. Ia masih setia menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam rongga kepalannya.
“Kamu dari tadi diam begitu, kenapa? Lagi mikirin apa, Ara? Tidurlah, sudah malam,” ucap Alvaro dengan mendekati Amara dan memeluknya.
“Mas kita cerai saja, ya? Aku semakin sadar setelah tadi aku lihat kamu dengan Cindi dan anaknya, kalian terlihat sangat bahagia. Belum pernah aku melihat kamu sebahagia itu, Mas. Lebih baik kita berpisah, daripad aku menjadi penghalang kebahagiaan kamu. Apalagi kamu dan dia sudah ada Alea.” ucap Amara dengan lirih.
“Kamu ini ngomong apa sih, Ra?” tanya Alvaro dengan kesal.
Alvaro duduk dengan menatap Amara dengan tatapan kesal, Amara lalu ikut duduk di samping Alvaro.
“Apa ini tentang anak lagi?” tanya Alvaro.
“Tidak, bukan itu. Aku bahkan sudah tidak ingin memiliki anak dari kamu, Mas. Aku hanya ingin pisah baik-baik dengan kamu,” ucap Amara dengan menunduk.
“Aku sudah berulang kali bicara, dan menegaskan padamu, kita gak akan bercerai! Gak ada perceraian di antara kita, Amara!” erang Alvaro dengan menahan emosinya.
“Apa mas tidak kasihan dengan anak mas itu?” ucap Amara dengan memberanikan diri menatap Alvaro.
“Maksud kamu apa, kok bicara gitu?” tanya Alvaro.
“Anak Cindi, anak mas juga, kan? Dan karena itu, selama ini mas tidak ingin memiliki anak dariku, sampai mas memintaku untuk memasang alat penunda kehamilan? Hasilnya semua orang mengatai aku ini perempuan mandul tak berguna!” ucap Amara dengan tatapan nanar, air matanya terlihat jelas di sudut matanya.
“Alea bukan anakku! Dia anak Cindi dengan mantan suaminya dulu!” geram Alvaro.
“Oh begitu? Ya meskipun dia bukan anak kamu, setelah kalian menikah kan anak itu akan jadi anakmu juga, Mas? Apalagi kamu sudah sesayang itu dengan dia, sampai dia sakit saja kamu menyusul dia ke Australi, kan?” ucap Amara seakan tak percaya.
“Karena aku sayang sama dia! Bahkan saat dia melahirkan aku yang menemaninya, karena dia diceraikan suami saat sedang hamil!”
“Jadi kamu yang mengurusnya, ya? Kenapa gak dinikahi saja saat itu? Kan kamu belum mengenal aku?” ucap Amara.
Alvaro diam saja. Dia mengingat bagaimana dulu sangat mencintai Cindi, namun tiba-tiba Cindi dijodohkan dengan suaminya. Rekan bisnis mendiang papanya yang berasal dari Australi. Cindi tidak bahagia dengan pernikahannya, dia sering mendapatkan kekerasan di dalam rumah tangganya, Alvaro tahu, karena mereka diam-diam masih bertemu, dan Cindi menceritakan semua ada Alvaro tentang kehidupannya.
Sampai saat dia hamil, suaminya pun masih melakukan kekerasan padanya. Hanya Alvaro yang mau menolongnya, menyelesaikan semua masalah Cindi dengan suaminya sampai selesai. Saat usia kandungan Cindi lima bulan, Cindi sah berpisah dengan suaminya.
Memang Alvaro ingin kembali dengan Cindi saat itu, karena masih ada rasa cinta yang begitu besar padanya, apalagi Cindi saat itu menderita hidupnya. Hati siapa yang tak sakit, melihat orang yang sangat dicintainya, disakiti orang lain sampai sekujur tubuh babak belur.
Namun, takdir berkehendak lain, saat itu mendiang papanya Alvaro sudah menjodohkan Alvaro dengan Amara, bahkan saat mereka masih kecil, papanya Alvaro sudahm membicarakan itu pada ayahnya Amara. Tidak peduli Alvaro sudah menjalin hubungan dengan Cindi, papanya Alvaro tetap bersihkeras menjodohkan Alvaro dengan Amara, keputusan itu tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun! Hingga Alvaro tidak bisa berkutik, begitu pun dengan mamanya dan kakaknya Alvaro.
“Sebelum semakin jauh, kita berpisah saja, Mas. Nikahi Cindi. Aku tahu rasa cintamu pada Cindi masih begitu besar, apalagi ada Alea. Ceraikan aku saja, Mas,” pinta Amara dengan suara parau.
Alvaro memandang Amara, ia menangkup kedua pipi Amara, lalu mengangkat dagu Amara supaya Amara menatapnya. Ditatapnya wajah Amara dengan begitu dalam.
“Amara Khairunisa, dengarkan aku kali ini. Percayalah padaku kali ini. Aku tidak akan menikahi Cindi! Hanya kamu satu-satunya perempuan yang akan menjadi istriku, tidak ada perceraian, tidak ada menikah lagi! Cukup kamu, Amara!” tegas Alvaro dengan tatapan yang terlihat tulus saat mengatakannya, akan tetapi Amara masih ragu dengan ucapan suaminya itu.
“Apa perkataanmu itu bisa aku percaya, Mas?” ucap Amara dengan lirih dan terisak.