Ailen kaget setengah mati saat menyadari tengah berbaring di ranjang bersama seorang pria asing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tubuh mereka tidak mengenakan PAKAIAN! Whaatt?? Apa yang terjadi? Bukankah semalam dia sedang berpesta bersama teman-temannya? Dan ... siapakah laki-laki ini? Kenapa mereka berdua bisa terjebak di atas ranjang yang sama? Oh God, ini petaka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 26
Drtt drtt
Ailen melenguh. Lelah bergelut dengan emosi, dia sampai malas merespon saat ponsel di atas nakas bergetar. Biar saja. Toh bukan alarm pagi, jadi dia aman.
Drtt drtt
Ponsel kembali bergetar. Sepertinya si penelpon punya jiwa juang yang cukup besar. Terbukti meski terus diabaikan, orang tersebut tak lelah berjuang untuk tetap menelpon. Alhasil, perjuangan tersebut pun berbuah manis. Sambil bersungut-sungut tak jelas, sosok cantik yang tadi asik bergelung dalam selimut mulai membuka mata dan bangun.
"Jam berapa sekarang?" gumam Ailen seraya menggosok mata. Dia kemudian melihat jam, terkejut begitu tahu kalau waktu menunjukkan pukul tiga pagi. "Orang gila mana yang menelponku sepagi ini?"
Kesal karena ponsel tak henti bergetar, Ailen dengan marah menjawab panggilan tersebut. Saking kesaln, dia sampai tak melihat dulu id dari si penelepon.
"Apa di rumahmu tidak ada jam?" tanya Ailen ketus.
["Aku tidak bisa tidur karena wajahmu terus membayang di mataku. Dan tentang jam, tentu saja aku punya. Banyak malah. Kalau kau mau, aku bisa mengirimkan satu truk jam ke apartemenmu. Bukan hal yang sulit mengingat aku sangat kaya."]
Begitu mendengar kenarsisan dari orang di dalam telepon, kesadaran Ailen langsung kembali sepenuhnya. Dia lalu menelan ludah sebelum melihat layar ponsel.
"Astaga, kenapa aku ceroboh begini," Ailen bergumam lirih. Andai dia tahu melihat dulu siapa yang menelpon, Ailen akan lebih memilih untuk tidak menjawabnya.
["Sayang, alihkan panggilan ini ke video call. Aku ingin melihat wajahmu. Kau harus bertanggung jawab karena kecantikanmu membuatku sulit memejamkan mata. Ya?"]
"Persetan dengan permintaanmu, Derren. Nikmati saja penderitaanmu seorang diri. Jangan bawa-bawa aku!"
Terdengar helaan napas berat dari dalam telepon, dan itu membuat tengkuk Ailen meremang. Derren tidak ada di sekitarnya, tapi napas pria itu seperti berembus di belakang telinga. Geli, juga aneh. Ailen lalu menarik napas. Memupuk kesabaran untuk membujuk pria gila tersebut.
"Tidurlah. Aku janji tidak akan mematikan panggilan ini sampai kau benar-benar tertidur," bujuk Ailen dengan sangat terpaksa. Mau bagaimana lagi. Kalau tidak seperti ini, takutnya Derren nekat dan malah datang ke apartemen. Itu jauh lebih menakutkan ketimbang melakukan sleep call dengan pria gila tersebut.
["Tapi aku ingin melihat wajahmu."]
"Patuh, atau aku akan mematikan teleponnya."
["Ck, kenapa kau jadi galak begini sih. Pria-mu sedang mendapat masalah. Harusnya disayang-sayang, bukan malah diancam. Atau ... aku datang lagi saja ke apartemenmu? Kasurmu cukup nyaman untuk tubuhku. Bagaimana?"]
Nah, benarkan? Terlalu mudah menebak kegilaan apa yang bisa Derren lakukan. Sungguh, entah kesialan macam apa yang tengah menimpa Ailen sejak malam sialan itu. Sekarang dia jadi serba salah dan harus mau mematuhi keinginan Derren demi merahasiakan fakta kalau dirinya tak lagi perawan.
"Aku akan menggantinya dengan video call," ucap Ailen mengalah. Setengah enggan, dia mengganti mode panggilan kemudian mengarahkan kamera ke depan wajah. Di layar ponsel, terlihat sosok pria yang sialnya sangat tampan tengah menatapnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat Ailen ingin berubah menjadi seorang psikopat. Heh. "Sekarang apalagi maumu?"
["Tidak ada. Aku sudah cukup senang melihat wajahmu meski hanya lewat telepon. Walau pun berantakan, kau tetap terlihat sangat cantik. Kau sangat cantik, Ailen."]
Wanita mana yang hatinya tidak meleleh jika dipuji sedemikian rupa oleh pria tampan. Ailen pun demikian. Meski awalnya kesal dan setengah tidak rela melakukan video call, pada akhirnya dia kembali berbaring di ranjang tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Terhanyut, dia dan Derren saling menatap dalam diam.
"Derren, aku bingung dengan keadaan kita sekarang. Pacar bukan, suami istri juga bukan. Tetapi kenapa sikapmu begitu posesif padaku? Aku bertanya seperti ini bukan karena menginginkan kepastian, bukan. Aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana kepadamu."
Jeda sesaat. Ailen lalu memberanikan diri untuk mengutarakan unek-unek yang tersimpan dalam hati. "Bisakah kau jangan menggangguku lagi? Aku ... ingin mengejar masa depanku sendiri. Bisakah?"
["Tentu saja boleh, sayang."]
"Benarkah? Terima kasih banyak ya. Akhirnya kau sadar juga kalau kita .... "
["Karena masa depanmu adalah bersamaku. Dan tentang status kita, selain menjadi asing satu sama lain, menjadi apa pun aku rela. Dan seribu kali lebih rela lagi jika kita bisa menikah kemudian mempunyai anak. Aku memimpikan bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan sepertimu."]
Kandas sudah keinginan Ailen yang sangat berharap Derren akan melepaskannya. Setelah dibawa terbang ke atas langit, dengan kejam pria ini mendorongnya jatuh ke dasar bumi. Rasanya sangat sakit, tapi tak berdarah.
"Apa gunanya kau mengatakan boleh kalau ujung-ujungnya nasibku akan berakhir sama? Kau sangat menjengkelkan, Derren. Sangat!" protes Ailen kesal setengah mati merasa dipermainkan.
["Syutt, sudah ya jangan marah marah terus. Ini sudah malam, lebih baik kau tidur saja. Nanti wajahmu keriput,"]
"Lebih baik aku menjadi keriput dan buruk rupa daripada harus terus berurusan dengan orang gila sepertimu!"
Di layar ponsel Derren dengan setia mendengarkan sumpah serapah dan juga berbagai macam omelan dari Ailen. Tak ada kemarahan di sana. Hanya tatapan kagum yang disertai dengan senyum tipis yang mana membuatnya jadi terlihat semakin tampan.
Puas meluapkan emosi, Ailen akhirnya diam sendiri. Dia tak lagi bicara ini dan itu, hanya diam sambil mengatur napas. Dan anehnya, dia sama sekali tak mengganti posisi kamera. Tetap tertuju ke wajahnya sehingga Derren bisa menyaksikan secara langsung bagaimana perubahan emosi di wajahnya.
"Kenapa hidupku jadi seperti ini? Aku seperti kehilangan kebebasan. Aku juga kehilangan hakku untuk bisa berteman dengan siapa pun. Apa yang salah," ujar Ailen meratapi nasibnya yang tak lagi sebebas dulu. Dan hal yang paling membuatnya sedih adalah perlakuan Derren yang tak mengizinkannya dekat dengan pria lain. Padahal ini adalah kesempatannya untuk mendekati dokter Fredy setelah sekian tahun menanti kepulangannya dari luar negeri. "Derren, bisakah kau lepaskan aku saja? Atau kau bisa meminta ganti rugi lewat hal yang lain. Aku tidak keberatan kok diminta menjadi pelayan tanpa bayaran. Asal timbal baliknya kau jangan lagi menggangguku. Ya?"
["Maaf, sayang. Tapi aku tidak akan pernah mengabulkan permintaanmu. Kau sudah terlanjur menguasai seluruh hati dan pikiranku, jadi terima saja ya. Aku janji akan menjadi priamu yang bisa diandalkan. Aku juga janji akan menunaikan semua kewajiban dengan sebaik-baiknya. Sungguh."]
"Benar tidak ada pilihan yang lain lagi?"
["Tidak ada, sayang. Sekarang saja juniorku sudah menegang keras hanya dengan melihatmu mengomeliku. Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin aku rela melepasmu? Itu tidak akan pernah terjadi, sayang. Kau sudah seberpengaruh itu di hidupku. Jadi tolong jangan punya pikiran untuk kabur dan meninggalkan aku. Karena di mana pun kau bersembunyi, Julian pasti akan menemukanmu untukku. Sudah ya jangan marah marah lagi. Nanti juniorku tak mau tidur lalu memaksaku agar datang ke apartemenmu. Oke?"]
Ailen ingin menangis, tapi tidak ada air mata yang keluar. Menyedihkan sekali.
***