"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Ancaman?
Ryan berjalan menyusuri koridor sekolah dengan napas terseret. Beberapa siswa melintas tanpa menoleh, obrolan dan tawa mereka seakan menjadi latar belakang hampa. Pikirannya masih berputar-putar, mengulang mimpi buruk yang kembali datang malam tadi, mengunci harapan yang kian menipis. Setiap langkahnya terasa menekan, seolah-olah setiap inci koridor ini adalah penjara yang menyesakkan.
Kejadian di taman sekolah tadi siang berputar lagi dalam pikirannya. Senyum Hana, senyum yang seharusnya menenangkan malah menjadi duri yang menusuk. 'Mengapa dia baik padaku?' pikir Ryan sambil mengingat suara lembut Hana yang memintanya duduk. Tapi rasa nyaman itu hanya membawa beban baru. "Aku tidak layak mendapat perhatian seperti itu."
Selama pelajaran, Ryan duduk di pojok kelas, terpisah dari bisikan-bisikan teman-temannya. Suara guru di depan terdengar seperti dengungan yang jauh. Pikirannya tenggelam dalam ingatan akan tatapan dingin Rei, senyum sinis Ivan, mereka yang selalu ada di setiap sudut gelap hidupnya, seperti ancaman yang tak pernah hilang. Ryan tahu, meski mereka belum mengganggunya secara langsung akhir-akhir ini, bayang-bayang mereka terus menghantui.
"Tak akan pernah ada akhir dari ini," bisik suara di kepalanya, membuat dada Ryan semakin berat.
Seolah mendengar pikirannya, bisikan-bisikan itu kian menguat, bertanya hal yang sama berulang kali.
Apa gunanya kau di sini?
Tidak ada yang peduli padamu.
Kepalan tangan Ryan makin mengeras. Tolong, hentikan.
Di tengah tekanan itu, pintu kelas terbuka. Ryan mendongak dengan mata berat. Hana masuk, membawa sebuah kotak musik kecil di tangannya. Wajahnya tenang, dan ada sesuatu di tatapannya yang membuat Ryan sesaat lupa pada kesunyian hatinya.
Saat Hana melewati mejanya, mata mereka bertemu. Ryan segera menunduk, merasa tak pantas menerima perhatian itu. Selama sisa pelajaran, ia berusaha melupakan kejadian ini, tapi bayangan Hana terus menghantui pikirannya. "Dia hanya kasihan padaku," bisik suara sumbang di dalam kepala.
Bel pulang berbunyi, dan Ryan segera merapikan barang-barangnya. Tanpa menoleh ke mana pun, ia keluar, mencari udara segar. Suara-suara ramai di koridor hanya terdengar seperti gemuruh jauh, tak lagi nyata.
Tanpa sadar, langkah-langkahnya membawanya ke gang di belakang sekolah. Tempat yang gelap dan sempit, mencerminkan apa yang ia rasakan. Ryan bersandar pada dinding, menatap ke langit yang mendung. Rasa lelah mencengkeramnya.
Suara-suara dalam kepalanya kembali muncul, kali ini lebih tajam.
Kau sendirian.
Tak ada yang akan merindukanmu.
Ryan memejamkan mata, merasakan air mata mengalir tanpa ia sadari. Mungkin mereka benar.
Suara langkah kaki mendekat, membuatnya membuka mata. Dari ujung gang, Rei dan Ivan muncul. Wajah mereka dihiasi senyum sinis yang membuat Ryan bergidik.
"Hei, Ryan," sapa Rei dengan nada mengejek. "Sendirian lagi?"
Ryan merasa kakinya mundur secara refleks, namun dinding di belakangnya tak memberinya ruang. 'Tidak sekarang,'pikirnya, gemetar.
"Kau kelihatan pucat," Ivan mendekat, menepuk bahunya dengan keras. "Ada masalah?"
Ryan mencoba bicara, tetapi suaranya terdengar kecil. "Apa... apa yang kalian mau?"
Rei mengangkat bahu, seolah itu pertanyaan yang tak perlu dijawab. "Kita cuma ingin berbicara," katanya, suaranya dingin dan beracun. "Sebagai teman sekelas."
"Teman?" Ryan ingin tertawa pahit, tapi tidak punya kekuatan. "Aku... aku harus pergi."
Tawa Ivan terdengar rendah, menghina. "Jangan buru-buru, Ryan. Kita belum selesai."
Sentuhan kasar Ivan di bahunya membuatnya ingin menghilang. Kata-kata itu menghantam seperti palu, memaksanya mengakui apa yang tak pernah ingin ia akui. Ia lemah. Tak berguna.
Di tengah situasi yang menyesakkan itu, sebuah suara lain terdengar dari belakang mereka. Suara yang tidak asing namun tak ia sangka akan muncul di saat ini.
"Hei, apa yang kalian lakukan di sini?"
Rei dan Ivan menoleh, ekspresi mereka berubah. Hana berdiri di ujung gang, wajahnya serius.
"Apa urusanmu?" Rei menatap Hana dengan tatapan tajam.
Hana mendekat, langkahnya tenang namun penuh kepercayaan diri. "Jika kalian mengganggu teman sekelas, itu urusanku."
Ryan terdiam, hatinya bergetar melihat keberanian Hana. "Hana, pergi dari sini," ucapnya pelan, hampir memohon.
Namun Hana tetap berdiri di tempatnya, matanya tertuju pada Rei dan Ivan. "Biarkan Ryan pergi," katanya dengan nada tegas yang membuat udara di sekitarnya berubah.
Ivan terkekeh, sinis. "Oh, jadi kau datang sebagai pahlawan sekarang?"
Tatapan Hana berubah tajam. "Tidak ada yang berhak memperlakukan orang lain seperti ini."
Rei mendekat, namun Hana tak mundur. "Siapa kau berani campur tangan?"
Hana tak menunjukkan sedikit pun ketakutan. "Seorang teman," ucapnya, tanpa ragu. "Sekarang, tolong pergi."
Rei dan Ivan saling memandang, lalu mengangkat bahu dengan enggan. "Baiklah. Tapi ingat, ini belum selesai, Ryan," ujar Rei sambil berlalu.
Begitu mereka pergi, Hana berjalan mendekat, menatap Ryan dengan penuh perhatian. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya lembut.
Ryan menghindari tatapannya, merasa malu. "Kenapa kau peduli?"
"Karena aku tidak bisa diam melihat hal ini," jawab Hana. "Ingat, kau tidak sendiri."
Kata-kata itu menyentuh Ryan, seolah menjadi sedikit cahaya di tengah kegelapan. "Terima kasih," ucapnya pelan, hampir tak terdengar.
Hana tersenyum, memberikan kehangatan yang nyaris ia lupakan. "Kalau ada apa-apa, bicaralah padaku."
Ryan menelan rasa syukur sekaligus canggung di tenggorokannya. Tatapan Hana masih di sana, penuh perhatian yang seharusnya ia anggap hangat. Namun, dalam hatinya, rasa takut dan malu bercampur jadi satu, mengikat lidahnya untuk berkata lebih banyak.
"Aku bisa pulang sendiri," katanya sambil berusaha menyembunyikan kegugupan. "Ada urusan yang harus aku selesaikan."
Hana sempat tampak ragu, tapi ia hanya mengangguk pelan. "Baiklah. Sampai besok, Ryan."
Dengan cepat, Ryan berbalik, melangkah menuju lorong, berharap Hana tak melihat kegugupannya. Begitu pintu utama terlihat, ia langsung berbelok, masuk ke WC pria, menutup pintu dengan cepat. Nafasnya tertahan, seolah baru saja lari dari sesuatu yang tak terbayangkan.
Di hadapan cermin, ia melihat wajahnya sendiri, sedikit memerah. 'Apa yang dia pikirkan sekarang?' pikirnya, menatap bayangannya sendiri. Suara hatinya terus mempertanyakan semua interaksi barusan.
Hana tadi… berdiri di sana, membelanya di depan Rei dan Ivan, bahkan memanggilnya teman. Kata-kata itu menggema, menciptakan konflik di benaknya. Apakah itu hanya simpati? Kasihan? Atau… ada sesuatu yang lain?
Tangannya meremas sisi wastafel, menahan perasaan yang mulai bergejolak. Tidak bisa dibendung, meski sekuat apa pun ia mencoba menyangkal. "Aku hanya beban," gumamnya lirih. "Siapa yang mau repot-repot peduli?"
Ryan menatap cermin, berusaha menghilangkan semua pikiran itu. Tapi bayangannya di sana, tatapan kosong yang sama seperti yang selalu ia lihat, tak memberikan jawaban.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.