Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersatu
Keisha dan Raka terus berjuang, tetapi mereka juga merasa perlu dukungan dari teman-teman mereka. Beberapa hari setelah diskusi dengan ibu Keisha, mereka mengundang Dimas dan Naya untuk berkumpul di kafe setelah sekolah.
Saat mereka duduk di meja, Keisha merasa lega melihat wajah-wajah akrab mereka. “Gimana kabar kalian? Lama nggak ketemu!” katanya, mengalihkan perhatian dari beban pikiran.
Naya, dengan senyum lebar, menjawab, “Kami baik-baik saja! Dimas baru saja menang kompetisi debat di sekolah, loh!”
“Serius? Keren banget, Dim!” puji Keisha, memberi Dimas tepuk tangan.
Dimas tersenyum bangga, tetapi sorot matanya menunjukkan keraguan. “Iya, tapi itu nggak sebanding sama masalah yang kalian hadapi sekarang, kan? Apa kalian sudah dapet informasi tentang biaya kuliah?”
Keisha menghela napas. “Gue baru denger dari Nadia bahwa biaya kuliah mungkin naik. Jadi, kita lagi cari cara biar bisa tetap kuliah tanpa membebani orang tua.”
Naya mengerutkan dahi. “Itu sih masalah serius. Tapi kalian tahu, ada banyak beasiswa di luar sana. Kenapa kita nggak coba cari tahu bareng-bareng?”
Raka mengangguk. “Iya, kita bisa saling bantu. Kita harus merencanakan semuanya dengan baik.”
Dimas yang semula ragu, kini tampak lebih bersemangat. “Gue bisa bantu cari informasi tentang beasiswa di internet. Naya, lo bisa bantu mencari pekerjaan paruh waktu, kan?”
“Pasti! Kita bisa cari info di grup WhatsApp sekolah. Banyak temen yang udah dapat pekerjaan sambil kuliah,” Naya menambahkan, terlihat bersemangat.
Keisha merasa semangat baru dalam dirinya. “Thanks, guys. Dengan bantuan kalian, kita pasti bisa mencari solusi.”
Mereka pun mulai berdiskusi dan merencanakan langkah-langkah untuk mengejar beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Dalam kebersamaan itu, Keisha merasakan kekuatan dan dukungan dari teman-temannya.
Beberapa hari kemudian, mereka sepakat untuk menghadiri seminar tentang beasiswa yang diadakan di sekolah. Di sana, mereka bertemu dengan beberapa alumni yang berhasil mendapatkan beasiswa dan mereka mendengar cerita inspiratif dari mereka.
“Semua bisa berhasil asal kita berusaha dan percaya diri,” salah satu alumni mengungkapkan. “Jangan takut untuk mencoba dan mencari bantuan.”
Setelah seminar, Keisha, Raka, Dimas, dan Naya duduk bersama di taman, membahas informasi yang mereka dapatkan.
“Gue rasa kita harus mulai membuat daftar semua beasiswa yang bisa kita lamar,” kata Dimas.
Naya mengangguk. “Iya, dan kita juga harus menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Mungkin kita bisa saling review tulisan kita.”
Keisha merasakan semangat di antara mereka. “Setuju! Kita bisa bimbingan satu sama lain. Dan jika ada yang butuh bantuan, kita bisa langsung membantu.”
Raka menatap Keisha, bangga dengan semangatnya. “Gue suka ide itu. Kita akan menjadi tim yang solid!”
Di tengah semangat yang menggebu, Keisha merasa bahwa meskipun jalan yang mereka pilih tidak mudah, bersama teman-teman, mereka bisa menghadapi apa pun. Namun, di balik kebahagiaan itu, Keisha tidak bisa menghindari rasa cemas tentang bagaimana semua ini akan berakhir.
Saat perjalanan menuju kuliah semakin dekat, konflik baru pun muncul. Keisha mulai merasakan tekanan dari berbagai arah—dari orang tua, teman, dan ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya. Dia mencoba berbagi perasaannya dengan Raka saat mereka berjalan pulang dari seminar.
“Rak, kadang gue merasa terbebani dengan semua harapan ini. Ibu, sekolah, bahkan teman-teman… semua berharap gue sukses,” Keisha mengungkapkan, suaranya sedikit bergetar.
Raka menepuk bahunya. “Keish, lo nggak sendiri. Semua orang pasti mengalami tekanan. Yang penting adalah lo tetap fokus pada tujuan dan ingat kenapa lo memulai ini.”
Keisha mengangguk, tetapi di dalam hatinya, keraguan mulai menggerogoti. “Tapi, bagaimana kalau gue gagal? Bagaimana kalau semua ini tidak sesuai harapan?”
Raka berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Lo harus percaya sama diri lo sendiri. Ingat, keberhasilan bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang usaha yang lo lakukan. Dan yang terpenting, kita ada di sini untuk saling mendukung.”
Keisha merasa sedikit lega mendengar kata-kata Raka. “Thanks, Rak. Kadang gue butuh pengingat seperti itu.”
Namun, saat mereka sampai di rumah, Keisha mendapatkan berita yang mengejutkan. Ibunya terlihat lebih khawatir dari biasanya.
“Keisha, kita perlu bicara. Ibu dapat informasi bahwa biaya kuliah bisa naik lebih dari yang kita duga,” kata ibunya dengan nada serius.
“Bu, kita sudah mempersiapkan diri. Kita mencari beasiswa dan pekerjaan paruh waktu!” Keisha berusaha meyakinkan.
“Ibu tahu, tapi kita harus memikirkan rencana cadangan. Apa kamu yakin bisa menghadapinya? Bagaimana kalau semuanya menjadi lebih sulit?” tanya ibunya, menciptakan ketegangan di antara mereka.
Keisha merasakan jantungnya berdebar. “Gue akan berusaha, Bu. Dan Raka ada di sini untuk mendukung gue.”
Ibu Keisha menatapnya dengan kekhawatiran. “Baiklah, tetapi ibu ingin kamu bersiap untuk segala kemungkinan. Jangan sampai lo merasa tertekan.”
Keisha mengangguk, tetapi beban yang dirasakannya semakin berat. Malam itu, Keisha merenung di kamarnya, merasa cemas tentang masa depannya.
Malam itu, Keisha terjaga dengan pikiran yang berputar-putar. Dia ingin menjelaskan semuanya kepada teman-temannya, tetapi takut jika beban yang dia rasakan akan menambah tekanan mereka. Namun, Keisha tahu dia harus berbagi agar mereka bisa saling mendukung.
Keesokan harinya, mereka berencana bertemu di kafe untuk membahas langkah-langkah selanjutnya. Saat Keisha tiba, dia melihat Raka, Dimas, dan Naya sudah menunggu di meja. Wajah mereka menunjukkan antusiasme, tetapi Keisha merasakan ketegangan di dadanya.
“Hey, Keish! Kabar baik?” sapa Naya ceria.
“Hmm… gue lagi banyak mikir,” Keisha menjawab sambil duduk.
Raka menatapnya serius. “Ada yang mau lo bagi?”
Keisha mengambil napas dalam-dalam. “Ibu gue baru saja bilang kalau biaya kuliah bisa naik lebih dari yang kita kira. Jadi, kita harus lebih siap dari sebelumnya.”
Dimas mengernyit, “Itu berarti kita harus bergerak cepat. Mungkin kita bisa cari lebih banyak informasi tentang beasiswa dan kerja sambilan.”
“Gue juga denger ada beberapa orang yang mencari volunteer. Mungkin kita bisa coba itu juga,” saran Naya, berusaha memberi semangat.
Keisha mengangguk, tetapi ada rasa cemas di dalam dirinya. “Iya, tapi kadang-kadang, gue merasa semua ini terlalu berat. Ibu berharap banyak dari gue. Apa kalian juga merasakannya?”
Raka menggeleng. “Lo bukan satu-satunya yang merasakan tekanan, Keish. Kita semua berjuang dengan cara kita sendiri.”
Dimas menambahkan, “Kadang, kita perlu saling mengingatkan untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Kita masih muda, dan kita punya banyak waktu untuk mencapai impian kita.”
Naya menepuk tangan Keisha. “Jadi, ayo kita buat rencana! Kita cari tahu semua beasiswa yang mungkin ada, dan coba daftar secepatnya. Kita juga bisa cari pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan jadwal kuliah nanti.”
Keisha merasa semangatnya mulai kembali. “Baiklah, kita bisa mulai dengan mencari informasi tentang beasiswa. Setelah itu, kita bisa bagi tugas untuk mencari lowongan kerja.”
“Setuju!” kata Raka dengan semangat. “Kita bisa bikin grup chat buat memudahkan komunikasi.”
Setelah mereka sepakat, mereka mulai mencari informasi di internet. Raka dan Dimas mencari di laptop, sementara Naya mencatat semua lowongan dan informasi beasiswa yang mereka temukan. Keisha merasa beruntung memiliki teman-teman yang selalu mendukung.
Namun, seiring berjalannya waktu, kelelahan mulai menggerogoti mereka. Keisha merasakan betapa sulitnya mengimbangi antara sekolah, pekerjaan paruh waktu, dan persiapan untuk kuliah. Saat malam tiba, dia merasakan keinginan untuk menyerah.
Suatu malam, setelah pertemuan panjang, Keisha duduk di kamarnya, menatap lembaran tugas kuliah yang belum selesai. Dia merasa tertekan dan bingung. Raka muncul di pintu kamar, mengetuk pelan.
“Keish, boleh masuk?” tanyanya.
“Masuklah,” jawab Keisha dengan suara lesu.
Raka duduk di tepi tempat tidur. “Gue lihat lo kelihatan lelah. Apa semuanya baik-baik saja?”
Keisha menggeleng. “Gue nggak yakin. Rasanya semakin banyak yang harus dikerjakan, dan gue mulai merasa overwhelmed.”
Raka menarik napas dalam. “Gue ngerti perasaan lo. Kadang, kita harus mengambil jeda. Lo nggak perlu memikul semua beban sendirian.”
“Gue tahu, tapi gue merasa semua ini tanggung jawab gue. Dan kalau gue gagal, apa yang akan terjadi pada orang tua gue?” Keisha mengungkapkan, suaranya bergetar.
“Lo bukan gagal. Kita semua berjuang di sini,” Raka meyakinkan, “Gue ada di sini untuk bantu lo. Kita bisa cari solusi bersama.”
Keisha menatap Raka, merasakan dukungan yang tulus darinya. “Thanks, Rak. Kadang gue cuma butuh orang yang mau denger.”
“Dan gue akan selalu ada untuk lo,” Raka berkata dengan serius.
Keisha merasa terharu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, dia merasakan beban di bahunya sedikit berkurang. “Oke, mari kita buat rencana lagi. Mungkin kita perlu mengatur waktu untuk istirahat.”
Raka tersenyum. “Nah, itu ide bagus! Kita bisa janjian buat hangout dan refreshing sejenak.”
Keesokan harinya, mereka semua setuju untuk mengambil waktu sejenak dari rutinitas mereka. Mereka merencanakan piknik kecil di taman setelah sekolah, membawa makanan ringan dan bermain permainan yang menyenangkan.
Saat hari yang ditunggu tiba, mereka berkumpul di taman dengan semangat baru. Dimas membawa bola, sedangkan Naya membawa makanan ringan kesukaan mereka.
“Yuk, kita main bola dulu!” ajak Dimas dengan semangat.
Mereka mulai bermain dan tertawa, melupakan sejenak semua tekanan yang menghantui. Keisha merasa bahagia melihat teman-temannya tersenyum. Dalam keceriaan itu, mereka bisa merasakan kebersamaan yang membuat beban terasa lebih ringan.
Setelah bermain, mereka duduk di rumput, menikmati makanan sambil berbincang. Naya tiba-tiba mengatakan, “Kalian tahu, kadang-kadang, kita butuh waktu untuk bersantai dan menikmati hidup. Kita harus ingat bahwa kebahagiaan juga bagian dari perjalanan ini.”
Keisha tersenyum, merasakan bahwa hal-hal kecil seperti ini yang membuat perbedaan. “Iya, benar. Kita harus seimbang antara usaha dan menikmati hidup.”
Raka menambahkan, “Dan jangan lupa, kita punya satu sama lain. Kita harus selalu saling mendukung dan mengingatkan untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri.”