Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Selama kurang lebih satu jam, kami hanya duduk terdiam di dalam kamar.
Kriet!
Pintu kamar terbuka. Sontak mata kami mengarah ke sana. Seorang perawat masuk ke dalam kamar, untuk mengecek kondisi bunda.
"Novita gak ke luar cari sarapan?" tanya Bunda saat sedang diperiksa.
"Iya, Bun. Sebentar," balasku sambil melirik ke arah Rio.
"Udah aman," bisik Tante Maria.
Aku pun bangkit, sambil menarik tangan Rio yang sedang asik menatap ponsel. Lalu, dengan langkah ragu, pergi ke luar kamar.
Kali ini kami hanya membeli sarapan yang ada di sekitar rumah sakit saja. Tidak mau pergi terlalu jauh. Kondisi tubuh pun memang tidak mendukung. Lelah dan kurang tidur.
Setelah sarapan, aku dan Rio memilih untuk beristirahat. Baru beberapa jam memejamkan mata, Tante Maria sudah membangunkanku.
"Ya, Tan," ucapku dengan mata masih tertutup.
"Novita, bangun."
Aku membuka mata, lalu mengambil posisi duduk dengan mata setengah mengantuk.
"Kenapa, Tan?" tanyaku.
"Bunda yang minta bangunin kamu," ucap Bunda.
"Ada apa, Bun? Novita masih ngantuk."
"Maria udah cerita tentang kejadian semalem. Sekarang lebih baik kamu pulang ke Jerman."
Mataku terbuka lebar, saat mendengar ucapan bunda.
"Iya, beberapa hari lagi juga Novita pulang."
"Pokoknya bunda minta secepetnya kamu pulang ke Jerman."
"Tapi, Bun ...."
"Kali ini bunda mohon, kamu harus nurut."
"Bunda ...," ucapku seraya berjalan mendekatinya.
"Pokoknya sekarang juga!" Suara bunda meninggi.
"Kenapa bunda maksa," balasku dengan nada kesal.
"Mbah Promo meninggal," ucap Tante Maria.
"Barusan tante dapat kabar dari anaknya," sambungnya.
"Sebelum meninggal, Mbah Promo sempat berpesan kalau kamu dan bundamu sudah ditandai. Siapapun yang sudah ditandai, kecil kemungkinan untuk lolos. Jadi sebelum waktunya tiba, sebaiknya kamu segera pulang ke Jerman. Soalnya keris itu hanya bisa melindungi satu orang saja," sambungnya lagi.
"Kenapa harus pulang sih, Tan," keluhku.
"Mungkin tindakan Mas Tedi sebelum meninggal itu benar. Memulangkan kamu ke Jerman, agar bisa terlepas dari jerat pesugihan."
"Tapi, Tan. Semua barang Novita ada di Jogja," balasku.
"Nanti biar Rio yang antar."
Kutatap Rio yang masih tertidur pulas. Suara dengkurannya itu sudah bisa menjelaskan kalau dia benar-benar kecapaian.
"Kasian Rio kalau harus bulak-balik Surabaya-Jogja lagi."
"Kamu kan bisa naek pesawat dari Jogja ke Jakarta," ucap Bunda.
"Jadi gak perlu dari Surabaya," sambungnya.
Tante Maria membangunkan Rio. Kasihan, matanya terlihat memerah, tanda kurang tidur. Bibirnya cemberut, menahan kesal.
"Yo, anter Novita pulang ke rumah," perintah Tante Maria.
"Ke rumah siapa?"
"Rumah kita."
"Hah? Ngapain?"
"Dia mau pulang ke Jerman. Nanti kalau abis ambil barang-barang di rumah, langsung anterin ke bandara aja."
"Ya udah, bentar. Cuci muka dulu."
Rio pergi ke kamar mandi. Sementara aku masih duduk di samping bunda. Menggenggam tangannya, lalu memeluknya. Air mata pun mengalir. Rasanya tak sanggup berpisah dengannya.
"Nanti kalau udah sehat, bunda datang ke Jerman ya," ucapku sambil menatap wajahnya.
"Iya, Sayang. Pasti. Udah jangan nangis." Jemari bunda menyentuh pipiku, untuk menghapus air mata.
Rio sudah ke luar dari kamar mandi.
"Tuh Rio udah siap. Kamu pergi sekarang aja, biar nanti gak kemalaman," ucap Bunda.
Aku memeluk bunda.
"Jaga kesehatan, belajar yang giat," bisiknya.
"Iya, Bun." Aku tak sanggup menahan air mata.
"Bawa ini." Bunda menyerahkan keris kecil pemberian Mbah Promo.
"Gak usah."
"Bunda gak mau ada apa-apa dengan kalian di jalan."
"Tapi, Bun. Nanti bunda gimana."
"Rio nanti balik lagi ke sini," balas Tante Maria.
Kuterima keris itu, lalu menyimpannya di tas kecil yang kubawa. Lalu, mendekati Tante Maria dan memeluknya.
"Sehat-sehat terus ya, Sayang. Jangan lupa kalau pulang ke Indonesia, maen-maen ke Jogja," bisik Tante Maria.
"Iya, Tan." Kulepas pelukan, lalu berjalan melangkah ke luar kamar. Sebuah langkah yang sangat berat.
Sebelum pintu kamar tertutup, kulihat wajah bunda yang tersenyum. Aku tau di dalam hatinya sangat sulit melepas kepergian anak satu-satunya. Lalu kami pun berjalan ke parkiran, menaiki mobil dan bergegas pergi ke Jogja.
*
Jam di dalam mobil menunjukan pukul 10 pagi. Jika perjalanan lancar, kami akan tiba pada pukul 3 sore. Di sepanjang perjalanan, aku terus mengajak Rio mengobrol. Supaya dia lupa dengan rasa kantuknya.
"Penerbangan jam 6 sore ke Jakarta," batinku saat mengecek jadwal penerbangan di aplikasi online.
Segera ku-booking jadwal penerbangan itu. Lalu melanjutkan untuk mengecek penerbangan ke Jerman. Penerbangan tercepat menuju Jerman pada jam 12 malam. Terpaksa aku memilih penerbangan itu.
Jalan tol terlihat cukup ramai, mungkin karena hari minggu. Aku terus berdoa, semoga bisa sampai Jogja dengan tepat waktu.
Sekitar pukul empat sore, kami tiba di Jogja. Rio langsung mengarahkan mobil ke rumahnya.
Saat tiba di rumah Tante Maria, bergegas kubereskan semua barang bawaan. Tidak lupa mengecek semua kelengkapan dokumen, seperti passport dan visa. Setelah itu, mandi sebentar.
Saat ke luar kamar, Rio sudah menungguku di ruang tengah. Dia membantuku membawa koper yang agak besar ke mobilnya. Setelah mengecek ulang semua kelengkapan, kami pun berangkat ke bandara.
Tidak membutuhkan waktu lama, kami pun sudah tiba di bandara. Rio memparkirkan mobil di terminal keberangkatan. Lalu, membantu menurunkan barang bawaanku.
Sebelum aku melangkah masuk ke dalam bandara. Kuambil keris kecil dari tasku, lalu menyerahkan padanya.
"Ini, tolong kasih bunda ya, Yo," pintaku.
"Oke!"
"Maaf dah ngerepotin," ucapku.
"Santai aja."
"Kapan-kapan kalau gw balik ke Indo lagi. Gw traktir lu makan."
"Kabarin aja."
"Hati-hati di jalan, Yo."
"Sip, dah sana masuk, ntar telat."
Kami pun bersalaman. Lalu, aku berjalan masuk ke dalam bandara. Kurang dari 30 menit kemudian, pesawat dengan tujuan Jakarta sudah tiba.
Sampai di Jakarta, aku masih perlu menunggu sekitar empat jam, untuk penerbangan selanjutnya ke Jerman. Sambil menunggu, aku berkali-kali menelepon Tante Maria, untuk berbicara dengan bunda. Aku juga sudah bilang, kalau keris itu sudah dititipkan pada Rio.
Menjelang keberangkatan, kondisi bandara sudah agak sepi. Hanya ada beberapa gerai makanan atau minuman yang masih buka. Aku berjalan ke salah satu gerai makanan, untuk membeli cemilan. Selanjutnya, langsung masuk ke boarding area.
Kududuk di salah satu bangku kosong di pojok boarding area. Tiba-tiba kepala ini terasa berat, pusing sekali. Badan pun mulai terasa panas.
"Mau ke mana kamu," bisik Suara yang sangat mirip dengan Siluman Ular itu. Spontan aku mengedarkan pandangan, berharap dia tidak benar-benar ada di sini.
Deg!
Sama-samar, kulihat Siluman Ular itu sedang berdiri di pojok ruangan yang agak gelap. Aku bangkit, lalu mencari tempat duduk yang lebih ramai orang.
Kepalaku semakin terasa berat. Hawa dingin merambat di punggungku. Seperti ada yang meneman pundak dari belakang.
"Sampai kapan pun kamu tidak akan bisa lolos, Novita," bisiknya.
Aku mensugestikan diri untuk tetap kuat. Berusaha tidak terpengaruh dengan semua ucapan Siluman Ular itu.
Panggilan penumpang untuk penerbangan menuju Jerman menggema di ruangan. Walaupun tubuh ini terasa berat, aku memaksa bangkit dan berjalan menuju antrian masuk ke dalam pesawat.
"Are you okay? (Apakah kamu baik-baik saja?)," tanya salah seorang penumpang yang berdiri di depanku.
"I'm okay (Aku baik-baik saja)," balasku sambil menahan rasa sakit yang kian memburuk.
Saat pengecekan terakhir sebelum masuk ke pesawat. Sang pramugari menatapku penuh curiga. Namun aku berusaha tetap kuat dan tersenyum. Beruntung akhirnya bisa lolos dan masuk ke dalam.
Di dalam pesawat, aku terus berdoa agar gangguan ini segera pergi. Untuk mengalihkan perhatian, kunyalakan monitor kecil di depan kursiku. Menonton film yang tersedia. Tidak lupa mengirimkan kabar pada Tante Maria, kalau aku sudah akan berangkat ke Jerman.
Pesawat mulai lepas landas, meninggalkan bandara. Seketika itu, semua rasa sakit hilang begitu saja. Berharap ini menjadi kabar baik, kalau Siluman Ular itu tidak mengikutiku.
Dalam delapan jam ke depan, pesawat akan tiba di Dubai, untuk transit beberapa jam. Sepanjang perjalanan, aku memilih untuk menonton film dan tidur. Sekitar pukul 5 pagi waktu Dubai, pesawat mendarat.
Aku pun ke luar pesawat, bergegas menuju area transfer. Sebuah tempat yang untuk menunggu waktu transit. Tersedia banyakan makanan gratis. Ada juga alternatif gerai makanan lain. Aku duduk di salah satu kursi yang kosong, lalu mulai mengambil makanan.
Kuambil ponsel di tas kecil yang kubawa. Lalu mengaktifkannya. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar, dari Tante Maria. Kubuka pesan itu ....
[Novita, kalau kamu sudah sampai Jerman. Tolong telepon tante]
Bergegasku telepon Tante Maria, lama sekali baru diangkatnya.
"Halo, Novita," sapa Tante Maria. Suaranya agak berbeda seperti sengau.
"Ya, Tante. Ada apa?"
Tante Maria mulai menangis. Firasatku sudah tidak enak, pasti terjadi sesuatu dengan ....
"Bundamu udah gak ada," ucapnya diiringi tangis.
"APA?" Aku terkejut dengan ucapannya itu.
"Bundamu sudah meninggal, Sayang."
Deg!
Seketika itu, badanku lemas. Ponsel yang ada digenggamanku pun terlepas. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Tak peduli orang lain memperhatikanku.
Seorang petugas bandara datang menghampiriku. Menanyakan apa aku baik-baik saja. Lama sekali baru kujawab kalau pada saat perjalanan menuju Dubai, orang tuaku meninggal dunia.
Salah satu penumpang menyarankanku untuk terbang kembali ke Indonesia. Dalam kondisi kalut, aku pun sepakat dengannya.
[Novita mau pulang sekarang]
Pesanku pada Tante Maria
[Jangan, Sayang]
Balas Tante Maria.
[Kenapa Tante ... Novita mau liat wajah bunda untuk terakhir kalinya]
Tante mengirimkan sebuah video. Terlihat bunda yang sedang terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya terlihat memerah, dengan nafas tak beraturan.
"Qi-la, kamu harapan bunda satu-satunya. Apapun yang terjadi, jangan pulang ke sini," ucap Bunda dengan nafas tersengal dan menahan sakit.
[Itu pesan terakhir bundamu, sebelum dia menghebuskan nafas terakhir]
Tangisku pun kembali pecah. Bahkan di momen terakhir dalam hidupnya pun, dia masih mengingatku.
Pemberitahuan untuk penerbangan selanjutnya mulai terdengar. Ini keputusan terakhirku, berjalan maju dengan langkah yang berat atau mundur dan menanggung semua resikonya.
Aku pun melangkah maju, tak mau mengecewakan harapan terakhir bunda. Benar, kini tinggal aku satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.
Kuseka air mata, berusaha tetap terlihat tegar. Lalu masuk ke dalam pesawat menuju Jerman. Sebuah perjalanan yang sangat berat sekaligus menyakitkan. Berkali-kali air mataku tumpah. Mengingat pelukan terakhir dengan bunda.
Setibanya di Jerman, Carlos dan Melina sudah menunggu di pintu ke luar. Saat melihat mereka, pertahananku pun ambruk. Aku jatuh terduduk di lantai bandara dan menangis.
Melina dan Carlos berlari menghampirku, dengan wajah panik. Kemudian mereka memelukku dan berusaha menenangkanku. Berkali-kali menanyakan tentang apa yang terjadi.
Melina membantuku berdiri dan memapahku ke dalam mobil. Namun, aku terus menangis dalam pelukan Melina.
Tak pernah sekalipun aku berpikir, akan kehilangan seluruh anggota keluarga dalam waktu kurang dari setahun. Pesugihan itu benar-benar sudah menghancurkan hidupku. Entah bagaiamana aku bisa melanjutkan hidup, tanpa dukungan dari keluarga.