Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tikus Perusahaan
Hari ini, Selvira kembali ke pekerjaan barunya. Yaitu, membantu sang ayah mengurus perusahaan, tentunya dia membawa Vara.
"Vara sayang, Mama kerja dulu ya. Vara disini saja, kalau haus boleh ambil air minum di kulkas," ujar Selvira sambil mengusap kepala sang putri.
Vara mengangguk polos. "Oke, Mama."
Selvira tersenyum lembut. "Anak pintar!"
Selvira melangkah ke kursi kebesarannya, dia telah resmi di angkat wakil direktur, nanti setelah Selvira telah mampu sendiri. Perusahaan Prameswari Corp, akan dia pegang.
"Mama, aku bocan,” keluh Vara sambil menggoyangkan kakinya. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruang kerja ibunya, Selvira, yang tengah sibuk memeriksa dokumen penting.
“Sayang, Mama sedang banyak kerjaan. Kalau kamu bosan, coba gambar di buku ini,” ujar Selvira sambil memberikan buku catatan kecil pada anaknya.
Vara mengerutkan dahi. Ia tahu bermain-main dengan buku catatan tidak akan menyelesaikan rasa bosannya. Ia butuh sesuatu yang lebih menantang.
“Mama, boleh Vala jalan-jalan cebental? Aku cuma mau lihat-lihat luangan lain,” pinta Vara matanya berbinar-binar penuh harap.
Selvira melirik anaknya sejenak. “Baiklah, tapi jangan jauh-jauh, ya. Tetap di lantai ini saja, dan jangan ganggu orang lain.”
“Siap, Mama!” sahut Vara dengan senyuman manis, lalu melangkah keluar. Namun, di dalam kepalanya, ia tahu ini adalah kesempatan sempurna untuk menjelajahi apa yang sedang terjadi di perusahaan ini.
Vara berjalan menyusuri lorong-lorong kantor dengan langkah kecil yang nyaris tanpa suara. Matanya yang tajam menangkap sebuah pintu yang sedikit terbuka. Dari dalam, terdengar suara pria yang dikenalnya sebagai Delon, sepupu ibunya.
“Transfer berikutnya harus segera dilakukan,” kata Delon dengan nada pelan.
“Semua sudah disiapkan, Pak Delon. Dana sebesar lima puluh miliar akan masuk ke akun luar negeri sore ini,” balas seseorang.
“Bagus. Dengan ini, Paman Anggara tidak akan sadar kalau kekayaannya perlahan-lahan pindah ke tanganku,” ujar Delon sambil tertawa kecil.
Vara mengepalkan tangan kecilnya. Beraninya dia mencuri dari Kakek! pikirnya. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, tapi tidak bisa langsung melapor begitu saja.
Awas saja kalian! Aku akan memberikan kalian pelajaran! Dasar pencuri berdasi! batin Vara.
Delon dan bawahannya segera keluar ke ruangan milik Delon. Vara segera bersembunyi di balik tembok.
Setelah Delon dan rekannya pergi, Vara menyelinap masuk ke ruangan itu. Di dalamnya ada komputer yang masih menyala, menampilkan layar akun keuangan perusahaan.
Ini terlalu mudah, pikir Vara, jiwa agennya mengambil alih. Dengan jari-jari kecilnya, ia memanjat kursi dan mulai mengetik di keyboard.
Vara memanfaatkan kemampuan otaknya yang cerdas untuk mengakses ulang data transaksi. Ia memindahkan semua dana yang sudah dipindahkan Delon kembali ke akun asli perusahaan, memastikan tidak ada jejak digital yang mencurigakan.
“Aku halus pactikan cemuanya lapi,” gumam Vara pelan sambil memindahkan beberapa file palsu yang diletakkan Delon untuk mengelabui sistem.
Butuh waktu sepuluh menit baginya untuk menyelesaikan semuanya. Setelah selesai, ia mematikan komputer dengan hati-hati dan melangkah keluar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Kalian tidak akan bisa menikmati uang dari kakekku, selama masih ada aku! batin Vara menyeringai.
Vara kembali masuk ke ruangan sang ibu, terlihat Selvira menatap sang putri.
"Lho! Tadi katanya mau jalan-jalan sayang, kok udah balik lagi?" tanya Selvira.
"Vala cudah puas, Mama. Cekalang Vala mau main game," jawab Vara tersenyum polos.
"Baiklah, sayang!" sahut Vara.
Hari itu jam makan siang. Selvira masih sibuk di ruangannya di kantor Prameswari Corp, menyelesaikan beberapa dokumen penting sebelum waktu istirahat. Vara, bocah perempuan cantik berusia tiga tahun dengan jiwa agen ganda, duduk di sofa kecil sambil menggambar sesuatu di buku sketsanya.
“Mama, kapan kita makan siang?” tanya Vara sambil memandang ibunya dengan mata bulat.
“Sebentar lagi, sayang. Mama hanya perlu menyelesaikan ini,” jawab Selvira lembut.
Ketukan di pintu memecah kesunyian.
“Masuk,” ujar Selvira.
Seorang staf muncul. “Maaf, Bu Selvira, ada dua tamu yang ingin bertemu. Pak Andrian dari Astra Holdings dan Pak Leonardo Vincent dari Zenith Corporation.”
Selvira mengernyit. “Mereka berdua? Apa mereka sudah menunggu lama?”
“Tidak, Bu. Mereka baru tiba bersamaan di lobi.”
Selvira mengangguk. “Baik, suruh mereka masuk.”
Vara menoleh dengan rasa ingin tahu. Ia mengenal kedua nama itu. Andrian dan Leonardo lagi. Apa mereka tidak pernah bosan? pikirnya.
Tak lama, dua pria tampan memasuki ruangan. Andrian, dengan senyum cerah dan jas hitamnya, melangkah lebih dulu.
“Selvira,” sapanya ramah, “Senang akhirnya bisa bertemu lagi. Kebetulan aku ada waktu luang dan ingin mengajakmu makan siang.”
Leonardo Vincent, yang tampak dingin tapi memikat dengan setelan abu-abunya, berdiri di belakang Andrian. Ia hanya mengangguk kecil. “Aku juga punya niat yang sama. Sudah lama tidak melihatmu beristirahat dari pekerjaan.”
Selvira tersenyum kecil, meski sedikit bingung dengan situasi ini. “Terima kasih atas perhatiannya. Tapi kalian tidak perlu repot-repot.”
Namun, sebelum Selvira sempat menolak lebih jauh, suara kecil Vara memecah suasana.
“Om Andlian, Om Leonaldo,” sapa Vara sambil menatap mereka dengan mata tajam. “Kalian di sini lagi?”
Andrian tertawa kecil. “Tentu saja, Vara. Aku harus sering mampir untuk bertemu ibumu.”
Leonardo menatap Vara dengan lembut, meski ekspresinya tetap dingin. “Bagaimana kabarmu, Vara? Kau terlihat lebih ceria dari terakhir kali kita bertemu di mall.”
Vara tersenyum kecil. “Aku baik. Tapi Om beldua, kenapa celalu datang belcamaan? Apa kalian teman?” tanya Vara mengetes.
Selvira tersenyum geli mendengar pertanyaan putrinya, tapi Andrian dan Leonardo saling melirik.
“Bukan teman, tapi mungkin ... rival,” jawab Andrian setengah bercanda.
Leonardo mengangguk singkat. “Setidaknya kita memiliki tujuan yang sama.”
Selvira tertawa kecil, meski tidak sepenuhnya memahami arti kata-kata mereka.
"Ayo kita pergi makan bersama," ajak Andrian tersenyum ramah.
"Aku sudah lebih dulu memesan ruangan di restoran, lebih baik makan siang bersamaku saja. Lagipula tidak sopan untuk membatalkannya," sahut Leon dengan suara dingin.
"Tidak! Jangan sama pria ini, dia ini sangat kaku dan dingin. Kalian akan membeku jika didekatnya," ujar Andrian tidak terima.
Leon melirik tajam ke arah Andrian. Dia memang tidak terlalu banyak bicara, tapi jika bersama Selvira dia selalu berbicara lebih dulu.
Vara menatap malas kedua pria di depannya ini Persaingan cinta memang membuat orang kekanak-kanakan! pikir Vara.
"Om Andlian, Om Leonaldo. Kalian ini cepelti anak-anak," celetuk Vara.
"Aku makan bersama Vara saja," sahut Selvira mencoba menolak halus.
Kedua pria itu menatap Selvira lembut. "Kamu makan dengan aku saja. Ayo," ujar Leon.
"Tapi—"
"Mama, lebih baik kita makan belcama caja, bial adil," ujar Vara polos.
Kedua pria itu saling lirik, kemudian mengangguk pasrah.