Park Eun-mi, seorang gadis Korea-Indonesia dari keluarga kaya harus menjalani banyak kencan buta karena keinginan keluarganya. Meski demikian tak satupun calon yang sesuai dengan keinginannya.
Rayyan, sahabat sekaligus partner kerjanya di sebuah bakery shop menyabotase kencan buta Eun-mi berikutnya agar menjadi yang terakhir tanpa sepengetahuan Eun-mi. Itu dia lakukan agar dia juga bisa segera menikah.
Bagaimana perjalanan kisah mereka? Apakah Rayyan berhasil membantu Eun-mi, atau ternyata ada rahasia di antara keduanya yang akhirnya membuat mereka terlibat konflik?
Yuk! Simak di novel ini, Kencan Buta Terakhir. Selamat membaca.. 🤓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 14
Kesibukan di ruang etalase pagi ini nampak dengan mulai banyaknya berdatangan para pembeli. Sebagian besar dari mereka memang langganan tetap yang sudah tahu pasti apa yang ingin mereka beli.
Tapi ada juga beberapa yang sepertinya baru pertama kali singgah di toko ini. Mereka banyak bertanya tentang produk yang dijual dan tentu saja para pelayan harus menjawab semua pertanyaan mereka dengan sopan dan sabar. Kesan yang baik akan membuat mereka senang dan akhirnya akan menjadi pelanggan tetap di sana.
Seorang lelaki memasuki toko tersebut. Dia berdiri sebentar di depan pintu kemudian melangkah pelan menuju etalase. Namun matanya tak serta merta melihat ke arah jejeran produk dengan tampilan menggugah selera yang ada di dalamnya. Ia justru memandang ke arah meja kasir, mengamati gerak-gerik wanita yang berada di sana dengan raut gusar.
Belum puas dia memandangnya, kakinya sudah sampai tepat di depan etalase. Mau tak mau dia harus segera memilih apa yang akan dibelinya. Pelayan di situ menanyakan keinginannya dengan senyuman dan kata-kata yang sangat ramah, sesuatu yang ia harap bisa didapat dari wanita di meja kasir. Tapi itu tak mungkin, karena sepertinya pelanggan yang lain pun juga mendapat perlakuan hambar darinya.
Mereka memang tak peduli itu, tapi tidak dengan dirinya. Entah mengapa dia merasa terganggu dengan sikap wanita itu. Hambar, hampa, kosong, dan istilah-istilah lain yang menggambarkan ketiadaan terasa melekat pada sosoknya. Ia tahu pasti bahwa semua itu merupakan ekspresi dari rasa sakit yang sudah mengendap begitu dalam. Ya, karena dia sendiri juga pernah mengalami hal itu. Berharap orang lain tak ingin menyapa karena terlalu jengah untuk berbicara apalagi sekedar basa-basi dan hal remeh lainnya.
Ingin rasanya ia menjadi pengisi ketiadaan itu. Tapi bagaimana mungkin? Sekedar menyapanya pun adalah hal yang sangat sulit baginya. Bahkan baru-baru ini saja ia berani memasuki toko setelah sekian lama hanya memandangi wanita itu memasukinya setiap pagi dan pulang saat menjelang sore.
Pria itu pertama kali melihatnya di sebuah pembukaan pameran fotografi yang dihadirinya. Seorang wanita yang begitu ceria dan murah senyum. Senyum yang hingga saat ini masih tak bisa ia lupakan walau tak lagi terlihat di wajahnya. Saat itu dia terlihat begitu bahagia menggandeng seorang lelaki, mungkin kekasihnya. Harapan bahwa hubungan mereka segera berakhir memang terdengar jahat, tapi tidak dalam perkara jatuh cinta.
Mulai saat itulah ia rajin mengikuti kegiatan wanita itu lewat media sosial. Ia hanya berani menyapanya dengan menggunakan akun bayangan karena sebenarnya ia sendiri bukanlah orang kebanyakan yang tentu saja dikenal publik cukup luas. Pengecut? Terserah yang orang lain pikirkan. Yang penting ia bisa merasakan kebahagiaan luar biasa saat komentarnya mendapat balasan.
Hingga tiga tahun yang lalu, tiba-tiba tak ada lagi yang bisa dia simak di sana. Wanita itu seolah berhenti begitu saja dari setiap hal yang dia lakukan sebelumnya. Tak ada informasi apapun yang bisa dia telusuri. Sampai sekitar empat bulan yang lalu tanpa sengaja ia melihat wanita itu berjalan dengan tatapan kosong menuju sebuah toko roti. Yang pria itu lakukan hanya menatap dari jauh dan setelahnya dia mengetahui kalau kini wanita itu bekerja sebagai kasir di sana. Apa yang terjadi?
Saat ia mencoba untuk menyapanya, hanya tatapan dingin yang dia dapat. Tak ada kata sama sekali. Rasa kecewa mengilas di hatinya, berharap lebih namun sepertinya itulah bahasa yang dipakai wanita itu sekarang.
Dan kini dia kembali berhadapan dengan wanita itu, dipisah oleh meja dan mesin kasir. Tetap tak ada kata, hanya ucapan jumlah uang yang harus dia bayarkan untuk sekotak roti yang dibelinya. Dan pria itu harus puas karena memang sia-sia berharap lebih. Akhirnya ia keluar dari toko itu, dan berharap lain waktu akan mempunyai kesempatan lebih baik dari hari ini.
"Apa yang kau lakukan disini? Seharusnya kau jangan ke sini dulu, nanti dia bisa curiga", Rayyan menarik tangan In-ho yang baru keluar dan membawanya menjauh dari toko.
Yang ditarik kaget bukan main bahkan hampir saja dia tersandung kakinya sendiri. In-ho tak tahu saja kalau sedari tadi Rayyan sudah menunggunya di depan toko dengan gelisah.
"Aku cuma membeli roti", sahut In-ho sambil menunjukkan bungkusan berisi kotak roti pada Rayyan.
"Apa tidak ada toko roti lain yang bisa kau datangi? Dulu saat kau datang pertama kali, Eun-mi juga sudah curiga. Jadi kalau kau kembali ke sini sebelum kencan buta kalian, apa malah tidak semakin mencurigakan?", Rayyan bahkan meninggikan suaranya. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi dia hanya panik.
"Apa salahnya? Aku menyukai roti kalian", In-ho berkilah tak mau kalah.
Rayyan hanya menampakkan tatapan gusar tanpa bicara.
"Baiklah.. Aku tak kan ke sini lagi sebelum kencan buta. Lagipula besok sudah jadwalnya, jadi setelah itu aku boleh ke sini semauku kan?", tanya In-ho tersenyum penuh harap.
Rayyan melengos.
"Ya..ya.. tentu saja. Bahkan kalau kalian jadi menikah, kau bisa makan roti dan kue di toko ini sepuasnya", Rayyan kemudian hendak meninggalkan In-ho yang hanya terkekeh.
"Sore ini jadi kan? Jadwalnya apa masih seperti kemarin?", tanya In-ho sambil melangkah mendekati mobilnya.
Rayyan berbalik sebentar lalu tersenyum mengangguk.
"Tentu saja, sampai bertemu di sana", sahutnya, kemudian mereka berpisah.