Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelarian Pertamaku
Nanda melangkah cepat menjauh dari rumah keluarga Larung dengan perasaan gugup bercampur senang. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan terkurung dalam kehidupan yang penuh tekanan, ia merasa bebas. Tidak ada Bu Turi yang mengawasinya, tidak ada Dimas yang mengendalikan langkahnya, dan tidak ada ancaman dari pengawal yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi.
Hari ini, ia ingin menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri—tanpa ada yang mengatur, tanpa ada yang memperhatikan setiap gerak-geriknya. Senyuman kecil tersungging di bibirnya, meski jantungnya masih berdegup kencang karena dorongan adrenalin. Ia sadar, jika Dimas tahu ia keluar tanpa izin, mungkin amarah pria itu akan meledak. Tapi Nanda tidak peduli. Hari ini, ia memilih dirinya sendiri.
Langkahnya membawa Nanda ke sebuah taman kota yang tak jauh dari pusat keramaian. Suasana di sana begitu berbeda dengan kehidupannya yang selama ini terasa seperti penjara. Anak-anak berlarian di sekitar taman, pasangan muda duduk di bangku sambil tertawa, dan para pedagang kaki lima menjajakan makanan dengan senyum ramah. Nanda merasa seperti masuk ke dunia lain—dunia yang penuh kebebasan, yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Ia duduk di bangku taman, menghela napas panjang. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya, membawa ketenangan yang sudah lama tak ia rasakan. Nanda menatap langit yang cerah, seolah dunia pun ikut merayakan kebebasannya hari ini.
"Ini hidup yang aku inginkan," gumamnya pelan, matanya berbinar. Tak ada lagi rasa takut. Tak ada lagi tekanan. Untuk beberapa saat, ia ingin melupakan semua hal yang membuatnya terperangkap—pernikahan yang tak ia inginkan, suami yang tak mencintainya, dan tuntutan keluarga yang begitu membebaninya.
Nanda merogoh tas kecilnya, mengeluarkan ponsel. Ia membuka aplikasi pesan dan menatap nomor kontak ibunya yang ada di layar. Jari-jarinya ragu, ingin menuliskan pesan bahwa ia butuh waktu untuk sendiri, tetapi ia tahu reaksi ibunya pasti akan marah besar.
"Sudahlah, biar nanti saja," Nanda berbisik pada dirinya sendiri. Ia mematikan ponsel, memilih untuk menikmati momen ini tanpa gangguan apa pun.
Saat sedang menikmati kebebasan kecilnya, Nanda melihat seorang pria berdiri di kejauhan, memandangnya dengan senyum tipis. Wajah pria itu tidak asing. Sanjana Binar Rimbawa, sosok yang pernah membuat hatinya bergetar saat di bangku SMA. Lelaki yang dulu hanya menjadi bagian dari kenangan, kini berdiri di hadapannya, seolah waktu tidak pernah berlalu.
Sanjana berjalan mendekat dengan langkah santai, membawa aura yang tenang dan penuh kepercayaan diri. "Nanda Panesthi?" sapanya dengan nada lembut namun penuh keyakinan.
Nanda tertegun sejenak, lalu mengangguk pelan. "San? Lama sekali tidak bertemu."
"Sudah bertahun-tahun, ya?" San duduk di sampingnya, menatapnya dengan mata yang hangat. "Aku hampir tidak mengenalimu. Tapi senyummu… tetap sama."
Nanda tersenyum tipis. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
"Dan aku juga tidak menyangka akan menemukanmu di taman ini," balas San. "Kamu baik-baik saja, Nanda?"
Pertanyaan itu membuat Nanda terdiam sejenak. Apakah ia baik-baik saja? Tidak. Tapi untuk saat ini, ia merasa lebih baik daripada sebelumnya. "Aku… mencoba," jawabnya jujur, matanya menatap jauh ke depan. "Kadang, hidup tidak selalu seperti yang kita harapkan."
San mengangguk, memahami makna di balik kata-kata Nanda. "Kalau kamu butuh teman bicara, aku selalu ada. Kita pernah dekat dulu… mungkin sekarang pun aku masih bisa menjadi temanmu."
Nanda menatap Sanjana dengan rasa syukur. Di tengah kebingungan hidupnya, ia merasa sedikit lega menemukan seseorang yang peduli. Seseorang yang mengingatkannya akan masa lalu yang lebih sederhana dan bahagia.
"Terima kasih, San. Aku rasa… aku benar-benar membutuhkan teman saat ini."
***
Pandangan Nanda perlahan mengabur, terbawa oleh kenangan masa lalu yang menyeruak begitu tiba-tiba. Saat itu, hidupnya jauh lebih sederhana, tanpa beban dan penuh dengan harapan. Ia masih remaja yang bersemangat, dan di antara keramaian sekolah, Sanjana Binar Rimbawa adalah sosok yang selalu membuatnya merasa istimewa.
Sanjana, dengan wajah khasnya yang membawa perpaduan Jawa-Belanda, memiliki senyum hangat yang mampu mencairkan segala kecemasan. Mata cokelatnya selalu tampak teduh, membuat Nanda merasa tenang setiap kali mereka berbicara. Di bangku SMA, Sanjana adalah sosok yang tenang, cerdas, dan selalu membawa energi positif ke mana pun ia pergi.
Mereka pertama kali bertemu di perpustakaan sekolah. Nanda yang tengah mencari buku sejarah merasa kesulitan menjangkau rak tertinggi. Sanjana yang kebetulan lewat menghampirinya dengan sopan dan menawarkan bantuan.
"Perlu bantuan?" tanyanya kala itu, dengan senyum yang tidak pernah bisa dilupakan Nanda.
"Ah, iya. Terima kasih," jawab Nanda, sedikit gugup.
Sejak saat itu, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sanjana yang gemar membaca dan Nanda yang selalu penasaran dengan dunia luar menjadi pasangan yang tidak terduga. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang mimpi, tentang cita-cita, dan bahkan tentang kehidupan yang ingin mereka jalani di masa depan.
"Aku ingin keliling dunia suatu hari nanti," ucap Nanda suatu sore di taman sekolah, tatapannya penuh semangat.
Sanjana tersenyum, menatap langit yang mulai berwarna jingga. "Dan aku ingin mendirikan perpustakaan keliling. Supaya setiap orang bisa merasakan petualangan lewat buku, bahkan jika mereka tidak bisa pergi ke mana-mana."
Nanda tertawa kecil. "Kamu memang selalu berbeda, San."
"Dan kamu selalu berani bermimpi besar," balas Sanjana, menatapnya dengan pandangan yang seolah mampu membaca hatinya.
Masa-masa itu adalah yang terindah bagi Nanda. Saat di mana ia merasa dilihat, dihargai, dan didengarkan. Sanjana bukan sekadar teman; dia adalah pelipur lara di tengah tekanan hidup yang mulai terasa sejak ibunya menuntutnya untuk menjadi anak yang sempurna.
Namun, kebahagiaan itu perlahan sirna ketika Nanda harus menghadapi kenyataan. Sanjana pergi melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, sementara Nanda tetap tinggal, terjebak dalam kehidupan yang tak pernah ia pilih. Perpisahan itu meninggalkan lubang besar di hatinya, dan sejak saat itu, ia merasa hidupnya tidak pernah sama lagi.
Kini, bertahun-tahun kemudian, di taman yang penuh dengan hiruk-pikuk dunia luar, Sanjana kembali hadir. Wajahnya yang dulu membawa kedamaian kini masih sama, meski ada guratan kedewasaan yang semakin memancarkan pesonanya. Kehadirannya mengingatkan Nanda pada sosok dirinya yang pernah berani bermimpi, sosok yang dulu tidak pernah takut menghadapi dunia.
"Apa yang kamu pikirkan, Nanda?" suara Sanjana membuyarkan lamunannya.
Nanda menghela napas, menghapus jejak air mata yang hampir jatuh. "Aku mengenang masa lalu, San. Masa di mana segalanya terasa lebih mudah… lebih indah."
Sanjana menatapnya lekat-lekat. "Masa lalu mungkin tak bisa kita kembalikan, tapi kita bisa menciptakan kebahagiaan baru, Nanda. Kamu tidak harus terjebak selamanya."
Kata-kata Sanjana menyentuh hati Nanda. Namun, ia tahu kenyataan hidupnya saat ini jauh dari sederhana. Pernikahannya dengan Dimas adalah rantai yang mengikatnya erat, dan untuk melepaskan diri dari itu semua, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan.
"Mungkin," bisik Nanda pelan, meski dalam hati ia bertanya-tanya: apakah ia benar-benar bisa keluar dari penjara yang bernama pernikahan ini? Ataukah ia akan terus terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketidakbahagiaan?