Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meski Agustus di Belanda dan Indonesia tak lagi sama 2
Bahkan mengulang mata kuliah yang sebenarnya tidak perlu kuulang tidak pernah membuatku menyesal. Satu semester pendekatan kepadamu.
Dan, kini hatimu menjadi milikku. Setidaknya, di akhir semester kau mengatakan kepadaku. Kau takut kalau kita tidak bisa bertemu setiap hari lagi. Namun, aku berusaha meyakinkanmu.
"Tapi, semester ini aku akan sibuk skripsi." Keluhmu.
Aku mengerti kesibukanmu. Sebenarnya aku juga sedang mengerjakan skripsi -tugas akhirku. Hanya saja, demi bersamamu, demi bisa bertemu setiap hari. Aku mengerjakannya dengan mengorbankan jam tidurku. Kau tidak pernah tahu hal itu. Beberapa kali kau sempat menanyakan. Namun aku tetap bisa mencarikan alasan, seolah semuanya baik-baik saja. Sungguh, aku hanya ingin menikmati waktu bersamamu setiap hari. Dan aku tahu betul, segala hal yang kita inginkan akan selalu menuntut hal lain yang harus dikorbankan. Aku ingin bersamamu, menemanimu mencari bahan skripsi ke perpustakaan. Lalu mengorbankan jam istirahatku.
"Kau kurang tidur?" tanyamu menatap mataku yang merah.
"Tidak, ini hanya efek membaca pagi-pagi. Aku langsung tidur sehabis berteleponan denganmu semalam. Jelas itu bukan sebenarnya. Sehabis menemanimu berteleponan, aku langsung mengerjakan tugas akhirku. Aku jurusan teknik, tak sama sepertimu yang hanya mengerjakan skripsi tertulis. Aku harus membuat alat sebagai tanda aku lulus memahami ilmu yang aku dalami Aku hanya mencuri jam tidur saat sore sepulang kuliah, beberapa jam.
Belakangan setiap malam-sebelum tidur. Kau selalu menceritakan perkembangan skripsimu. Juga tentang cita-citamu yang akan kau jalani setelah tamat kuliah nanti. Dan, sejujurnya itu membuatku semakin takut. Kau tahu apa hal yang paling ditakutkan seseorang yang terlalu mencintai? Ditinggalkan dan jauh dari orang yang dicintainya.
Semakin hari kau terasa semakin akan jauh. Jujur saja, aku pernah dengan sadar mendoakanmu agar skripsimu lama selesainya. Begitu buta cintaku malam itu. Aku terlalu takut, jika saja kau selesai kuliah, kau akan mengejar cita-citamu dan meninggalkanku. Sementara aku tidak ingin semua itu terjadi. Aku ingin kau tetap di sini. Pernah juga aku mendoakan jika pun kau tamat dan skripsimu berjalan lancar. Cita-citamu yang akan membuatmu jauh dariku itu tidak pernah dikabulkan Tuhan. Sungguh, aku benar-benar ingin kau tetap di sini.
Namun, belakangan aku menyadari satu hal. Itu adalah kesalahanku. Tidak seharusnya aku mengajukan doa buruk untuk seseorang yang kucintai dengan baik. Aku kembali mengatur ulang doaku. Aku meminta kepada Tuhan agar kau dimudahkan dalam mencapai cita-cita. Meski sejujurnya sering kali aku merasakan betapa pedihnya mendoakan orang yang kucintai Pada saat yang sama doa itu akan membawamu jauh dari hidupku. Jika saja Tuhan mengabulkan doamu. Kau akan terbang ke negara orang. Hidup di sana untuk waktu yang lama. Jujur, aku takut hal itu. Aku merasa semua hal yang aku rencanakan, segala sesuatu yang sudah aku tata akan porakporanda akhirnya.
"Kau tak usah takut. Kalimat itu kau ucapkan setelah aku mengakui. Aku takut kehilanganmu.
Sore itu kita tak lagi menatap langit dari taman kampus. Namun, kau menatap mataku. Dan, aku semakin takut jika suatu hari nanti tatapan itu akan begitu jauh dari mataku
"Bukankah semua yang mencintai akan kembali pulang pada orang yang dia cintai? Sejauh apa pun ia pergi, ia pasti akan kembali. Dan aku mencintaimu." Jujur saja, kalimatmu itu tidak mampu menenangkanku.