Cerita ini berkisah tentang perjalanan ketiga saudara kembar...Miko, Mike, dan Miki dalam menemukan cinta sejati. Bisakah mereka bertemu di usianya yang sangat muda?
Ikuti kisah mereka bertiga ^^
Harap bijak dalam membaca...
Plagiat dilarang mendekat...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phine Femelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Om, aku mohon ya? Bantu aku. Aku harus bayar berapa? Nanti aku cicil setiap hari dari uang jajan. Tolong. Hal ini penting. Aku gak pernah sepenasaran ini sama anak perempuan. Om tahu sendiri selama ini susah aku untuk dekat dengan perempuan. Sekalinya dapat justru gak tahu tentangnya sehingga aku minta tolong Om. Aku sudah tanya Kak Miko tapi dia sekalipun gak tahu tentang teman satu sekolahnya"
"Kalau saya kena sama papa Tuan gimana? Nanti saya benar dipecat" kata dia ragu.
"Sekali saja. Ya? Selanjutnya aku gak akan minta tolong lagi dan aku jamin papa gak akan tahu kalau Om membantu aku. Aku akan menjaga rahasia dengan rapat. Aku minta tolong Om juga bukan untuk hal aneh. Aku cuma mau tahu tentang cewek itu"
Dia berpikir memang dari sekian anak Tuan Besarnya yang paling baik adalah Miki. Miki cukup peduli dengan kondisi orang lain.
"Janji, Tuan? Sungguh jaga rahasia. Saya sungguh takut sama papa Tuan. Sekali dia mau memecat pasti terjadi"
"Aku menjamin papa gak akan tahu tapi tolong bantu aku sekali saja" kata Miki memohon.
"Baik, Tuan. Saya akan berusaha membantu tapi harap maklum kalau sedikit lama karena Tuan tidak menunjukkan foto cewek itu"
"Ya. Aku sudah cari di sosial media tetap gak menemukan. Entah dia memakai nama lain atau gak ada sosial media" kata Miki pusing.
Fandi dan Devie masih saling bicara. Sesekali tertawa. Sesekali membahas sesuatu dengan handphonenya. Mulai dari hal receh hingga serius. Devie juga bersandar di bahu Fandi lalu mereka saling menggenggam dan tersenyum bahagia.
"Kamu bisa sabar atau gak?"
"Aku berpikir mungkin memang harus bersabar sampai kamu siap memberitahu semuanya kepada Winda"
"Aku sadar meskipun kamu sangat sabar tapi gak boleh terlalu lama juga. Setelah aku pikir terus. Apa lebih baik cerita ketika Winda sudah lulus? Pertimbangan aku agar sekarang biar dia memikirkan lulus dulu. Aku khawatir mengganggu semangat dia untuk lulus"
Fandi mengangguk.
"Sesuai pikiran kamu, Dear" lanjut Fandi.
Sekian lama saling melihat akhirnya mereka tersenyum lalu Fandi memegang pipi Devie dengan pelan dan Devie menatap Fandi. Melihat wajah Devie dalam remang cahaya lampu membuat Fandi berpikir pancarannya beda sehingga wajahnya berdekatan dengan wajah Devie dan mau mencium bibir Devie. Awalnya Devie ragu tapi akhirnya menunduk lalu secara perlahan melihat ke arah lain dengan jantung yang berdetak kencang dan memejamkan sebentar kedua matanya.
"Gak. Ternyata gue belum siap" pikir Devie pelan.
"Aku terlalu cepat ya?" kata Fandi dengan berusaha tersenyum.
Devie melepaskan pelukan dan sedikit menjauh.
"Maaf. Aku..."
"Jangan minta maaf. Aku gak apa apa" potong Fandi.
Meskipun secara naluri dirinya merasa kecewa tapi satu sisi masih bisa berpikir logika kalau hal itu tidak bisa dipaksakan.
"Aku...ak..."
"Kamu gak perlu menjelaskan apapun. Aku sungguh gak apa apa" potong Fandi.
Devie melihat Fandi secara perlahan.
"...tapi gak bisa kamu jangan menjauh dari aku? Aku bukan cowok yang bisa memaksa kehendakku kepada orang lain" lanjut Fandi pelan.
"Maaf. Aku gak bermaksud. Aku cuma merasa...gak enak tapi aku juga takut. Aku belum siap untuk hal itu" kata Devie gelisah.
"Ya. Gak apa apa. Aku paham"
Fandi memberikan tangannya.
"...tapi jangan jauh dari aku. Aku sungguh gak apa apa. Aku gak marah"
Devie melihat tangan Fandi yang ke arahnya dan merasa ragu lalu Fandi tersenyum dan menyuruh dengan wajahnya. Devie mulai memegang tangan Fandi dengan pelan dan Fandi menarik pelan lalu Devie terkejut dan sedikit teriak.
"Kamu mau apa?"
"Gak mau apapun. Kita cuma begini saja ya? Jadi jangan teriak lagi" kata Fandi pelan.
Akhirnya Devie merasa dipeluk Fandi dan jadi merasa tidak enak salah paham.
"Aku...minta maaf" kata Devie pelan.
Fandi menggeleng.
"Gak apa apa. Wajar kamu panik" lanjut Fandi pelan.
Pukul 21.30. Mereka sampai di rumah Devie lalu Fandi berhenti menyetir dan melihat Devie.
"Aku gak mau kamu mengizinkan Winda sering jalan berdua dengan aku. Gak sehat untuk hubungan kita"
"Aku gak masalah karena..."
"Aku yang masalah" potong Fandi.
Devie melihat terus Fandi.
"Aku gak nyaman. Kamu harus paham posisi aku" kata Fandi pelan.
Devie berpikir.
"Aku gak berharap kamu terlalu serius menanggapi perkataan Winda. Meskipun serius dia itu masih SMA. Emosinya masih labil. Dia tidak mengerti isi pikiran kita. Cinta itu gak bisa dipaksa jadi aku minta tugas kamu membuat Winda gak sering jalan berdua dengan aku"
"..."
"Ketika aku masih SMA pikiranku kurang lebih seperti Winda. Aku harus bersamanya meskipun dia gak senang sama aku tetap harus. Hal itu bukan justru romantis tapi posesif. Itu gak baik"
"Lalu kamu mulai menyadari hal itu gak baik sejak kapan?"
"Sejak aku di dunia perkuliahan. Aku punya lebih banyak teman. Mulai dari sifat yang rumit sampai santai. Aku punya sifat seperti sekarang itu juga proses. Semua sudah aku ceritakan kepada kamu, bukan? Mulai dari gaya pacaran aku yang posesif sampai kehidupanku dulu di SMA"
Devie mengangguk.
"...tapi aku gak pernah melakukan apapun. Mungkin ini yang belum aku ceritakan"
"Melakukan apapun?"
"Seperti pacaran melebihi batas"
"Melebihi batas menurut kamu?"
"Lebih dari bergandengan tangan"
Devie merasa heran.
"Maksud kamu..."
"Aku cuma jalan, makan, kerja PR dan menggandeng tangan"
Devie berpikir keras.
"Selain itu?"
"Gak ada"
"Jadi maksud kamu...?"
Devie merasa tidak yakin.
"Ya. Selain itu pertama kali bersama kamu"
Devie merasa tidak menyangka tapi akhirnya tertawa pelan.
"Astaga. Aku pikir kamu..."
"Belum" potong Fandi dengan menggarukkan sebentar kepalanya yang tidak terasa gatal.
Fandi jadi salah tingkah melihat Devie berhenti tertawa dan tersenyum dengan menatap dirinya.
"Kamu gak percaya ya?"
"Kamu yakin?"
"Ya. Aku serius"
"...tapi kamu bisa mengajak aku?"
"Aku mau. Dulu aku memang mau tapi lebih merasa takut" kata Fandi dengan tertawa pelan.
Akhirnya mereka tertawa bersama.
"Jadi kembali lagi..."
Mereka berhenti tertawa.
"...Winda masih anak labil. Jangan terlalu dipikirkan permintaan Winda" lanjut Fandi.
Devie melihat terus Fandi dan akhirnya memeluk.
"Aku minta maaf banyak menuntut kamu untuk mengerti"
"Aku akan selalu mengerti kamu tapi aku gak bisa terus disuruh mengerti Winda karena kamu yang pacarku bukan Winda" kata Fandi dengan memeluk Devie.
Fandi melihat Devie.
"Jadi kamu jangan terus mengiyakan Winda ketika mau berdua dengan aku" lanjut Fandi pelan.
Mereka saling melihat dan akhirnya Devie mengangguk pelan.
"Ya. Aku akan berusaha membuat Winda tidak sering berdua dengan kamu"
Fandi mengelus sebentar sisi rambut Devie.
semangat💪