Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND~ bab 5
Ceren mendengus sebal lantas tak begitu peduli pada cowok itu. Akan ia anggap pemuda itu berjalan sambil tertidur, lagipula siapa dia? Kenal pun tidak.
Tunggu!
Ceren menghentikan kegiatan maju mundurnya dan mengerutkan dahinya menatap Gilang.
Pluk!
Gagang mop terjatuh begitu saja menimpa kaki Fira, "aduh, ih!"
"Ohhh, gue baru inget!" serunya. Tanpa segan ataupun takut, gadis ini menghampiri Gilang dengan sengak, "lo yang pagi-pagi telat kan? Terus ngga bisa manjat pager itu...." tatapannya tertumbuk ke arah name tag Tubagus Gilang P.
"Nama lo Tubagus, pfftttt---" ia menggidik bernada mencibir. Mata bulat nan bening milik Ceren beradu dekat dengan Gilang. Percayalah, saat ini jantung Gilang berdegup lebih kencang dari sebelumnya persis bedug magrib. Ditambah mata bening bulat terbingkai eyeliner tipis milik Ceren saat ini tengah mengobrak-abrik hatinya, ia memundurkan langkah karena tak menyangka jika Ceren seberani itu, dan sukses membuatnya gugup.
Ceren mendengus lalu tertawa serenyah wafer, "baru gue deketin aja udah jaga jarak. Lo yakin suka gue?" gadis itu kembali ke tempatnya menjatuhkan lap pel. Sementata Fira sudah menelan saliva sulit, "Cer..." bisiknya pelan, saking pelannya bisikan kalbu itu sampai tak terdengar oleh Ceren.
Kemudian gelagat tangan Ceren yang terlihat melanjutkan kegiatannya adalah sikap tak peduli Ceren berikutnya terhadap Gilang. Menunjukan ketidaksukaannya pada Gilang. Ia memang begitu, Ceren adalah gadis yang selalu berterus terang pada siapapun, ia akan bersikap menolak jika memang tak suka.
"Aduuhhh, mendingan sekarang lo pergi deh. Ngga usah becanda, lagian lo itu---" Ceren menjeda ucapannya dan membuat gerakan seperti sedang berkumur-kumur, seolah sedang menggodok dan memilah-milah kata yang cocok untuk ia muntahkan.
Ditatapnya Gilang dari atas sampai bawah yang terbilang rapi pake banget, seragamnya saja bersih kelewatan, tidak terlihat macam Hanan atau Faiz, tak cocok dengannya yang terbilang lebih garang dan terkesan bandel, "ngga cocok. Gue ngga suka lo, lo bukan tipe gue, kita pun beda circle, sampai sini paham?!" jawabnya jelas, lugas tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.
"Ren," tegur Fira memegang tangan Ceren, gadis itu cukup terkejut saat Ceren menolak Gilang terkesan kasar. Wajah Gilang memang terlihat muram dan redup saat ini, namun ia tak menyerah sampai disitu demi menaklukan seorang Cerenia.
"Apa maksud kamu baju ini?" ia mengeluarkan ujung seragam yang awalnya dimasukan ke dalam celana seragamnya.
"Eh," Fira menaikan kedua alisnya melihat adegan ini, sementara Ceren masih belum paham dengan Gilang, apa bahasa Indonesia yang ia pakai tidak dimengerti Gilang?
"Apa karena rambut ini?" Gilang bahkan mengacak-acak rambutnya, dan kini Fira tak bisa untuk tak bertindak, "Ren." tekannya menatap Ceren sengit, ia sering melihat teman sekolahnya menyatakan perasaan pada Ceren, tapi sampai detik ini tidak ada yang senekat Gilang.
Ceren hanya mendengus menyunggingkan senyuman sebal seraya menggeleng.
"Lo freak." Ia segera menyelesaikan hukumannya lalu menggusur mop dan melengos berlalu melewati Gilang yang sudah kacau sepaket tatapan nyalang penuh berharap padanya.
"Cabut Fir, gue udah selesai." ajaknya pada Fira yang masih menatap Gilang penuh kegetiran, "sorry." ujar Fira tak enak pada Gilang dan mengekori Ceren.
Gilang mengepalkan tangannya kencang dan menghela nafasnya berat.
Ceren bukanlah anak kaya seperti tokoh-tokoh dalam buku novel, yang punya mansion atau apartement pribadi. Hanya anak seorang karyawan di sebuah butik batik milik seorang pengusaha batik Solo dan merupakan seorang yang berpengaruh di kota. Ditambah kini ia hanya tinggal berdua saja dengan bapak, karena ibu yang telah tiada sejak ia duduk di bangku sd.
Ceren berjalan bersama Fira dari arah gerbang sekolah hingga jalan besar.
Sapuan angin siang membawa serta perasaan campur aduknya hari itu.
"Kasian tauuu!"
Ceren menoleh pada Fira, "untuk saat ini sampai lulus sekolah, atau bahkan sampai nanti gue bisa bahagiain bapak, gue ngga akan mikirin urusan yang begituan dulu, Ra. Lagian punya pacar tuh musingin! Ribet." jawabnya.
Fira mengangguk paham, itulah cara Ceren agar para cowok berpikir 2 kali untuk mendekatinya, dengan cara menolaknya dengan sedikit kasar agar mereka kapok. Fira hanya tertawa renyah mendengar keluhan Ceren tentang makna seorang kekasih, adalah orang yang selalu bikin mumet, pusing dan merepotkan. Berbeda dengan persepsi orang pada umumnya.
Hingga sampailah langkah kaki mereka terhenti di pinggir jalan besar, bersama suara bising kendaraan yang melintas berlalu lalang.
"Lo sendiri, tadi si Aji nembak malah lo tabok, kasian banget temen gue..." kini Ceren membalikan situasi membuat Fira dilanda rasa tak nyamannya lagi.
Hoffttt, "Aji lagi, udah deh ngga usah ngomongin dia. Paling-paling cuma becanda doang," suara Fira tersamarkan oleh deru mesin angkutan kota yang melintas dan dengan sengaja membunyikan klakson demi menegur dan menawari tumpangan.
"Ayah lo ngga jemput, Ra?" tanya Ceren, ia menggeleng, "bengkel lagi sibuk-sibuknya. Mama juga lagi ngurusin toko sama laundry jadi ngga bisa jemput."
Ceren mengangguk paham.
Berhentinya angkutan kota jurusan yang dikehendaki memaksa menutup obrolan sepasang remaja itu, keduanya berpisah di persimpangan jalan dengan Ceren yang menyebrang jalan dan berdadah ria bersama Fira.
Ceren menghela nafasnya membalikan badan setelah sebelumnya menatap ke belakang kaca angkot dimana angkot yang ditumpangi Fira pun mulai melaju menjauh.
....
Siang ini, seperti biasa rumahnya memang selalu sepi, padahal bukan kuburan. Dibukanya pintu rumah tanpa sapaan seorang ibu, dan itu sudah biasa bagi Ceren selama 10 tahun belakangan ini.
Terkadang ia rindu, rindu kasih sayang, tapi baginya mensyukuri apa yang masih ia miliki adalah hal yang terpenting saat ini.
Tak ada lauk makan spesial, hanya tumisan kacang panjang dan tempe buatan bapak yang selalu enak di lidanya, dan krecek kulit kemarin yang dihangatkan. Di balik sifat badung dan usilnya itu, tak ada yang tau kehidupan Ceren sampai ke dalam selain Fira.
Meski begitu, Ceren jarang melakukan pekerjaan berat atau pekerjaan yang merepotkan baginya, bapak selalu sigap menjadi single parent ter the best, bahkan memasak pun dilakukannya sendiri.
Tangan-tangan kecil yang dihiasi gelang handmade itu memasukan setiap sendokan tumisan serta nasi ke dalam kotak makan, setelah ia hangatkan sebelumnya. Rencananya siang ini ia akan mengantarkan itu untuk makan siang bapak.
Trekk!
Done. Ia menyambar jaket berhoddie di cantelan paku di balik pintu kamar, lalu dipakainya. Membawa serta tas kain berisi kotak lunch dalam perjalanannya menuju 'butik batik Ambarani'.
Saling melengkapi, itu yang dilakukan Ceren dan bapak setelah kepergian ibu. Sudah ikhlas? Mungkin jawabannya adalah tak pernah, karena selamanya sosok ibu sulit tergantikan siapapun. Ada peran ibu yang tak bisa digantikan bapak ataupun Ceren.
Tatapannya melirik cepat seiring laju cepat angkot yang ditumpangi. Ia mengetik sesuatu pada bapak ketika akan sampai.
Masuk lewat belakang, nduk. Ada bu Ambar sama keluarganya.
Begitu jawaban bapak, membuat Ceren mengangguk dan memasukan ponselnya ke dalam saku celana jeans selututnya.
Ia keluar setelah memberikan uang lembaran receh pada supir angkot, menarik sedikit hoddie yang menutupi kepalanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling parkiran butik.
Manggut-manggut persis kakak tua, saat beberapa mobil terparkir bersama motor, "lumayan rame."
Memang, mayoritas konsumen butik ini adalah kaum menengah ke atas, bahkan kebanyakan adalah pejabat daerah, artis dan kalangan pengusaha. Nuansa butik yang dibangun dengan kearifan lokal adat jawa begitu kontras mencolok di tengah pesatnya perkembangan industri fashion ibukota.
Gemericik air mancur di area halaman yang sejuk mengisi kekosongan hati nan damai. Pemiliknya memang menciptakan nuansa adat mengingat ada da rah ningrat yang mengalir di keluarga sang owner, ibu Ambarani dan pak Baraspati.
Ceren melengos ke samping menuju pintu belakang yang dimana area itu hanya karyawan saja yang boleh masuk.
Pohon bungur yang memayungi area belakang seolah memberikan keasrian tersendiri meskipun seringkali daunnya berserakan karena terbelai angin. Ceren sedikit berjalan berhati-hati karena paping blok yang menjadi pijakannya ditumbuhi lumut nan licin.
Ia masih menunggu bapak keluar dari pintu kayu jati dengan ukiran jepara khas kota Solo disana. Duduknya ia dengan menyapu-nyapu kecil tembok pembatas area pohon dengan tangan putihnya.
**
"Pak Harun, nanti laporan taruh saja di meja saya..." titah wanita paruh baya dengan sanggulan di belakang kepalanya, meski tidak lagi muda namun jelas kharismanya masih mengangkasa.
"Siap bu," jawabnya dan undur diri ke belakang saat satu pesan ia terima dengan bibir yang mengurai senyuman.
"Loh...loh, ini kenapa seragammu acak-acakan begini, to? Mukamu pula, sakit lagi? Sudah diminum obatnya?" kernyitnya khawatir melihat wajah kusut persis dengan seragam yang dipakai putra bungsunya, tak biasanya!
Ia menggeleng, lalu melengos ke belakang, "cuma capek aja, bu."
Langkahnya ke area belakang membawanya berpapasan dengan beberapa karyawan butik sang ibu yang beberapa kali menyapanya.
Niat nyari angin karena kejadian patah hatinya tadi, membawa ia melihat fakta menarik yang baru saja ia ketahui selama ini.
"Pak!" Ceren membuka hoddienya dan menyapa bapak.
"Nduk, sudah lama?" Ceren menggeleng dan meraih punggung tangan bapak.
"Ceren? Bapak?!" gumamnya memperhatikan interaksi manis keduanya, "pak Harun itu bapak Ceren?"
.
.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..