Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 9 ~
Langsung aku up dua bab...
Komen ya, pengin tahu seperti apa reaksi kalian terhadap mas Bima. 😂😂😂
Happy reading
Aku dan mami sudah selesai memasak.
Tepat ketika aku sedang menata hasil masakan di atas meja makan, terdengar suara salam dari papi mertuaku. Beliau datang kemari untuk menjemput mami sekalian makan malam.
Ku dengar mas Bima dan Lala kompak menjawab salamnya, di susul teriakan heboh dari Lala yang sangat bahagia dengan kedatangan opanya.
Di bandingkan mas Bima, papi lebih pintar bercanda dan bermain dengan anak-anak. Mungkin karena beliau memang sudah merawat tiga orang anak yang selisih usianya rata-rata hanya dua tahun, sudah jelas pengalaman papi lebih banyak dari pada putranya yang kalau ngomong seperti mau ngajak tawuran.
"Mami ke papi dulu, Bi"
"Iya mi"
Sementara adzan maghrib sudah berkumandang sejak sepuluh menit yang lalu, kemungkinan kami akan melaksanakan sholat dulu baru setelah itu makan malam.
Usai sholat berjamaah, Lala bergegas menuju meja makan dan duduk di kursi yang biasa dia tempati.
Karena papi ada di sini, beliau yang akan duduk di ujung meja memimpin doa makan menggantikan mas Bima.
Kalau papi dan mami di sini, aku selalu duduk bersisian dengan mas Bima, sementara Lala duduk berdampingan dengan mami. Mami nanti yang akan membantu Lala makan supaya makanannya tak terlalu berantakan.
Mas Bima duduk, menatap sang putri yang duduk bersebrangan dengannya.
"Itu buat siapa bun?" tanya Lala saat aku menyiduk nasi.
"Buat ayah, kenapa?"
"Buat Lala nggak mau pakai sayur"
"Cucu opa kenapa nggak mau makan sayur?" papi bertanya dengan fokus sepenuhnya menatap Lala.
"Lala nggak suka sayur"
"Pakai sop ayam, mau?" tanyaku menawarkan, yang kini giliran menyidukkan nasi untuk putriku.
"Mau, tapi nggak pakai yang warna orange bun!"
"Ini bagus buat mata loh nak"
"Pokoknya Lala nggak mau, bunda"
"Thalia kalau nggak mau makan sayur nanti badannya kurus, jadinya jelek" Cicit mas Bima menyela, membuat Lala mengerjap seakan tengah mempertimbangkan ucapan ayahnya. Hanya mas Bimalah yang memanggil Lala dengan nama itu "Sayur itu sehat, nak. Enak juga"
"Nanti kalau makan sayur apa jadi cantik kayak bunda, yah?"
Mas Bima tak langsung menjawab. Selang beberapa detik, barulah pria di sampingku ini berucap.
"Cantik kaya oma mami dan oma bunda" Mami serta papi hanya diam sambil tersenyum, sementara aku terus fokus menuang air ke dalam gelas milik mertuaku dan mas Bima.
Aku tahu, dia sudah pasti enggan memujiku karena nggak mau membuatku salah paham padanya yang jelas-jelas ada rasa. Mungkin mas Bima pikir, jika dia memujiku, aku akan beranggapan kalau dia sudah mencintaiku. Itu sebabnya dia tidak mau melakukan itu.
"Oma mami sama oma bunda kan udah tua" Seloroh Lala yang persekian detik mengundang gelak tawa papi dan mami yang mendadak pecah.
"Lala maunya cantik kayak bunda"
"Lala bilang oma udah tua?" Papi seakan menunjukan raut tak terima, akan tetapi itu hanya bercanda. "Awas ya tunggu setelah makan, opa pasti akan balas dendam sama cucu opa yang cantik ini" lanjutnya mengacak-acak rambut sang cucu.
Lala tersenyum meringis. "Pokoknya Lala mau cantiknya kayak bunda"
"Ya udah makan dulu" Perintah mas Bima.
"Tapi harus cantik kayak bunda, yah. Teman Lala juga cantik-cantik kayak mamahnya, tapi teman-teman Lala bilang Lala malah nggak mirip sama bunda, jadinya teman-teman Lala bilang kalau bunda bukan bundanya Lala. Itu nggak benar kan ya, bun?" Lala mengalihkan sepasang iris bulatnya padaku.
Aku yang tengah terkejut karena mendengar ucapan anak seusia Lala, spontan menelan ludahku sendiri.
"Enggak sayang" Entah jawabanku ini tepat atau tidak, yang jelas aku hanya tidak mau membuat putri cantikku merasa sedih andai aku jawab benar.
"Bunda Arimbi itu ya bundanya Lala" Sambar mami menoleh ke arah lala. "Siapa bilang cucu oma nggak mirip bunda, mirip kok. Tuh lihat!" mami memindai wajahku dan Lala bergantian. "Sama-sama cantik. Iya kan opa, ayah" kali ini pandangan mami terarah ke papi dan mas Bima.
Papi merespon dengan anggukan kepala lengkap dengan bibir terulas senyum. Berbeda dengan mas Bima yang hanya bergeming dengan datar.
Aku tahu kalau mami sangat membenci mbak Hana. Itu karena mbak Hana sudah mengkhianati mas Bima, seorang ibu yang meninggalkan putrinya dengan begitu tega saat putrinya masih membutuhkan ASI. Jelas membuat kebencian mami semakin memuncak.
Lala sendiri nggak tahu siapa ibu kandungnya yang sebenarnya. Baik mas Bima serta keluarga sepakat akan memberitahukan pada Lala setelah dia dewasa. Termasuk keluarga mbak Hana. Kalau soal Gesya, mungkin mas Bima sudah mengancamnya agar tak menyinggung soal mbak Hana di depan Lala. Takut jiwa Lala akan tergoncang.
Tapi jujur aku masih merasa heran, bagaimana bisa anak sekecil itu bicara soal ibu kandung?
Aku yakin pasti ada salah satu wali murid yang mengatakan kalau aku bukan ibu kandung Lala, dan anaknya kebetulan mendengar. Dari situlah teman-teman Lala mengoloknya________
Begitu semuanya siap, kami mulai menyantap makanan setelah sebelumnya papi memimpin do'a makan. Kami makan sambil sesekali mengobrol.
"Bim, tadi mami sudah bicara sama Arimbi soal adek buat Lala, kalau kalian memang nggak menundanya, coba promil, konsultasi ke temannya mbak Kanes"
Aku tercenung, pandanganku tertunduk tak berani mengangkat kepala apalagi menoleh ke samping kiri dimana ada mas Bima.
"Kalian kan sudah dua tahun lebih menikah, Arimbi pengin punya anak loh, kamu bawa dia ke dokter ya"
Aku nggak tahu kenapa mami malah menjadikanku alasan pengin punya anak, dan aku nggak tahu seperti apa ekspresi wajah ayahnya Lala. Meski rasa penasaranku meronta-ronta, tapi aku benar-benar tak ingin mencari tahu seperti apa reaksi dan jawabannya atas perkataan mami.
"Itu soal gampang, mih"
"Loh, kalau nggak di lakuin ya nggak gampang jadinya"
"Mami kenapa jadi ngomongin anak, mih?" Papi Rio menghentikan gerakan menyuap nasi ke mulutnya, sementara netranya menatap mami yang tengah membantu Lala makan. "Jangan terlalu menekan Arimbi buat punya anak"
"Nggak menekan kok pah" sanggahku cepat. Takut ada bibit kesalahpahaman antara papi dan mami. "Mami cuma nyaranin aja tadi, mami juga nggak keberatan kalau misalnya aku menundanya"
"Iya nih papi, buru-buru su'uzon sama mami"
"Jadi mami nggak menekan Arimbi?"
"Ya enggak lah pih"
"Maaf!" Respon papi dengan nada menyesal.
"Lagian ngapain ngomongin anak, nanti kalau sudah waktunya juga pasti hamil" kali ini suara bas itu keluar dari mulut mas Bima. "Kita lagi fokus dulu ke Thalia, mih. Puas-puasin manjain dia dulu"
"Mami kan cuma nyaranin aja Bim, siapa tahu Arimbi terlalu kelelahan, karena sudah mengurusmu dan putrimu, mengurus rumah, belum lagi dia harus bekerja, jadi belum bisa hamil sampai sekarang, makannya mami minta Arimbi buat pergi ke dokter"
Masih ada satu lagi mih yang membuatku merasa lelah dan capek...
Aku berucap dalam hati.
Sikap mas Bima yang membuatku ingin pergi dari sini, tapi nggak pernah bisa ku lakukan karena aku lebih mementingkan Lala dari pada perasaanku sendiri.
Bersambung
Semangat berkarya