Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Akan tetapi, apa jadinya jika di waktu yang sama, kekasih Chilla justru jauh lebih mencintai Aqilla padahal alasan kedatangan Aqilla, murni untuk membalaskan dendam kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Indah Banget
Seperti ada yang kurang bahkan hilang bersama kepergian Stevan. Aqilla merasakannya, tetapi Aqilla sendiri bingung kenapa itu sampai terjadi? Hingga karena rasa aneh tersebut pula, Aqilla refleks menyusul. Tepat di teras rumah, Aqilla melepas kepergian punggung Stevan di tengah kegelapan malam yang menyelimuti kehidupan.
Stevan yang awalnya melangkah buru-buru perlahan menoleh. Tak lama setelah melihat Aqilla melepas kepergiannya, Stevan sengaja menghentikan langkahnya.
“Kenapa dia ada di sana? Apakah dia sengaja melepasku?” pikir Stevan. Hatinya jadi berdebar hanya karena memikirkannya.
“Mungkin aku terlalu takut dia juga celaka. Karena Liara saja sudah dibantu Angkasa. Sementara saat itu, Angkasa tega melemparkan bola basket sekuat tenaga ke arah kepalanya,” pikir Aqilla.
Itu baru Angkasa, belum ancaman lain seperti orang suruhan pihak Rumi atau Liara. Rumah tante Alina saja sampai digerudug preman, kan? pikir Aqilla lagi.
“Ada apa?” tanya Stevan dengan nada yang sangat lembut.
Karena Aqilla tak kunjung menjawab, Stevan sengaja putar balik untuk menghampiri.
“Aku hanya khawatir Kakak kenapa-kenapa. Bukan hanya karena Angkanya yang aku khawatirkan tega kepada Kakak atas cintanya kepada Liara. Melainkan ... Liara dan orang-orangnya juga!” ucap Aqilla.
“Mendengar ini darimu, hatiku jadi makin hangat. Kenapa kamu begitu mengkhawatirkan aku, sementara kamu saja lebih dalam bahaya, Qilla?” pikir Stevan sengaja tersenyum manis sebagai balasannya kepada Aqilla. “Aku baik-baik saja. Dan aku akan selalu baik-baik saja buat kamu. Jadi, ... kamu enggak perlu mengkhawatirkan aku lagi!”
“Eh ... sepertinya ada yang salah. Aku salah, ya?” pikir Aqilla yang berakhir meminta maaf.
“Kenapa kamu justru minta maaf?” bingung Stevan refleks mengerutkan dahinya.
“Enggak kenapa-kenapa. Memang sudah seharusnya aku mengatakannya!” sergah Aqilla bergegas melangkah keluar rumah. Ia berdalih ingin melihat-lihat keadaan luar. Padahal ia sengaja ingin melepas kepergian Stevan secara aman.
“Karena jika memang aku dipantau, harusnya dia berani memantau sampai sini, kan?” Karena memperhatikan dari dalam gerbang, dirasa Aqilla aman. Aqilla sengaja melangkah keluar, tetapi baru juga satu langkah, Aqilla kepikiran untuk membawa senjata semacam sapu atau malah tongkat kasti.
Diam-diam, Stevan yang memang memperhatikan Aqilla jadi tersenyum lembut. Aqilla yang sempat akan melangkah melewati gerbang, mendadak putar balik dan menuju pos satpam di sebelah gerbang. Aqilla mengambil sapu lidi yang ada tongkatnya dari sana. Sapu lidi tersebut mirip sapu para penyihir di film Harry Potter.
“Non, ada yang bisa saya bantu?” sergah sang satpam waswas hanya karena anak majikannya mengambil sapu.
“Aman Pak, aman. Buat jaga-jaga saja,” sergah Aqilla sambil terus melangkah.
Walau motor Stevan diparkir di bawah pohon bunga tabebuya warna kuning, Aqilla sengaja berdiri di seberangnya.
“Qilla, sini!” sergah Stevan yang sudah ada di sebelah motornya. Ia menahan senyum dan menunggu Qilla merespons. Karena berbeda dengan Asyilla yang akan cepat tanggap jika ia panggil, Aqilla memang akan terlebih dulu terdiam dan Stevan yakini karena gadis itu sengaja merenung lebih dulu.
“Kenapa, Kak?”
“Sini, ... bentar.”
“Kakak bikin aku takut. Apalagi Kakak senyum-senyum gitu!”
“Cuma bentar kok!”
“Tuh kan, Kakak makin senyum bahkan nyaris ketawa!”
Aqilla terpaksa berdiri di depan Stevan. Jujur, ia agak tegang karena tampang Stevan mendadak mencurigakan. Kenapa juga Stevan yang sudah memakai sarung tangan berbahan kulit warna hitam itu justru sibuk menahan tawa.
“Kamu boleh sita helm aku kalau aku sampai macam-macam ke kamu!” sergah Stevan masih menahan tawanya.
“Buat apa? Aku juga punya banyak koleksi helm!” balas Aqilla jutek.
“Hei, ... helmku itu edisi khusus. Ada tanda tangannya pembalap pemes yang kemarin sempat balapan di–”
Aqilla tahu, Stevan belum selesai bicara, tetapi ia sengaja menyela, “Aku enggak pernah ngefans ke siapa pun selain ke diri aku sendiri!”
“Hoh?” Stevan terbengong-bengong menatap tak percaya Aqilla.
“Enggak usah syok begitu. Itu hanya trik agar aku tidak memuja seseorang secara berlebihan. Resep biar enggak baperan juga!” yakin Aqilla jadi banyak bicara.
“Oke ... bentar. Aku sampai kelupaan!” sergah Stevan yang bergegas mengguncang pohon bunga tabebuya di sebelahnya. Detik itu juga, sisa air hujan di pohon khususnya dahan bunga tabebuya berjatuhan menimpa Aqilla, bersama bunganya yang berwarna kuning.
Aqilla terperangah dan refleks menengadah. Beberapa bunga maupun sisa air hujan, jatuh menimpa wajah Aqilla.
“Indah banget ...,” lirih Stevan yang kemudian buru-buru mengabadikan momen kini menggunakan ponselnya. Ia berhasil mengabadikan dua foto Qilla di tengah waktu yang benar-benar terbatas sebelum Aqilla mengetahuinya.
“Kamu mau nyapu, kan?” ucap Stevan bergegas memakai helm. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, termasuk adegan dirinya mencuri foto Aqilla beberapa saat lalu.
“Kak Stevan mah ... ya sudah, ayo sekalian aku parkirin!” sergah Aqilla.
Stevan jadi cengengesan kemudian memundurkan motornya. “Kalau kamu suka bunga tabebuya, nanti aku ajak kamu ke Surabaya karena bunga tabebuya sudah jadi ikonik di sana. Namun, kalau yang kamu suka justru tetap bunga sakura, berarti aku harus ajak kamu ke Jepang!”
“Kalau uangnya pakai hasil jeri payah Kakak, mau ke Surabaya apalagi Jepang, oke-oke saja! Ingat, uangnya hasil jeri payah Kakak. Bukan uang dari siapa pun termasuk dari orang tua Kakak!” balas Aqilla sengaja menantang Stevan. Pemuda itu jadi cekikikan.
“Tunggu ya! Tunggu! Aku kumpulin hasil jeri payahku! Siap-siap saja! Awas saja kalau kamu enggak mau aku ajak!” serius Stevan, tetapi Aqilla hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Aqilla menganggapnya tak lebih dari candaan di antara mereka.
“Oke ... mulai sekarang juga aku bakalan kerja. Nanti aku minta mutasi pendapatanku sebagai bukti ke kamu!” batin Stevan diam-diam memperhatikan Aqilla. Rambut bergelombang Aqilla yang digerai, jadi cukup basah karena ulahnya beberapa saat lalu.
Aqilla mundur dan sengaja berhenti di tengah jalanan dengan sangat hati-hati. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Stevan jadi makin sibuk memperhatikannya.
Suara motor yang terdengar dari gang belakang dan merupakan jalan buntu, mengusik Aqilla. “Inikah yang mengincarku?” pikir Aqilla.
Suara motor terbilang berisik karena knalpot hasil racingan tersebut mengarah kepada Aqilla. Aqilla terdiam di tengah jalan depan rumahnya. Bukan bermaksud menumbalkan diri. Namun ia mengenali sosok penunggang motor sebagai Angkasa. Si balik kaca helm yang baru ditutup, Aqilla melihat wajah Angkasa.
Kedua tangan Aqilla menggenggam erat gagang sapunya. Aqilla siap menghantam kedua tangan Angkasa sekuat tenaga. Namun di luar dugaan, selain motor Stevan berangsur jatuh karena dilepas begitu saja oleh pemiliknya. Helm Stevan juga sudah lebih dulu menghantam punggung Angkasa, sebelum Stevan buru-buru mendekap Aqilla sangat erat dan mendorongnya agar mundur dari tengah jalan.
Apakah maharaja akan mencintai Aqilla secara ugal ugalan seperti mama elra kepada papa syukur 😍
Penasaran.......
amin🤲