Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ava Ollivia
Di dalam private room yang ada di restoran mewah pusat Kota London, Nero duduk sambil memainkan gelas yang berisi cider. Matanya menatap penuh selidik pada orang-orang yang kini duduk satu meja dengannya; Morgan, Kaisar, dan Henry.
Ternyata, ada sedikit perubahan dari agenda yang telah dibuat. Sebelumnya, hanya Kaisar dan Morgan yang akan bertemu dengannya, membahas rencana kolaborasi antara N&M dengan perusahaan milik Kaisar—sahabat dekat Morgan.
Namun sekarang, ada pula Henry, pemilik perusahaan industri pangan asal Singapura, yang juga mengajukan kolaborasi dengan Kaisar.
Sedikit informasi yang Nero dapatkan dari obrolan singkat tadi, sebelumnya Henry dan Morgan sudah terlibat kerja sama. Bahkan, Morgan menjadi distributor produk-produk Henry jauh sebelum menjadi distributor produk N&M. Tentu saja Nero waspada dengan itu. Otaknya berpikir keras, menyusun rancangan rencana andai Kaisar tiba-tiba berpaling pada Henry.
Namun, kenyataannya sungguh di luar dugaan.
"Sebelumnya maaf, Tuan Henry, saya tidak bisa menerima kerja sama yang Anda ajukan, karena saya ... akan berkolaborasi dengan Tuan Nero. Saya tertarik dengan N&M, dan ... ini sudah kami rencanakan sejak jauh-jauh hari," ucap Kaisar.
Nero sedikit terkejut mendengar itu. Namun, dia tidak banyak komentar. Sekadar meneguk cider yang masih tersisa setengah gelas. Sementara Henry, mengulas senyum kaku. Tatapan matanya menjadi lebih tajam, bahkan gurat kekesalan mulai tercetak jelas di wajahnya.
"Saya mengerti. Ah, tidak apa-apa, Tuan, sepertinya saya memang terlambat," ujar Henry sesaat kemudian, setelah meneguk habis cider miliknya.
Kendati senyuman masih tersungging lebar di bibirnya, tetapi nada bicara tidak setenang sebelumnya. Justru terdengar datar dan tertahan. Mungkin, dia kecewa dengan keputusan Kaisar.
Nero pula bisa memahami itu semua. Namun, dia memilih diam dan tidak memberikan reaksi apa pun. Bahkan setelah Henry pamit dan meninggalkan tempat, Nero masih saja fokus dengan gelasnya yang sudah kosong.
"Maaf, Tuan Nero, tadi saya tidak bisa mencegah kedatangan Tuan Henry. Beliau mengontak saya dan mendesak untuk bertemu secepatnya." Kaisar menjeda kalimatnya sejenak. "Tapi, Anda tenang saja, kerja sama kita akan tetap berlanjut. Saya sangat tertarik berkolaborasi dengan N&M," sambungnya.
Nero tersenyum sekaligus menghela napas lega. Tidak sia-sia dia berusaha selama ini, bahkan rela bolak-balik ke London, karena akhirnya sayap bisnis akan mengepak juga di sana.
"Terima kasih, Tuan Kaisar. Saya merasa terhormat Anda bersedia bekerja sama dengan saya," jawab Nero.
"Luar biasa, saya ikut senang dengan keputusan Tuan Kaisar dan Tuan Nero. Semoga ini menjadi langkah yang lebih baik untuk bisnis Anda berdua." Morgan ikut menimpali, sembari mengulas senyum lebar tanpa dibuat-buat.
Dalam sesaat, Nero merasa lebih tenang. Walau ia yakin Henry menyimpan kekesalan—mungkin juga benci, tetapi setidaknya kali ini Morgan berada di pihaknya. Bagi Nero, itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan pijakan sebelum melompat maju. Memang beresiko. Namun, bukankah bisnis memang seperti itu? Makin besar keuntungan, makin besar pula resikonya.
"Aku pasti bisa mengatasi semuanya," batin Nero di sela-sela pembahasan kerja sama dengan Kaisar.
________
Sudah genap dua minggu Nero berada di London. Waktu yang cukup untuk membahas detail hubungan bisnis dengan Kaisar. Ke depannya tinggal melaksanakan saja, sesuai rencana yang telah disepakati.
Karena urusan di kota tersebut sudah selesai, malam ini Nero akan terbang kembali ke Indonesia. Dengan diantar oleh orang kepercayaan Morgan, Nero tidak telat sama sekali. Bahkan, ia masih punya banyak waktu sebelum melakukan penerbangan.
"Selamat jalan, Tuan, hati-hati. Maaf, saya harus pergi sekarang," ujar pria yang mengantar Nero.
"Baik, terima kasih." Nero menjawab sambil mengangguk sopan.
Lantas, Nero mulai berjalan setelah mobil tersebut pergi meninggalkannya.
Namun, belum lama Nero melangkah, tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Nero bergegas menoleh dan mendapati seorang wanita cantik sedang membungkuk, mengambil ponselnya yang terjatuh.
"Maaf, saya tidak sengaja menabrak Anda. Saya yang salah karena berjalan sambil melihat ponsel," ucap wanita tersebut.
Nero menjawab dengan gumaman pelan, sembari menatap lekat wajah cantik yang kini menghadap ke arahnya. Sepasang mata cokelat yang menawan, hidung mancung, bibir merah sensual, serta rambut panjang dengan warna cokelat terang. Bukan gambaran yang buruk, apalagi postur tubuhnya langsing dan tinggi. Jika dibandingkan dengan Raina, jelas kecantikan wanita itu jauh lebih sempurna.
Namun, bukan itu yang menarik perhatian Nero kali ini.
"Saya Ava, Ava Ollivia. Sekali lagi maaf, sudah membuat Anda tidak nyaman." Wanita yang bernama Ava kembali bicara, seraya mengulurkan tangannya ke arah Nero.
"Nero." Nero menyambutnya. Menjabat tangan dengan jari-jari lentik dan mulus itu.
"Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Nero."
"Terima kasih."
Sesaat berlalu, keduanya terlibat obrolan ringan, sembari meneruskan langkah yang barusan sempat terjeda. Meski Ava yang lebih banyak mengeluarkan kata, tetapi perbincangan itu tidak terkesan canggung. Semua karena Ava yang sangat pintar mencairkan suasana. Bahkan berkat dia, Nero jadi tahu bahwa mereka adalah penumpang pesawat yang sama. Bedanya, Ava asli London dan datang ke Indonesia sekadar untuk mengunjungi teman lama.
Pertama kali mengetahui hal itu, Nero tertawa. Pikirnya, sangat kebetulan. Lantas, ia tak keberatan memberikan nomor ponselnya kepada Ava.
"Sepertinya ... lain waktu kita akan bertemu lagi," batin Nero sambil menatap penuh arti.
Sementara Ava sendiri, sedikit berpaling sambil mengulas senyuman lebar.
Bersambung...