NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14

Acara malam itu akhirnya selesai dengan sukses. Para tamu satu per satu meninggalkan ballroom, puas dengan presentasi dan keramahan yang ditunjukkan oleh Dylan dan timnya. Dylan, yang masih dikelilingi beberapa kolega bisnis, tampak sibuk menyapa dan berbicara, tetapi matanya terus mencari sosok Rose.

Namun, sebelum ia sempat menghampiri Rose, seorang wanita muda mendekatinya. Wanita itu adalah keponakannya, Alia, yang baru saja kembali dari studi di luar negeri. Alia adalah gadis yang ceria, cerdas, dan sangat dekat dengan Dylan sejak kecil.

“Uncle Dylan!” seru Alia sambil melambaikan tangan dengan antusias.

Dylan tersenyum lebar. “Alia! Kamu akhirnya datang juga. Kukira kau akan sibuk dengan urusanmu.”

“Aku tidak mungkin melewatkan acara sebesar ini! Aku bangga sekali padamu, Uncle.” Alia memeluk Dylan erat, seperti biasanya, tanpa menyadari bahwa gerakan itu menarik perhatian beberapa orang, termasuk Rose, yang kebetulan sedang berjalan menuju pintu keluar.

Rose menghentikan langkahnya sejenak, matanya terpaku pada pemandangan di depannya. Dylan dan wanita muda itu tampak begitu akrab, berbicara sambil tertawa. Bahkan, sesekali Dylan menyentuh pundak wanita itu dengan penuh kehangatan.

“Siapa dia?” pikir Rose, dadanya mulai terasa sesak. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya rekan kerja atau teman lama Dylan. Tapi semakin lama ia melihat, semakin sulit baginya untuk menahan rasa cemburu yang mulai muncul.

“Aku dengar kau akan tinggal di kota ini sekarang?” suara Dylan terdengar hangat saat berbicara dengan Alia.

“Iya, Uncle. Aku ingin belajar lebih banyak tentang perusahaanmu. Mungkin suatu saat bisa ikut membantu,” jawab Alia sambil tersenyum.

Tanpa sadar, Rose yang sudah berniat pulang malah memutuskan untuk mendekat, ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, langkahnya terhenti di tengah jalan ketika ia mendengar Dylan tertawa kecil dan berkata, “Kau memang selalu tahu caranya mencuri perhatian. Aku bangga padamu, Alia.”

Alia? Nama itu asing di telinga Rose, tetapi ia tidak berani bertanya lebih jauh. Hatinya sudah terlanjur sakit melihat keakraban itu. Ia memilih berbalik dan meninggalkan gedung tanpa memberi tahu Dylan.

Di sisi lain, Dylan akhirnya menyadari bahwa Rose tidak ada di ruangan lagi. Setelah berbicara dengan Alia, ia langsung mencari Rose, berharap bisa menghabiskan waktu dengannya sebelum malam berakhir. Namun, salah seorang staf mengatakan bahwa Rose sudah pergi.

“Dia pulang? Tapi kenapa tidak memberitahuku?” gumam Dylan, wajahnya tampak bingung.

Sementara itu, di perjalanan pulang, Rose terus berusaha menenangkan dirinya. “Kenapa aku harus merasa seperti ini? Aku tidak punya hak untuk cemburu…” pikirnya, tetapi hatinya berkata lain. Ada perasaan kecewa yang sulit ia abaikan.

Keesokan harinya, Dylan mencoba menghubungi Rose, tetapi panggilannya tidak diangkat. Pesan yang ia kirim pun hanya dibaca tanpa balasan. Hal ini membuat Dylan semakin khawatir.

“Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya Dylan pada dirinya sendiri.

Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke Apartemen Rose tanpa pemberitahuan. Ketika ia tiba, Rose sedang bersiap akan tidur. Begitu melihat Dylan, ekspresi Rose berubah menjadi dingin.

“Pak Dylan,” sapanya singkat.

“Rose, apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?” Dylan langsung bertanya, tanpa basa-basi.

Rose menggelengkan kepala, tetapi matanya tidak bertemu dengan pandangan Dylan. “Tidak, aku hanya sibuk.”

“Rose, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Apa yang terjadi? Kalau ini tentang tadi, aku ingin menjelaskan—”

“Tidak perlu,” potong Rose cepat. “Aku mengerti. Kau jelas punya banyak orang penting dalam hidupmu. Aku hanya tamu biasa, bukan?”

Dylan tertegun. “Apa maksudmu? Rose, kau bukan tamu biasa. Kau tahu itu.”

Rose menghela napas, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Aku melihatmu dengan seorang wanita tadi. Kalian terlihat sangat dekat. Aku tidak ingin mengganggu.”

Dylan akhirnya mengerti. Ia tersenyum kecil, lalu berkata, “Rose, wanita itu adalah keponakanku, Alia. Dia baru saja kembali dari luar negeri. Aku sangat dekat dengannya sejak kecil, dan aku hanya senang bisa bertemu lagi setelah sekian lama.”

Mata Rose membelalak sedikit. “Keponakanmu?” tanyanya, merasa malu atas kesalahpahamannya.

Dylan mengangguk. “Ya. Aku tidak menyangka kau akan salah paham. Kalau aku tahu kau melihat kami, aku pasti langsung menjelaskan.”

Wajah Rose memerah. Ia merasa malu sekaligus lega. “Aku… maaf. Aku tidak seharusnya berpikir seperti itu.”

Dylan tertawa pelan, lalu mendekat dan berkata lembut, “Rose, aku tidak ingin ada kesalahpahaman seperti ini lagi. Jika ada sesuatu yang mengganggumu, tolong katakan padaku. Kau penting bagiku, lebih dari yang kau pikirkan.”

Rose hanya bisa mengangguk pelan, merasa hatinya kembali hangat mendengar ketulusan dalam suara Dylan.

***

Keesokan harinya, suasana di lantai 20 terasa sedikit berbeda. Roseane tiba lebih awal, bertekad untuk membuktikan dirinya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok pensil hitam, tampak profesional meskipun kurang tidur. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di meja kerjanya pagi itu: tumpukan dokumen baru yang lebih tinggi dari kemarin.

“Pekerjaan tambahan?” gumam Rose bingung sambil memeriksa dokumen-dokumen itu. Tidak ada memo atau email, hanya catatan kecil di atas tumpukan tersebut bertuliskan: “Prioritas hari ini. Harus selesai sebelum malam.”

Ia hampir kehilangan semangat, tapi menggigit bibirnya dan menegakkan bahu. Aku bisa melakukannya.

Saat ia mulai bekerja, pintu lift terbuka, dan dua orang masuk dengan langkah percaya diri. Seorang pria jangkung dengan rambut gelap, mengenakan setelan biru tua yang rapi, dan seorang wanita muda dengan blazer merah yang terlihat anggun. Semua mata tertuju pada mereka. Rose mendengar bisikan kecil dari rekan-rekan sekitar.

"Itu Nathan dan Elise," salah satu rekan kerja berbisik kepada yang lain. "Mereka pindahan dari kantor cabang London."

Rose hanya mengerutkan kening, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, tak lama kemudian, Nathan dan Elise mendekatinya. Nathan menatap tumpukan dokumen di mejanya, sementara Elise meliriknya dengan senyuman tipis.

“Kau pasti Roseane Park, anak magang baru,” ujar Elise dengan nada ramah, meskipun ada sedikit nada sinis terselip. “Senang bertemu denganmu. Kami baru saja dipindahkan untuk menggantikan Sophi dan Marten.”

Rose hanya mengangguk sopan. “Senang bertemu dengan Anda juga.”

Nathan menyandarkan tangan di meja Rose, menatapnya dengan intens. “Kalau kau butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya. Tapi kurasa, jika kau ingin bertahan di sini, kau harus lebih cepat.” Nada bicaranya setengah mengolok.

Rose hanya tersenyum tipis, memilih untuk tidak merespons. Setelah mereka pergi, ia menghela napas panjang. Tantangan baru lagi? pikirnya.

Sepanjang hari, Dylan Wang mengawasi ruangan dari kantornya yang berdinding kaca. Ia memperhatikan interaksi Rose dengan Nathan dan Elise tanpa menunjukkan emosi apa pun. Ketika Nathan masuk ke ruangannya untuk memberi laporan, Dylan langsung ke inti.

“Bagaimana menurutmu tentang anak magang itu?” tanyanya sambil memandang layar laptopnya.

Nathan tersenyum tipis. “Ambisius, tapi masih terlalu hijau. Anda yakin dia bisa bertahan di bawah tekanan ini?”

“Itu yang akan kita lihat,” jawab Dylan datar. “Pastikan dia tidak menerima perlakuan istimewa.”

Sore hari, saat sebagian besar staf mulai pulang, Rose masih terjebak dengan laporan yang harus selesai. Mrs. Liang sempat menengok ke arahnya dengan raut khawatir. “Rose, kau tak apa-apa? Sudah larut.”

Rose tersenyum kecil. “Saya baik-baik saja, Bu. Tinggal sedikit lagi.”

Namun, pekerjaan tambahan terus berdatangan. Email masuk dari Elise, lalu dari Nathan, masing-masing dengan permintaan mendesak. Rose merasa seperti sedang diuji oleh semua orang. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 10 malam, ia masih duduk di meja, menahan rasa lelah.

Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Ia mendongak dan mendapati Dylan berdiri di sana, menatap tumpukan dokumen yang hampir selesai.

“Kau masih di sini?” tanyanya, suaranya datar.

Rose mengangguk, menahan keluhan. “Saya ingin menyelesaikan semuanya, Pak.”

Dylan mengangkat alis. “Ini lebih dari pekerjaanmu seharusnya. Kenapa tidak bilang pada saya?”

Rose menatapnya, berusaha menguasai emosinya. “Saya tidak ingin terlihat lemah. Saya ingin membuktikan bahwa saya mampu.”

Dylan memandangnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Bagus.” Namun, ia menambahkan, “Tapi jangan bodoh. Jika pekerjaanmu terus menumpuk, kau tidak akan efisien. Pulanglah. Ini perintah.”

Rose sempat terkejut, tapi ia tahu tidak ada gunanya membantah. “Baik, Pak.”

Setelah Dylan pergi, Rose merapikan meja kerjanya dengan napas lega. Di sisi lain, Dylan kembali ke ruangannya, memandangi kota yang gelap dari jendela. Dalam hatinya, ia mengakui keberanian Rose. Tapi ia tahu, hari-hari sulitnya baru saja dimulai.

Bersambung

Padahal Rose berharap bakalan diantar dylan

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!