Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Relax di Ruang Aman Cadangan
Dalam ruang gelap tanpa jendela, hanya keheningan dingin yang menyelimuti. Ruangan itu diterangi oleh pantulan sinar layar-layar besar, menampilkan siluet samar tanpa wajah. Suara dari layar-layar itu diubah hingga terdengar menggelegar dan tidak bisa diidentifikasi, membuat suasana semakin mencekam. Zaela berdiri dengan tubuh tegap, namun rahangnya tampak mengeras, mencoba menahan setiap emosi yang hendak meledak. Di sampingnya, Douglas, mantan ketua siswa eksekutif tahun lalu, duduk bersandar dengan tangan menyilang, menatap kosong ke meja rapat.
“Kalian telah mengecewakan saya!” Suara berat dan penuh wibawa itu memecah keheningan, bergema dengan kekuatan yang membuat setiap orang terpaku. “Korban terus berjatuhan, sementara kalian, yang seharusnya menjadi eksekutor terbaik, bahkan tidak mampu mengendalikan situasi! Ini yang kalian sebut melaksanakan tanggung jawab? Memalukan!”
Zaela menunduk sedikit, tidak menjawab. Setiap kata yang diucapkan oleh para petinggi terasa seperti belati yang menusuk harga dirinya. Douglas melirik ke arahnya sebentar, tapi ia pun memilih untuk tetap diam.
“Lebih buruk lagi,” suara lain terdengar dari layar berbeda, lebih dingin, tajam, dan sarat ancaman. “Seseorang—seseorang—berani menyusup ke ruang penyimpanan korban. Dan kalian bahkan tidak tahu siapa pelakunya? Apakah kalian semua buta?"
Zaela mengepalkan tangannya di bawah meja, kukunya hampir menancap ke kulit. Ia tahu bahwa membela diri saat ini tidak akan ada gunanya, hanya akan memperpanjang cemoohan.
“Dan, parahnya lagi,” suara lain menyela dengan nada yang lebih marah, “informasi internal kita bocor ke luar. Sekarang seluruh dunia tahu soal insiden di akademi ini! Apa kalian sadar betapa buruknya situasi ini bagi kita?!”
Douglas menghela napas berat, akhirnya berbicara, “Kami sedang—”
“Diam!” potong salah satu suara dengan kasar, membuat Douglas membungkam. “Tidak ada waktu untuk pembelaan. Kami tidak butuh alasan!”
Hening yang menyesakkan meliputi ruangan sebelum suara yang lebih rendah dan menakutkan itu terdengar, bagaikan bisikan maut yang menusuk langsung ke dalam pikiran. “Zaela. Douglas. Tugas kalian seharusnya sederhana. Pertama, hapus setiap jejak keberadaan korban. Tidak boleh ada bukti, tidak boleh ada saksi. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Dan jika ada siswa bodoh yang mencoba menyelidiki terlalu dalam… pastikan mereka menghilang tanpa meninggalkan masalah. Apakah saya jelas?” Suara itu seolah menggantung di udara, membawa ancaman yang lebih tajam daripada sekadar kata-kata.
Zaela hanya mengangguk perlahan, menatap layar kosong yang tidak memberikan sedikitpun belas kasihan.
“Kedua,” lanjut suara itu dengan nada yang lebih dingin, “temukan siapa yang membocorkan informasi ini. Tangkap mereka. Dan pastikan mereka tidak lagi bisa berbicara. Kami tidak akan menerima kegagalan lagi. Jika kalian tidak bisa menangani ini...”
Ruangan menjadi sunyi. Tekanan dari ancaman tak terucap itu jauh lebih menusuk daripada kata-kata langsung.
“...kalian tahu konsekuensinya,” suara terakhir mengakhiri pertemuan dengan nada tegas. “Kami akan memantau. Jangan kecewakan kami lagi.”
Layar-layar mulai padam satu per satu, meninggalkan Zaela dan Douglas dalam kegelapan yang pekat. Tidak ada yang berbicara di antara mereka, namun atmosfir ruangan itu penuh dengan ketegangan yang tak terlihat. Zaela menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.
“Kita akan mulai dari mana?” gumam Douglas akhirnya, memecah keheningan.
Zaela menatap lurus ke depan, matanya menyala penuh sungguh-sungguh. “Kita urus dulu yang bocor informasi. Orang itu harus ditemukan—dan dihilangkan—sebelum kita menyentuh yang lainnya.”
Douglas mendengus ringan, menyesuaikan posisi duduknya. “Bagus. Tapi pastikan kau tahu apa yang kau lakukan, Zaela. Kalau ini gagal...”
“Aku tahu,” potong Zaela dengan nada datar. “Aku tidak akan gagal. Tidak kali ini.”
Keduanya bangkit bersamaan, langkah mereka menggema dalam keheningan ruang gelap itu. Kali ini, tidak akan ada belas kasihan.
***
Langkah kaki tim Fluttergeist bergema di sepanjang lorong-lorong sepi Akademi Debocyle. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya yang terasa dingin, seolah enggan memberikan rasa aman. Gale berjalan di depan, memimpin tim dengan langkah tegas, meski sesekali matanya menyapu ke kanan dan kiri, memastikan mereka tidak diikuti. Alvaro mengikuti di belakangnya, tangannya siap di saku jaketnya.
"Ini gila," gumam Charissa dengan nada tak percaya. Ia berjalan di tengah kelompok, sesekali menoleh ke belakang. “Siswa eksekutif benar-benar menyerang ruang kita. Ruang aman! Apa mereka sudah hilang akal?”
“Lebih tepatnya, mereka mulai panik,” balas Latania dengan nada datar, tetapi ada kilatan emosi di matanya. “Setiap gerakan mereka semakin jelas menunjukkan kalau ada sesuatu yang besar sedang mereka sembunyikan.”
Shally, yang berjalan di sisi Latania, hanya menunduk dalam diam, sesekali menggigit bibir bawahnya. Wajahnya masih pucat sejak serangan itu terjadi, seolah bayangan siswa eksekutif yang mendatanginya di gudang penyimpanan masih terlihat jelas.
Ketika akhirnya mereka tiba di depan pintu ruang aman yang lain—ruang cadangan yang sudah mereka persiapkan untuk kondisi darurat—Gale mengangkat tangannya untuk menghentikan langkah mereka.
“Latania,” katanya pendek.
Tanpa perlu diperintah dua kali, gadis itu maju dan memeriksa pintu dengan cepat. Ia mengeluarkan alat kecil dari saku jaketnya, memindai permukaan pintu untuk memastikan tidak ada alat sadap atau jebakan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Aman.”
Gale menggeser pintu dengan hati-hati, membiarkan tim masuk satu per satu sebelum ia sendiri menutup pintu di belakang mereka.
Ruang cadangan itu jauh lebih kecil daripada ruang aman utama mereka, hanya berupa sebuah ruangan sempit dengan meja panjang, beberapa kursi, dan tumpukan dokumen di sudut. Tidak ada peralatan canggih seperti sebelumnya, hanya sebuah komputer lama yang terhubung ke sistem internal akademi dengan akses terbatas.
“Ini sementara,” kata Gale, mengamati ruangan dengan cepat. “Tapi cukup untuk kita bertahan dan menyusun langkah berikutnya."
Setelah mereka semua duduk, suasana hening sejenak. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Charissa memecahkan keheningan dengan nada dramatis.
“Baiklah,” katanya sambil menyandarkan diri di kursi dengan gaya berlebihan. “Ruang aman cadangan ini... hmm, bagaimana aku mendeskripsikannya?” Ia melirik ke sekitar dengan ekspresi seperti kritikus seni. “Oh, aku tahu! Mirip gudang penyimpanan buku tua di perpustakaan bawah tanah. Siapa yang mendekor tempat ini? Zombie?”
Shally, yang duduk di sebelahnya, akhirnya tersenyum kecil, meski masih terlihat gugup. “Charissa, tolonglah. Kita baru saja diserang, dan kamu malah mengomentari dekorasi?”
“Tentu saja! Karena kalau tidak, siapa lagi? Kita semua butuh relaksasi,” balas Charissa sambil menata rambutnya. “Lagipula, lihat ini.” Ia menunjuk komputer tua di sudut ruangan. “Komputer itu... aku bahkan tidak yakin apakah benda itu butuh listrik atau doa supaya bisa nyala.”
Latania mendengus pelan, mencoba menahan tawa. “Kalau doa saja bisa, aku mau nyoba. Mungkin sekalian minta keajaiban supaya kamu jadi lebih berguna.”
Charissa menoleh tajam, tetapi senyumnya tetap melekat. “Oh, tenang saja, Latania. Aku sudah berguna dengan membuat kalian tertawa. Itu kan penting?”
Gale, yang biasanya serius, tiba-tiba angkat bicara tanpa mengangkat kepala dari denah akademi yang sedang dipelajarinya. “Kalau kamu memang mau berguna, tolong jangan sampai kursimu patah. Aku tidak ingin ledakan tawa menjadi penyebab kita ketahuan.”
Semua langsung tertawa kecil, termasuk Alvaro yang sejak tadi diam di sudut. Ia menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahnya.
“Serius, Charissa, kamu benar-benar tahu cara mencairkan suasana.” Tambah Vella di samping Alvaro.
Charissa mendongak dengan bangga. “Itulah kenapa aku ini aset berharga tim kita. Tanpa aku, kalian semua bakal jadi zombie pemurung.” Ia melirik Gale dengan pandangan menggoda. “Kecuali kamu, Gale. Kamu zombie pemimpin. Ada bedanya.”
Gale mendesah pelan, meski ada secercah senyum di sudut bibirnya. “Oke, cukup. Fokus lagi. Ayo kita susun langkah selanjutnya, sebelum Charissa mulai mengomentari warna cat dinding.”
Namun, suasana sudah jauh lebih ringan. Rasa cemas yang tadi memenuhi ruangan perlahan mulai tergantikan oleh semangat baru.