Sekretarisku Yang Mungil

Ansara keluar dari ruangan sang CEO masih dengan perasaan yang tak menantu, berdebar ingin berteriak bahagia tapi ingin pula menyembunyikan kebahagiaannya tersebut.

Entahlah, perasaan Ansara campur aduk. Bahkan kedua pipinya masih terasa panas.

Di mata Jessi gelagat Ansara sangat mencurigakan, namun kini dia tak berani banyak bertanya seperti kemarin-kemarin. Kini Jessi lebih banyak menerka-nerka sendiri.

'Kenapa wajah Ansara terlihat merah seperti itu?' batin Jessi.

Tatapannya tak pernah lepas sampai Ansara duduk di kursi kerjanya. "Apa?" tanya Ansara dengan suara yang dia buat dingin, padahal sedang menyembunyikan gugup di dalam hati.

Jangan sampai Jessi tahu tentang hubungannya dengan sang boss, Ansara yakin 100 persen jika sampai Jessi tahu maka seluruh orang di bumi ini juga pasti akan langsung mengetahuinya.

"Tidak ada," jawab Jessi dengan memalingkan wajah. Lalu bertanya-tanya lagi benarkah bibir Ansara terluka? Tadi dia sempat melihatnya sedikit tapi tidak begitu jelas.

Tapi kini Jessi tak ingin kembali melihat ke arah Ansara, jika dia kembali melihat Ansara pasti akan merasa besar kepala, merasa jika dia begitu ikut campur dengan urusan wanita itu.

Dan demi membuat semuanya biasa saja, Ansara langsung menyibukkan diri dengan pekerjaan. Memutar rekaman suara yang dia ambil saat Adrian berpidato tadi.

Juga mendengar pembicaraan diantara Adrian dan juga nona Aleia. Ternyata dalam pembicaraan itu banyak sekali hal penting yang di bicarakan.

Tapi saat acara tadi Ansara tak sempat memahaminya, hanya karena cemburu.

Menyadari akan hal itu kedua pipi Ansara kembali merah, tak bisa dia pungkiri bahwa cintanya pada Adrian memang sebesar itu.

Tanpa sadar Ansara bahkan senyum-senyum sendiri, untung saja Jessi tidak menyadarinya.

Jam 2 siang asisten Juan akhirnya kembali. Kembalinya asisten Juan membuat Adrian sibuk dengan asisten pribadinya tersebut.

Dan setelah Ansara melaporkan pekerjaannya, Ansara memiliki banyak waktu luang. Jadi Ansara memutuskan untuk izin pulang sebentar, bertemu dengan sang ibu yang rasanya telah lama sekali tidak bertemu.

Saat sebuah mobil memasuki halaman rumah Ansara, para tetangga menatap heran. Bertanya-tanya siapakah pemilik mobil tersebut.

Dan alangkah terkejutnya semua orang ketika melihat yang keluar adalah Ansara. Bukan Ansara seperti yang selama ini mereka kenal, sekarang Ansara terlihat seperti orang lain.

Pakaiannya bagus, terlihat rapi dan juga sangat cantik.

Sang ibu yang sedang bermain ke rumah salah satu tetangga pun sampai dibuat tercengang dengan penampilan anaknya tersebut.

Sontak saja beliau buru-buru berlari untuk pulang.

"Ansara!" panggil ibu Mulya.

"Bu," sapa Ansara pula, dia tersenyum dengan sangat lebar.

"Ya Tuhan, apa ini anak ibu?" tanya ibu Mulya heran.

"Ibu, jangan menggodaku seperti itu. Ayo masuk," ajak Ansara, dia juga tidak pulang dengan tangan kosong. Ansara membawa beberapa buah tangan untuk ibunya.

Mereka langsung menuju dapur dan duduk bersama di meja makan.

Berulang kali ibu Mulya merasa bersyukur melihat pekerjaan Ansara sekarang, seolah segala perjuangan sang anak selama ini akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal dari tuhan.

"Jadi itu mobil inventaris yang kamu bicarakan?" tanya ibu Mulya.

"Iya Bu."

"Ya Tuhan, ibu bahagia sekali Nak. Kamu harus benar-benar bekerja dengan baik, jangan sampai membuat teman mu itu kecewa."

"Iya Bu, ibu tenang saja."

Ibu Mulya kemudian menggenggam tangan sang anak yang ada di atas meja. "Ibu juga berharap kamu bisa hidup bahagia Ans. Jika ada waktu luang seperti ini bahagialah juga dirimu sendiri, jangan terus memikirkan tentang ibu. Jika kamu bahagia maka ibu juga akan sangat bahagia," ucap ibu Mulya dengan sangat tulus.

Tak ingin Ansara menganggapnya sebagai beban, sangat ingin Ansara pun menikmati hidupnya.

"Iya Bu, jangan khawatirkan aku," jawab Ansara, lalu keduanya saling memeluk dengan erat.

Namun mendadak ada perasaan takut dihatinya, bagaimana sedihnya sang ibu jika mengetahui dia jadi orang ketiga di dalam rumah tangga Adrian.

Pulang dari rumah sang ibu, Ansara tidak langsung kembali ke kantor. Ansara lebih dulu mengunjungi Mayang di cafe.

Sama seperti sang ibu, Mayang pun tercengang melihat kehidupan Ansara sekarang.

Kehidupan yang juga dia mimpi-mimpikan, tapi belum jadi kenyataan.

"Astaga Ans, kamu cantik sekali," ucap Mayang kagum.

Tapi Ansara hanya tersenyum kecil, tidak menanggapinya dengan antusias.

"Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" tanya Mayang lagi.

"Anu_"

"Anu apa?! bicara yang jelas!"

Ansara menghela nafas kasar, lalu mengatakan bahwa dia dan Adrian resmi menjalin hubungan terlarang. Dan kini Ansara selalu dihantui rasa yang membingungkan, terkadang bahagia lalu terkadang sedih sendiri.

"Sudahlah Ans, sudah kepalang basah. Berhentilah merasa bersalah," kata Mayang, "Tidak perlu pula mengungkit-ungkit masalah rumah tangga Adrian, jalani saja semuanya."

"Apa benar seperti itu?"

"Iya, percayalah pada Adrian saja. mungkin pernikahannya hanya perjodohan dan sebenarnya sejak awal dia hanya mencintai kamu," tegas Mayang, apalagi jika melihat banyak sekali kebetulan dalam hubungan mereka.

Tiba-tiba Adrian datang ke acara reuni, padahal sebelumnya tak ada pemberitahuan bahwa pria itu akan muncul.

Tiba-tiba menawarkan pekerjaan pada Ansara untuk jadi sekretaris pribadi, lengkap dengan fasilitas yang tak main-main.

Dan kini tiba-tiba Adrian mengatakan bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Mendengar semua penjelasan Mayang tersebut hati Ansara yang gundah perlahan tenang. Mulai mantap lagi untuk tetap menjalani hubungan ini.

"Nikmati saja Ans, sampai kemana hubungan kalian akan berlabuh."

Ansara mengangguk.

Ketika dia hendak kembali ke kantor, ponselnya bergetar ada pesan masuk dari Adrian. 'Langsung pulang saja, kita bertemu di apartemen ku.'

Membaca pesan itu hati Ansara sudah berdebar, entah secanggung apa pertemuan nanti. Bertemu dengan status mereka yang sudah berubah.

Bukan lagi teman, bukan pula hanya atasan dan bawahan, tapi sepasang kekasih.

Ansara berharap dia yang lebih dulu tiba di apartemen, tapi ternyata harapannya salah. Sebab saat dia masuk, ternyata Adrian sudah menunggunya di ruang tengah.

Deg!