Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Baru: Dinda
Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu: hari pertama ospek di Universitas Muhammadiyah Cilacap. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, dengan semangat yang meluap-luap. Namun, semangatku sedikit meredup ketika ibu memintaku membantu berjualan di pagi hari. Meski agak khawatir akan waktu, aku tidak tega menolak permintaannya. Dengan cekatan, aku membantu ibu menata barang dagangan di warung kecil kami.
Setelah selesai, aku segera bersiap-siap dan memacu motorku menuju kampus. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi, dan ospek dimulai pukul 07.00. Perasaan panik mulai menyelimuti pikiranku. Di sepanjang perjalanan, bayangan mendapat teguran dari senior yang terkenal galak terus menghantui. Jalanan pagi itu cukup lengang, memberiku sedikit harapan untuk sampai tepat waktu.
Namun, di salah satu tikungan, mataku menangkap pemandangan yang membuatku menurunkan kecepatan. Seorang wanita dengan kerudung besar dan panjang berdiri di pinggir jalan sambil mencoba menghidupkan motornya. Wajahnya tampak kebingungan, dan aku menyadari bahwa motornya mati. Meskipun waktu semakin mendesak, hatiku tidak tega membiarkan orang lain dalam kesulitan.
Aku berhenti di dekatnya. "Kenapa, Mbak?" tanyaku dengan nada penuh perhatian.
"Motorku kehabisan bensin," jawabnya dengan suara lembut tetapi penuh rasa cemas. Matanya menatapku seolah-olah berharap aku bisa membantunya.
Aku melihat jam tanganku. Sisa waktu semakin sedikit, tetapi aku memutuskan untuk menolongnya. "Mbak tunggu di sini dulu ya. Aku belikan bensin di depan sana," pintaku padanya.
Dia terlihat sedikit lega dan mengangguk. "Oh iya, Mas. Terima kasih banyak," jawabnya dengan nada tulus.
Aku segera memacu motor ke kios bensin terdekat, membeli bensin secukupnya, dan kembali ke tempat wanita itu menunggu. Aku membantu mengisi tangki motornya hingga penuh. Ketika motornya kembali menyala, wajahnya berubah cerah, dan dia mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sama-sama. Hati-hati di jalan," kataku sebelum melanjutkan perjalanan.
Namun, kejadian itu membuatku tiba di kampus dengan terlambat. Perasaanku semakin tidak enak ketika seorang senior menghampiri dengan ekspresi wajah yang dingin. "Telat di hari pertama? Hukuman untukmu adalah berdiri di halaman kampus sambil hormat ke bendera selama 30 menit!" katanya tegas.
Aku tidak punya pilihan selain menerima hukuman tersebut. Dengan perasaan campur aduk, aku berdiri di tengah halaman kampus, menghormat ke bendera. Ini adalah pengalaman yang cukup memalukan, terutama karena terakhir kali aku melakukan hal ini adalah empat tahun lalu, ketika masih kelas 3 SMA.
Saat aku sedang menjalani hukuman, tiba-tiba aku mendengar langkah kaki mendekat. Seorang wanita berdiri di sampingku. Aku menoleh, dan terkejut melihat siapa itu. Wanita dengan kerudung besar yang tadi kutolong! Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi, apalagi dalam kondisi seperti ini.
Dia tersenyum malu. "Ternyata aku juga telat," katanya pelan.
Aku tersenyum kecil, berusaha menghibur diri. "Kita senasib, ya," ujarku sambil mencoba menahan tawa.
"Maaf ya, Mas. Gara-gara aku, Mas jadi telat," katanya sambil menunduk, terlihat merasa bersalah.
Aku menggeleng. "Sudah, santai saja. Aku telat bukan karena bantuin kamu. Tapi memang dari awalnya saja sudah telat," kataku sambil tersenyum.
"Masa sih? Mas ngomong itu biar aku nggak merasa bersalah, kan?" ucapnya sambil tersenyum kecil, mencoba menggoda.
Aku hanya tersenyum balik padanya tanpa bisa membantah. Sepertinya dia memang bisa membaca pikiranku.
"Oh iya, kita belum kenalan. Namaku Dinda. Mas namanya siapa?" tanyanya sambil menatapku dengan senyuman hangat.
"Namaku Alan," jawabku singkat.
Percakapan kami berlanjut meski kami masih berdiri di bawah terik matahari sambil menghormat ke bendera. Dari obrolan itu, aku mengetahui bahwa dia ternyata mahasiswa baru juga, sama sepertiku. Dia mengambil jurusan Akuntansi, sementara aku memilih Teknik Informatika. Selain itu, aku juga tahu bahwa dia empat tahun lebih muda dariku. Meski begitu, obrolan kami terasa hangat, dan seketika rasa malu karena hukuman itu memudar.
Setelah hukuman selesai, kami berjalan bersama menuju aula tempat ospek berlangsung. Senior-senior tampak sibuk memberi pengarahan. Namun, pikiranku masih melayang pada percakapan singkat dengan Dinda. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku merasa nyaman.
Hari pertama ospek yang awalnya kupikir akan berjalan buruk ternyata memberiku cerita yang tak terlupakan. Siapa sangka, dari keterlambatan dan hukuman, aku justru menemukan seorang teman baru bernama Dinda.
Ketika acara ospek selesai sore harinya, aku berjalan menuju parkiran motor dengan perasaan lega. Namun, sebelum aku sempat menyalakan motor, Dinda tiba-tiba menghampiriku. Dengan senyuman ramah, dia berdiri di depan motorku.
"Mas lagi buru-buru pulang nggak?" tanyanya, terlihat sedikit gugup sambil mengelus-elus motornya.
"Nggak, memangnya kenapa?" jawabku sambil memakai helm.
"Aku mau ngajak Mas makan," ucapnya sambil tersenyum lebar.
"Makan?" tanyaku bingung.
"Iya, Mas tadi pagi kan sudah bantuin aku. Sebagai bentuk terima kasihku, aku mau traktir Mas makan," jelasnya dengan penuh semangat.
"Nggak usah, orang cuma beliin bensin doang," tolakku sambil tersenyum, merasa bahwa itu bukan hal besar.
"Ayolah, Mas. Biar aku nggak terlalu merasa bersalah karena bikin Mas telat dan kena hukuman," rayunya sambil merengek, seperti anak kecil.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. "Ya sudah, boleh deh. Mau makan di mana?" tanyaku akhirnya menyerah.
"Mas maunya di mana? Di restoran atau di mana? Terserah Mas aja. Di tempat yang mahal juga nggak apa-apa," ucapnya dengan nada sedikit sombong.
Dinda memang terlihat berasal dari keluarga kaya. Itu bisa dilihat dari motor yang dibawanya, yaitu motor keluaran terbaru dengan harga yang cukup mahal. Berbeda dengan motorku yang hanya motor tua dengan beberapa bagian bodinya sudah tidak lengkap.
"Asyik, banyak duit nih. Gimana kalau kita makan di warteg langgananku? Tempatnya dekat dari sini dan masakannya juga enak-enak. Namanya Warteg Mbak Nur," ucapku sambil membayangkan masakan-masakan Mbak Nur yang sangat enak.
"Oke kalau begitu. Saatnya berangkat!" katanya dengan penuh semangat.
Aku hanya tertawa kecil melihat kelakuan Dinda yang begitu konyol. Dalam perjalanan menuju warteg, kami berbicara tentang banyak hal. Dinda bercerita tentang keluarganya, hobinya, dan alasan dia memilih Universitas Muhammadiyah Cilacap. Aku juga berbagi cerita tentang pengalamanku sebelumnya di SMA dan bagaimana aku akhirnya memutuskan untuk kuliah di sini.
Setibanya di warteg, kami langsung memesan makanan favorit masing-masing. Dinda terlihat antusias mencoba masakan warteg yang sederhana tetapi lezat. "Mas, ini enak banget! Nggak nyangka makanan murah bisa seenak ini," katanya dengan mulut penuh makanan.
Aku tertawa mendengar komentarnya. "Aku sudah bilang, kan? Masakan Mbak Nur memang juara."
Percakapan kami terus mengalir hingga malam tiba. Aku merasa waktu berlalu begitu cepat saat bersama Dinda. Hari yang awalnya penuh kesulitan berubah menjadi pengalaman yang penuh kehangatan. Dari sekadar kejadian kecil di pagi hari hingga momen makan bersama di warteg, aku merasa telah menemukan seorang teman yang istimewah.