Sequel: Presdir Tampan Itu Suamiku
Sebuah kesalahpahaman membuat Deya Kanza, gadis 21 tahun itu memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Namun setelah 4 tahun berlalu Deya dipertemukan kembali dengan sang mantan.
Devan Aksara, pemuda tampan 22 tahun itu menyadari kesalahannya setelah sang kekasih pergi jauh. Namun tiba-tiba kesempatan pun datang, dia bertekad untuk mengejar kembali cintanya Deya.
Apakah cinta mereka akan bersemi kembali atau malah berakhir selamanya? ikutin kisahnya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ucy81, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Dewasa
"Aku sudah memanggilmu sedari tadi, tapi kau malah menutup pintu", ucap Clarisa dengan raut wajah tidak senang.
"Oh, maaf ya. Aku benar-benar tidak mendengarmu tadi", sahut Deya pada wanita yang tengah berdiri dihadapannya.
"Oh, gitu ya", balas Clarisa acuh. Lalu dia mengintip dari balik tubuh Deya. "Apa kau hanya membiarkanku terus berdiri di sini?" tanyanya dengan santai.
"Em, mungkin saat ini aku tidak bisa mengundangmu masuk."
"Kenapa?" tanya Clarisa dengan raut wajah kesal.
"Ada hal mendesak yang harus aku kerjakan sekarang."
Clarisa membisu beberapa saat kala mendengar ucapan Deya. "Hm, baiklah! Tapi lain kali kau harus membawaku masuk ke dalam runahmu!", sahutnya dengan mendengus.
"Oke!" balas Deya dengan manggut-manggut.
Lalu Clarisa pun berpamitan pulang.
"Huft, syukurlah dia tidak memaksa masuk", gumam Deya kala baru saja menutup pintu.
"Tadi itu teman kakak?" tanya Arano yang membuat Deya tersentak kaget.
"Ngagetin aja!" keluh Deya sembari mengusap dadanya. "Dia bukan teman kakak!" lanjutnya. Lalu dia berjalan melewati Arano.
"Tapi kalian terlihat akrab."
"Akrab?" ulang Deya dengan mengernyitkan kening. "Sepertinya kau perlu mengambil mata kuliah tambahan. Mungkin besok kakak akan memintanya pada ketua jurusanmu."
"Mata kuliah tambahan apa?" tanya Arano dengan nada tidak senang.
"Psikologi!" jawab Deya setengah berbisik. Lalu dia duduk tepat di sofa.
Arano pun mengikuti Deya. "Kakak ngomong apa?" tanya Arano kala bokongnya berhasil menempel di sofa.
"Bukan apa-apa. Kau ingin makan apa malam ini?"
"Em, mau - "
"Ayam goreng saja!" sela Deya dengan cepat. "Di kulkas cuma ada itu", lanjutnya kala melihat raut wajah tidak senang Arano.
"Kalau gitu, kenapa kakak masih nanya?" kesal Arano.
Deya tersenyum menatap wajah cemberut Arano. "Iseng!" jawab Deya enteng. "Tapi kalau kamunya pengen makan sesuatu kakak bisa pesankan kok", katanya dengan lembut.
Sontak Arano mengubah ekspresi wajahnya. "Tidak perlu kak! Rano selalu suka apapun yang kak Deya masak", sahutnya dengan tersenyum.
"Manis sekali!" ucap Deya seraya mencubit gemas pipi Arano.
"Kak Deya!" pekik Arano kesal. "Rano bukan anak kecil lagi!"
"Usiamu baru 18 tahun. Apa kamu pikir kamu itu sudah dewasa?"
"Apa kakak ingin Rano membuktikannya?" tanyanya dengan menatap Deya.
Sontak Deya menyentil kening Arano. "Singkirkan pikiran kotormu itu!"
"Siapa yang berpikiran kotor sih kak?" keluh Arano sembari memegang jidatnya.
"Kalau tidak, lalu apa yang mau kau lakukan tadi?"
"Kak Deya sendiri yang mikir macam-macam! Rano cuma mau membuktikan kalau Rano itu benar-benar sudah dewasa!"
"Coba buktikan sekarang!' tantang Deya.
Arano mencondongkan wajahnya hingga bersisa beberapa centi saja dari Deya.
Sontak Deya menangkup seluruh wajah Arano. Lalu dia mendorongnya menjauh. "Apa ini cara yang kau maksud?"
Arano membalas dengan manggut-manggut. "Para gadis biasanya tergoda saat aku mendekati mereka dengan cara seperti ini. Itu artinya aku sudah pandai memikat hati wanita."
"Puftt", Deya tertawa mendengar ucapan Arano. Dia merasa bahwa sang adik sepupu begitu polos dalam mengartikan kata dewasa. "Sebaiknya kau fokus pada kuliahmu dulu. Jangan memikirkan hal yang lain", lanjut Deya menasehati. Lalu dia bangkit berdiri, dan berjalan menuju pintu kamarnya.
Sementara Arano masih bengong diposisinya duduk. Dia terus memikirkan apa diriinya benar-benar belum dewasa.
*-*
Di tempat berbeda, keluarga Devan tengah menjamu tamu yang datang tiba-tiba.
"Silakan dinikmati. Maaf, adanya cuma ini", ucap Dira dengan tersenyum canggung.
"Tidak perlu repot tante. Lagi pula kedatangan kami kemari hanya untuk mempererat tali silaturahmi", sahut Agni dengan tersenyum ramah.
"Selain cantik, ternyata kamu juga anak yang baik", puji Dira yang membuat senyuman di wajah Agni merekah.
"Tante terlalu memuji. Agni jadi malu", balas Agni dengan berpura-pura tersipu malu. Lalu netranya melirik ke arah Devan.
Namun sikap Devan sangat dingin. Dia bahkan tidak menganggap kehadiran Agni dan pamannya di sana.
Melihat sikap acuh Devan, Dira gegas menyenggol kaki Devan. Dia memberi isyarat pada putranya itu, agar mengucapkan sepata kata.
Pamannya Agni berdehem untuk mengisi kebisuan di antara mereka. "Ehem, ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada calon menantu saya", katanya dengan raut wajah serius.
Sontak Devan dan ibunya menoleh pada pamannya Agni.
"Katakan saja pak Givan. Kami siap mendengarnya", sahut Dira.
"Saya sedang membuat satu tender yang bernilai triliunan. Rencananya saya akan memberikan tender ini pada Devan, jika dia dan Agni melangsungkan pernikahan mereka."
Sontak Dira mendelik mendengar ucapan pamannya Agni. "Pak Givan serius?" tanyanya.
"Saya paling benci dengan orang yang ingkar janji. Jadi saya pun tidak akan pernah ingkar janji!" tegas pamannya Agni.
"Saya suka dengan prinsip paman", ucap Devan yang sedari tadi tidak membuka suaranya. "Tapi saya tidak bisa menerima penawaran itu! Saya juga mempunyai prinsip, bahwa saya akan mendapatkan tender atas usaha saya sendiri!"
Spontan pamannya Agni bertepuk tangan. "Bagus!" ucapnya dengan mengacungkan jempol. "Saya suka dengan prinsip kamu itu. Tapi apa yang saya berikan bukanlah sesuatu yang curang, itu hanyalah hadiah atas pernikahan kalian nanti."
"Tolong jangan paksa saya paman!" balas Devan dengan tatapan serius.
Meskipun pamannya Agni tidak senang mendengar ucapan Devan, namun dia tidak ingin menekannya. "Baiklah. Saya hormati prinsipmu itu! Kalau begitu kami pamit dulu", sahut pamannya Agni sembari bangkit berdiri.
Sontak Agni mendelik mendengar penuturan sang paman. Dia merasa tidak senang mendengarnya. "Paman", rengeknya seraya menatap sang paman dengan tatapan tidak senang.
"Kita masih punya banyak waktu. Lagi pula kalian berada di kampus yang sama, seharusnya kalian bisa menjalin hubungan yang lebih akrab di sana."
Mendengar jawaban sang paman, Agni tampak sangat kesal. Bagaimana bisa mahasiswi terlihat akrab dengan dekannya? Keluh Agni dalam batin.
"Ayo! Kita pulang sekarang!" titah pamannya Agni. Dia tampak tidak senang berlama-lama di sana.
"Apa tidak sebaiknya menunggu makan malam dulu pak?" bujuk ibunya Devan. Dia kuatir pamannya Agni benar-benar marah pada Devan.
"Tidak! Terimakasih bu!" tegas pamannya Agni. "Kami akan pulang sekarang", lanjutnya dengan ekspresi datar.
"Um, baiklah", balas Dira sembari menyenggol kaki Devan.
"Hati-hati di jalan paman", ucap Devan yang membuat Dira mendelik.
Dira tidak menginginkan ucapan itu yang keluar dari mulut Devan. Lalu dia pun berusaha meluruskannya. "Maksud anak saya, jangan sungkan untuk datang kembali pak. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk keluarga bapak", sela Dira dengan cepat.
"Terimakasih bu. Kami juga menunggu kedatangan keluarga ibu ke rumah kami" balas pamannya Agni.
"Baik pak."
"Kami pamit", ucap pamannya Agni seraya melirik Devan. Namun Devan tidak bereaksi.
"Bu, Agni pulang ya", ucap Agni manja.
"Ya, sayang. Sering-seringlah datang kemari."
Sontak Devan mendelik mendengar penuturan sang ibu. Sementara Agni tampak bahagia mendengarnya.
"Baik bu!" jawab Agni seraya berjalan mengikuti langkah sang paman.
Setelah kepergian Agni dan pamannya, Dira langsung menyampaikan keluhannya pada Devan. Selama hampir satu jam Dira memberikan nasehat pada putra semata wayangnya itu.
Aku harus segera mengetahui identitas Riya yang sebenarnya. Jika dia benar-benar Deya, aku akan mengejarnya kembali dan membawanya kepada mama, agar perjodohan ini dibatalkan. Ucap Devan dalam batin.
maaf baru sempat mampir.. lagi sibuk revisi soalnya