ig: nrz.kiya
Farel Aldebaran, cowok yang lebih suka hidup semaunya, tiba-tiba harus menggantikan posisi kakak kembarnya yang sudah meninggal untuk menikahi Yena Syakila Gunawan. Wanita yang sudah dijodohkan dengan kakaknya sejak bayi. Kalau ada yang bisa bikin Farel kaget dan bingung, ya inilah dia! Pernikahan yang enggak pernah dia inginkan, tapi terpaksa harus dijalani karena hukuman dari ayahnya.
Tapi, siapa sangka kalau pernikahan ini malah penuh dengan kekonyolan? Yuk, saksikan perjalanan mereka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur dzakiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Ajakan Bulan Madu
Setelah merasa cukup bosan bermain game, Farel akhirnya memutuskan untuk melirik tumpukan tugas yang masih menanti di mejanya. Ia mendesah panjang.
"Yah, kalau nggak gue selesain, nanti kena omel lagi," gumamnya. Dengan setengah hati, Farel mulai bekerja, dan seperti biasanya, saat ia serius, hasil kerjanya selalu memuaskan.
Tak terasa waktu berlalu, dan jam kerja akhirnya usai. Dengan wajah penuh semangat, Farel meninggalkan perusahaan tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Ia masuk ke mobil Ferrari merah kesayangannya, menyalakan mesin dengan suara yang menggelegar, lalu meluncur menuju kediaman Aldebaran.
Begitu sampai di rumah, Farel dengan gaya khasnya membuka pintu kamar secara kasar, membuat Yena yang sedang membaca buku di atas ranjang terlonjak kaget.
"Yena, istriku... I coooming!" serunya dengan gaya konyol, sengaja menyerupai tokoh dalam film.
Yena menatapnya dengan wajah kesal, tapi pipinya terlihat sedikit merona. "Farel, lo bisa nggak sih masuk kamar kayak orang normal? Lo bikin gue kaget tahu!" serunya sambil memelototi suaminya.
Farel hanya tertawa kecil sambil melepas dasinya yang sudah berantakan sejak pagi.
"Santai dong, Yen. Gue cuma mau bikin suasana nggak ngebosenin," ucapnya sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur di sebelah Yena.
Yena mendengus kesal, lalu kembali membaca bukunya. Tapi Farel, yang tidak bisa diam, mulai mengganggu lagi. Ia merebut buku dari tangan Yena dan membacanya dengan suara keras, seolah sedang narasi film dokumenter.
"Ini apa sih? Buku romansa? Wah, gawat, Yen, lo nggak boleh baca ini. Nanti lo kebawa suasana," katanya sambil tertawa.
Yena berusaha merebut bukunya kembali sambil mendesis, "Rel, kasih balik! Lo ganggu banget, tahu nggak?"
Farel hanya tertawa lebih keras sebelum akhirnya menyerah dan mengembalikan buku itu. "Santai, Yen. Gue cuma bercanda. Lagian, gue kangen aja gangguin lo. Tadi kerjaan banyak banget, tahu."
Mendengar nada serius di akhir kalimat Farel, Yena sedikit melunak. Tapi tetap saja, ia tak bisa membiarkan suaminya merasa terlalu menang.
"Kerja keras dikit bagus, Rel. Siapa tahu lo bisa jadi kayak Faris suatu hari nanti," ucapnya dengan nada setengah menggoda.
Farel mendadak diam, lalu menatap Yena dengan ekspresi pura-pura serius. "Kalau gue jadi kayak Faris, lo bakal bosen, tahu. Gue kan lebih seru, lebih keren, dan pastinya lebih ganteng."
Yena hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan tawanya.
"Lo ini memang nggak ada obat, Rel," gumamnya.
Mungkin karena lelah, Farel akhirnya memilih memejamkan matanya. Yena, yang duduk di sisi kasur, enggan mengganggu suaminya itu. Namun, tiba-tiba ia teringat ucapan ibu mertuanya tentang mengajak Farel bulan madu. Seketika wajahnya memanas, merah merona, dan jantungnya mulai berdebar kencang. Walau ia sudah membayangkan seperti apa respon Farel nanti, rasa gugup tetap menguasainya.
“Rel…” panggil Yena pelan, mencoba memberanikan diri.
Farel, yang belum sepenuhnya tertidur, langsung merespons dengan gumaman, “Hm?”
Yena menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan dengan suara hampir berbisik, “Bulan madu yuk.”
Mata Farel langsung terbuka lebar, kantuknya hilang seketika. Ia bangun dengan ekspresi heran yang berlebihan.
“Buset! Lo ngajak bulan madu kayak ngajak beli permen aja,” ujarnya histeris, membuat Yena otomatis menundukkan wajah karena malu.
“Bosan juga tau, di rumah aja. Lagian lo udah dikasih izin,” jawab Yena, mencoba terdengar santai meski pipinya masih memerah.
“Serius? Gua nggak usah kerja?” tanya Farel, setengah tak percaya.
“Bukan nggak kerja lagi, tapi dikasih izin aja. Nanti balik, ya kerja lagi lah,” balas Yena, sedikit kesal dengan cara Farel membesar-besarkan hal itu.
“Kirain gue beneran nggak kerja lagi… Tapi, Yen,” Farel menatap istrinya serius, “jangan bilang itu bulan madu, deh. Kedengerannya aneh.”
“Lah, terus apa dong? Bukannya emang bulan madu itu istilahnya buat pasangan yang baru nikah?” protes Yena dengan nada bingung.
“Iya sih, tapi tetep aja aneh di telinga gue. Bilang aja… liburan,” jawab Farel dengan santai, seolah memberi solusi besar.
Yena hanya mendengus kecil. “Baiklah, liburan. Mau nggak?”
“Mau banget! Gue? Nolak liburan? Itu bukan Farel namanya!” serunya dengan semangat. “Lo mau ke mana? Gua bawa lo ke mana aja bisa.”
Yena mengangkat alisnya, tersenyum tipis. “Serius? Keliling dunia gimana?”
Farel menepuk jidat sambil tertawa keras. “Bisa, sih. Tapi nggak sekarang. Tunggu duit gue bukan dari ayah lagi. Hahaha!”
Yena hanya bisa menatap Farel dengan heran sekaligus geli. "Lo tuh, ngaku-aku bisa, tapi ujung-ujungnya nunggu duit sendiri. Kenapa nggak bilang aja dari awal?" sindirnya sambil tersenyum kecil.
Farel menegakkan duduknya di kasur, lalu menatap Yena dengan gaya sok pamer. "Yen, gue ini orangnya jujur. Kalau gue bilang bisa, ya suatu hari gue pasti bisa. Tapi sekarang, gue emang masih anak bawang, jadi sabar dulu, ya."
Yena mendengus pelan, tapi dalam hati ia merasa sedikit terhibur. Meski Farel sering bertingkah konyol, setidaknya ia tidak mencoba menjadi orang lain.
"Ya udah, liburan yang deket-deket aja dulu. Bali gimana?" tanyanya, mencoba menyesuaikan ekspektasinya.
Farel langsung mengangguk penuh semangat. "Bali? Cocok banget tuh! Udah lama gue nggak ke sana. Siap-siap aja, Yen. Gue bakal bawain lo ke tempat-tempat yang seru. Tapi lo harus janji, jangan protes kalau gue bikin itinerary ala gue, ya."
Yena mengerutkan dahi. "Itinerary ala lo? Jangan bilang lo cuma mau main ke pantai terus nongkrong nggak jelas."
Farel tertawa. "Ya nggak lah! Gue bakal bikin seru kok. Tenang aja."
Yena hanya menghela napas panjang. "Gue rasa gue bakal banyak sabar kalau liburan sama lo."
Farel mengedipkan mata sambil tersenyum jahil. "Tenang aja, Yen. Liburan bareng gue itu bakal jadi pengalaman tak terlupakan. Ayo, sekarang kita bikin daftar tempat yang mau lo kunjungi!"
Yena akhirnya menyerah mengikuti semangat Farel. Meski tahu Farel sering bertingkah aneh, ia tetap penasaran dengan apa yang akan terjadi selama liburan mereka nanti.
"Oke, kita coba aja. Tapi lo jangan macem-macem, Rel."
Farel hanya menjawab dengan senyuman lebar, sementara dalam pikirannya ia sudah membayangkan petualangan seru yang bakal mereka alami di Bali.
Dan saat Farel melihat daftar yang Yena susun, ia membaca empat tempat yang tertulis di layar iPad: Labuan Bajo kita akan menikmati keindahan pulau dan snorkeling. Yogyakarta, mengunjungi Candi Borobudur, Malioboro, dan merasakan suasana budaya. Pulau Derawan, bersantai di pantai pasir putih dan melihat penyu. Dan terakhir. Puncak Wanagiri, sebagai destinasi kita yang terakhir untuk melihat matahari terbenam yang indah.
Farel mengangguk-angguk sambil membaca daftar itu. “Boleh juga. Kayaknya seru nih. Lo keren juga, Yen, nyusun yang begini.”
Yena tersenyum kecil, senang karena Farel setuju. “Kan gua udah bilang, semuanya worth it.”
“Kalau gitu, kita mulai dari mana? Labuan Bajo?” tanya Farel sambil mengusap dagunya, wajahnya menunjukkan antusiasme.
“Pastilah. Lo bakal takjub sama tempat itu, Rel,” jawab Yena, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Farel tertawa kecil. “Oke, gua serahin semuanya ke lo. Tapi gua cuma mau satu syarat...”
“Apa?”
“Lo nggak boleh lebih capek dari gua. Gua nggak mau urus'in lo ngeluh-ngeluh, ngerti?”
Yena hanya mendengus kesal, tapi diam-diam senyum tipisnya tersungging, menyadari bahwa Farel mulai menikmati ide liburan bersama ini.