Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu
Lita berjalan bolak-balik di ruang tengah rumah itu, menunggu Zafran yang pergi entah ke mana dengan gelisah. Ia berdecak berulangkali sesekali menggigit kukunya sendiri.
Ibu melirik dari kursi tempatnya duduk, lebih tenang dari Lita. Ia berpaling kembali pada majalah yang dibacanya, menggeleng heran melihat kepanikan sang calon menantu.
"Udahlah, nggak usah gelisah gitu. Zafran itu udah gede, nanti juga pulang sendiri," celetuknya santai.
Lita melirik, pintu rumah itu sengaja dibuka lebar-lebar agar dapat melihat mobil Zafran datang. Guntur beriringan dengan kilatan cahaya petir, menambah kacau keadaan. Ia membanting diri di sofa, memijit pelipisnya yang berdenyut.
"Tapi di luar hujan deras, Tante. Apa Tante nggak khawatir? Emang Mas Zafran sering pergi kayak gini, ya?" gumamnya lirih tanpa menoleh pada wanita tua yang sibuk dengan majalahnya.
"Hhmm ... biarin aja, nanti juga pulang. Yang penting dia nggak hujan-hujanan karena gampang sakit. Bisa repot kalo dia sakit, rewel sama manja," ucap Ibu tetap fokus pada lembaran kertas di hadapannya.
Lita terkejut, menoleh cepat pada sang calon mertua dengan mata sedikit membelalak. Ada rasa tak percaya dalam hati saat mendengar kenyataan tentang Zafran. Selama ini, laki-laki itu selalu terlihat segar dan sehat. Tak sekalipun terlihat sakit, paling-paling hanya lesu dan lelah karena pekerjaan yang menumpuk.
Ia menarik napas panjang, berharap semoga Zafran tidak berbuat nekad. Belum menjadi istrinya, sudah direpotkan oleh urusan sakit. Dia ingin menjadi nyonya, tanpa ingin direpotkan oleh hal apapun termasuk mengurus Zafran yang sakit.
"Kira-kira ke mana, ya, Tante, Mas Zafran perginya? Apa iya dia nyusul Seira? Aku jadi cemas. Aku takut Mas Zafran malah nggak jadi cerai sama dia. Terus gimana sama anak aku ini, Tante?" Lita memulai dramanya.
Ia tertunduk dengan kedua bahu berguncang, menangis lirih mencari perhatian. Ibu merasa tak tega, apalagi wanita itu sedang mengandung cucunya. Seperti yang dia ketahui, juga pernah dia alami wanita hamil tidak boleh banyak pikiran.
Diletakannya majalah tadi di atas meja, berbalik menghadap Lita yang menunduk dengan wajah tertutup tangan. Masih menangis, ataukah hanya berpura-pura saja?
Ibu menyentuh bahunya, mengusap dengan lembut menyalurkan ketenangan pada hatinya yang sedang gundah gulana.
"Udah tenang aja, Zafran nggak mungkin balik lagi sama perempuan mandul itu. Dia cuma ngerasa bertangungjawab aja sama dia karena yatim-piatu. Kamu tenang aja, ya. Kalo dia sampe nyakitin kamu, Tante yang akan kasih dia hukuman. Tenangin hati kamu, ibu hamil nggak boleh banyak pikiran," ucap Ibu menenangkan.
Lita mengangkat wajah, perlahan tangisnya mulai mereda. Betapa ia mengerti, dan tentunya dalam hati tertawa girang. Setidaknya, dia sudah mendapat dukungan dari sang calon mertua.
Pelan-pelan aja, Lita. Ambil hatinya, maka jalan yang akan kamu tempuh pasti mudah. Yah, sabar dan tenang.
Lita menyemangati dirinya sendiri, percaya saja pada wanita tua itu untuk saat ini. Lagipula, dia memang butuh dukungannya. Ia mengangguk patuh bagai seekor kucing di pangkuan sang majikan.
Ibu menarik tubuhnya ke dalam pelukan, perasaan menjadi seorang nenek telah dapat ia bayangkan. Suara anak kecil yang memanggilnya dengan sebutan nenek, telah mengiang di telinga.
"Jaga kesehatan kamu juga calon cucu Tante. Jangan sungkan minta ditemani kalo kamu mau periksa kandungan. Jangan pergi sendirian, Tante nggak mau kamu sama cucu Tante ini sampe kenapa-napa," ucap sang Ibu lagi sambil mengusap-usap perut Lita yang sedikit membesar.
Lita kembali mengangguk, ia harus patuh dan jadi gadis penurut untuk saat ini. Biarlah, setelah menikah nanti dia akan bebas melakukan apa saja sesuai keinginannya. Seolah-olah diingatkan, Lita beranjak dari pelukan.
"Oya, Tante. Mmm ... kapan Mas Zafran akan nikahin aku? Aku takut perut aku keburu besar dan pasti akan jadi gunjingan orang-orang. Tante juga pasti yang malu, 'kan?" tanya Lita gugup.
Ia menggigit bibir cemas, ini pun tengah menjejali pemikirannya. Alih-alih menikahi, ia takut Zafran justru hanya menginginkan anaknya saja tanpa peduli padanya.
"Udah kamu tenang aja, nanti Tante yang ngomong sama Zafran. Kamu tenang aja, ya. Malam ini, nginap aja di sini. Hujan kayaknya deras banget, pasti lama redanya," ucap Ibu yang tentu saja langsung diangguki Lita dengan senang.
Senyum sumringah tercetak jelas di wajahnya, pancaran kebahagiaan pun melekat erat di kedua maniknya yang berwarna coklat.
Mobil menderu di halaman, susah payah laki-laki itu kembali dalam keadaan kepala yang berat. Pandangan memudar, dan tubuh yang lemah tak bertenaga.
"Mas Zafran!"
Lita tersentak, gegas berdiri dan melangkah sambil mengusap pipinya. Setengah berlari menyambut laki-laki itu pulang, ia tak tahu saja jika Zafran tengah menahan sakit yang luar biasa di seluruh sendi tubuhnya.
"Mas!" panggil Lita tersenyum senang melihat Zafran yang datang sendiri tanpa wanita itu. Dia membawa dirinya ke teras, menunggu hingga laki-laki itu menapak di sana.
Zafran memeluk tubuhnya yang menggigil hebat, bibirnya membiru dan gemetaran, terdengar gemeratak gigi yang cukup nyaring. Dia sakit.
"Mas! Mas nggak apa-apa?" sambar Lita sambil membantu Zafran melangkah memasuki rumah.
"Di-dingin! Kepala aku ... pusing." Zafran melirih.
Perhatian Seira yang dibutuhkannya saat ini, wanita itu akan sigap mengurangi rasa dingin pada tubuhnya. Mulai dari menyiapkan air hangat, sampai membantunya menggosok tubuh.
"S-sei, a-aku mau berendam air hangat," pinta Zafran disaat mereka baru saja tiba di ruang tengah.
Lita terdiam, tak salah telinganya mendengar laki-laki itu menyebut nama Seira. Kesal, bukannya sedih. Amarah bergejolak dalam dada, nyatanya laki-laki itu masih peduli dan masih menyimpan nama menjengkelkan itu di hatinya.
"Zafran! Astaga, anakku! Kenapa kamu nekad sampe kayak gini, sih?"
Ibu berhambur mendekat, raut panik tergambar jelas di wajahnya yang hampir keriput. Ia memapah putranya mendekati sofa, membantu Zafran duduk dan membuka pakaiannya yang basah.
"Lita, cepat kamu siapin air anget buat Zafran. Biasanya Seira suka ngelakuin itu," titahnya.
Tatapannya tajam tak ingin dibantah, Lita mendengus. Masih berdiri di sana dan enggan beranjak sedikit pun.
"Li-lita? Sei ke mana, Bu?"
Tanpa sadar ia mencari-cari keberadaan sang mantan istri. Hal itu semakin membuat muak perasaan Lita. Bagaimana mungkin dia lupa bahwa mereka sudah bercerai.
"Kalian udah cerai, dan sekarang Lita itu calon istri kamu." Ibu menoleh lagi pada Lita, wanita itu masih bergeming di sana.
"Lita, cepetan! Kamu mau Zafran tambah sakit?" bentaknya tidak main-main.
Lita kembali mendengus, dihentaknya kaki saat berbalik mendatangi kamar Zafran. Atas petunjuk Ibu mudah saja baginya menemukan ruangan yang sebentar lagi akan menjadi miliknya itu.
Tak butuh waktu lama, ia kembali turun dan membantu Zafran mendatangi kamarnya.
"Lita, kenapa kamu di sini? Ke mana Seira?" Lagi-lagi pertanyaan tanpa sadar itu terlontar dari mulutnya.
"Mas, kenapa masih ingat-ingat dia, sih? Ingat, Mas. Aku ini lagi hamil anak kamu, aku nggak suka kamu ingat dia terus," ketus Lita sambil melepas tangan yang membantu Zafran.
Laki-laki itu termangu, entah kenapa hanya ada Seira di dalam ingatannya. Yang dia tahu, Seira yang selalu sigap menyiapkan segalanya disaat keadaan sedang tidak baik seperti sekarang ini.
Tak ingin berlama-lama, Lita kembali memapah Zafran memasuki kamarnya. Tanpa segan membuka setiap helai pakaian yang melekat di tubuh laki-laki itu, serta membantunya berendam.
"Sei, di mana wedang jahenya? Biasanya kamu antar ke sini. Bukannya kamu bilang wedang bisa bikin badan kita anget? Kenapa sekarang nggak ada?" Suara parau Zafran kembali mengoyak perasaan Lita.
Ia yang jengah, beranjak dan pergi meninggalkan Zafran sendirian.
"Seira!"