Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di pantai
Tibalah hari dimana Yaya dan Andrian akan pergi berbulan madu. Namun Yaya tidak bersemangat sama sekali. Itu karena semua anggota keluarga Andrian yang turut serta. Begitu pula Tania dan Marissa.
"Mas, kenapa Tania harus ikut kami sih? Ibunya 'kan ada," ujar Yaya saat melihat Tania yang ada di gendongan Andrian.
"Tania mau ikut Om Yan," ucap Tania tiba-tiba dengan sorot mata tidak suka dan bibir mengerucut. Padahal Yaya tipe perempuan yang suka dengan anak-anak kecil. Bahkan sebelumnya ia pun begitu menyukai bocah perempuan itu yang memang tampak menggemaskan. Namun entah makin kemari, Yaya justru kehilangan respek padanya. Apalagi Tania selalu saja menempeli Andrian membuat Yaya jengah.
"Tania maunya sama aku, Yang. Ya nggak papa lah. Anggap aja latihan jadi papa." Andrian menjawab santai. Ia tidak begitu memikirkan Yaya yang tidak menyukai sikapnya itu.
"Tapi Mas ... "
"Om, mau es kim," seru Tania tiba-tiba saat melihat pedagang es krim yang baru saja datang ke pantai dimana mereka berada sekarang.
"Tania mau es krim? Ayo!" ajak Andrian sambil melangkah panjang menuju penjual es krim. Yaya mendengus sambil menatap sebal pada keduanya.
"Hai," sapa seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping Yaya.
"Ya," jawab Yaya singkat.
"Maafin Tania, ya. Karena udah terlalu nempel sama Rian. Sebenarnya aku udah bilang ke Tania supaya nggak terlalu nempel ke Rian lagi. Tapi ... namanya juga anak kecil jadi ya percuma aja. Dikasi tau, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri." Perempuan yang tak lain adalah Marissa itu berucap sambil berseloroh. Ia terkekeh sendiri, berbeda dengan Yaya yang menatapnya dalam diam. "Nggak lucu ya?" Marissa menatap Yaya yang hanya diam. "Kamu beneran marah? Ya ampun, jangan marah ya! Beneran deh, aku dah bilangin Tania supaya nggak terlalu nempel sama I--- eh maksudnya Rian lagi. Tapi masih aja. Mau marah, aku nggak bisa. Kamu belum jadi seorang ibu, jadi nggak akan tau bagaimana perasaanku saat liat anakku merasa bahagia dengan seseorang yang memperlakukannya seperti anak sendiri. Ayahnya nggak peduli. Dia nggak tau bagaimana kasih sayang seorang ayah. Hanya Rian yang bisa memahaminya. Dia begitu bahagia. Entah bagaimana sedihnya Tania bila dia benar-benar dijauhkan dari Rian. Sungguh, aku nggak bermaksud macam-macam. Aku harap kau mengerti," ujar Marissa serak.
"Mbak, aku sudah mencoba untuk mengerti, tapi haruskah terus-terusan seperti ini? Bahkan sampai sekarang aku belum memiliki quality time berdua dengan Mas Rian. Dia selalu sibuk dengan kalian. Tania, Tania, dan Tania. Pagi, siang, sore, malam, selalu Tania. Mbak sebagai perempuan, apa nggak bisa mikirin perasaan aku. Sedikit saja?" ucap Yaya dengan suara sedikit menggebu. "Kami baru menikah, Mbak. Tapi kalian selalu mendominasi Mas Rian," imbuhnya lagi dengan mata memerah.
Marissa tiba-tiba terisak. Yaya tidak suka ini. Ia paling tidak bisa melihat orang lain bersedih. Lalu kini ia membuat orang lain menangis. Rasanya ia ingin menangis juga. Tapi ia tahan rasa itu.
"Rissa, ada apa?" tanya Andrian yang baru kembali dari membeli es krim. Ia menatap Yaya dengan sorot tak terbaca.
"Yan, sini, kembalikan Tania." Marissa meraih Tania ke dalam gendongannya.
"Tania macih mau cama Om Yan," ucap Tania.
"Nggak, Nak. Mulai sekarang kamu harus belajar tanpa ada Om Rian lagi. Om Rian sudah menikah. Tante Yaya benar, tidak seharusnya kita seperti ini. Maafkan kami, Yaya, Rian. Maaf sudah merepotkan kalian. Kami pulang dulu. Permisi." Marissa berucap serak kemudian berbalik.
Andrian bingung. Ia menatap kesal pada Yaya. Ia menduga pasti Yaya sudah melakukan sesuatu pada Marissa hingga ia mengatakan itu.
"Sa, kau mau kemana? Kita pergi bersama, pulang pun harus sama-sama," sergah Andrian.
"Ada apa ini?" Ellena mendekat pada keduanya.
"Nggak, Yan. Aku nggak mau merusak hari bahagia kalian. Kalian baru menikah. Sudah seharusnya kalian menghabiskan waktu berdua tanpa ada aku dan Tania. Maaf kalau kehadiranku merusak waktu kalian berdua."
Ellena yang mendengar itu sontak memicingkan matanya pada Yaya.
"Apa ini ulahmu? Iya? Hei, kau itu baru masuk ke dalam keluarga kami. Apa hakmu melarang Tania dan Marissa dekat dengan Andrian? Marissa bahkan sudah mengenal Andrian jauh sebelum kau hadir. Dan kau yang baru datang, dengan soknya ingin melarang Tania dan Marissa dekat dengan Andrian. Seharusnya kau sadar, jangan berbuat sesuka hati seperti ini," sentak Ellena pada Yaya membuat jantung Yaya seketika bergemuruh.
"Jangan-jangan dia cemburu pada Marissa? Cih, menjijikan. Kalau mereka memiliki hubungan, seharusnya sudah sejak lama mereka bersama. Otakmu terlalu kotor tidak bisa melihat kalau Rian itu memang baik." Nurlela ikut angkat suara.
"Yaya, benar seperti itu? Kau cemburu dan meminta Marissa menjauh dengan alasan Tania yang terlalu dekat denganku?" ucap Andrian sambil menatap tajam Yaya.
"Mas, aku hanya menyampaikan faktanya. Kita baru menikah, tapi waktumu selalu didominasi oleh mereka. Apa salah aku sebagai seorang istri menyampaikan keluh kesah ku? Dia juga perempuan, seharusnya ia paling mengerti perasaanku. Tapi kenapa kau justru marah-marah? Aku hanya melakukan apa yang memang sudah menjadi hakku."
"Hak? Kau tau, aku paling benci orang yang sok ikut campur dengan urusanku. Lihat sekarang, Marissa dan Tania pergi. Mereka tidak mengenal siapa-siapa di sini. Dan kau dengan begitu teganya mengatakan itu? Tidak bisakah kau tidak terlalu berpikiran macam-macam. Toh aku melakukan itu karena murni rasa sayangku pada Tania. Kau benar-benar mengecewakan, Mas, Ya," desis Andrian kesal. Lalu ia pun ikut berbalik pergi dan berlari mengejar Marissa yang sepertinya hendak menghentikan taksi. Saat Marissa masuk ke dalam taksi, tanpa Yaya duga, Andrian pun ikut masuk ke dalamnya. Semakin tebal rasa kecewa itu.
Hatinya sampai membatin. 'Apakah pernikahan memang semenyakitkan ini?'
Taksi yang membawa Marissa, Tania, dan Andrian akhirnya meninggalkan area pantai yang saat itu terlihat ramai. Tinggallah Yaya, ibu mertua, dan iparnya.
Ellena tersenyum sinis. "Ditinggal ya? Kasian. Rasakan itu. Makanya jangan sok ikut campur urusan orang. Jadi ditinggal kan," ejeknya tanpa memedulikan perasaan Yaya sama sekali.
"Sayang, udah. Nggak boleh begitu," sergah suami Ellena.
"Biarin aja, Mas. Sebel banget aku sama dia. Mentang udah nikah sama Rian jadi sok ngatur segala."
"Ya udah, Ell, lebih baik kita pulang. Mama udah nggak mood liburan lagi. Oh, ya, papa mana?" Nurlela celingak-celinguk mencari sang suami. Saat melihat sang suami sedang memperhatikan para bule berbikini di tepi pantai, ia pun segera melangkah panjang ke arah suaminya. Lalu ia menyeret tangan suaminya, mencari taksi yang akan mengantarkan mereka ke hotel tempat mereka menginap.
Semua orang sudah pulang. Tinggallah kini Yaya seorang diri di sana. Perlahan, air mata Yaya jatuh berderai. Hatinya begitu sakit sampai-sampai ia menangis sesenggukan.
Plukkk ...
Tiba-tiba saja sebuah bola voli mendarat di kepalanya. Sontak saja Yaya terkejut bukan main. Ia pun menoleh ke arah belakang yang di saat bersamaan ada seorang pemuda yang berlari mendekat ke arahnya.
"Aduh, Mbak, maaf. Aku nggak sengaja tadi," ujar pemuda itu seraya meringis.
"Bro, dia nangis tuh! Tanggung jawab loe!" bisik teman pemuda itu membuat pemuda itu semakin merasa bersalah.
"Mbak, mbak, aduh, kok jadi semakin nangis ni! Gimana ini?" pemuda itu panik. "Duh, Mbak, suwer tekewer-kewer, aku nggak sengaja. Apa ada yang luka? Sini, aku periksa deh. Aku calon dokter kok, Mbak. Tenang aja. Mbak pasti sembuh di tangan aku," ujar pemuda itu.
"Sakit," ujar Yaya.
"Hei, Bro, dia beneran sakit."
"Sa-sakit beneran. Yuk, sini, aku periksa dulu."
Pemuda itu menatap kepala Yaya yang berbalut hijab. "Tapi itu ... jilbabnya mesti dibuka dulu biar aku bisa periksa," ujarnya.
Yaya menggeleng. "Kepala aku nggak sakit." Jelas saja jawaban Yaya membuat ketiga pemuda itu melongo. "Tapi yang sakit di sini " Yaya menunjuk dada kirinya jelas saja ketiga pemuda itu semakin melongo. Yang terkena bola 'kan area kepala, tapi kenapa dada yang sakit?
Belum sempat pemuda itu meminta penjelasan, Yaya sudah membalikkan badannya terlebih dahulu lalu pergi dari hadapan ketiga orang itu.
"Eh, mbak, mbak mau ke mana, hei? Katanya tadi sakit?"
Yaya tidak memedulikan pertanyaan pemuda itu. Atau lebih tepatnya, tidak mendengar karena otaknya sedang gaduh atas rasa kecewa yang Andrian torehkan.
Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung. Beneran deh.
"Kayaknya dia sedang patah hati deh, makanya nangis kejer kayak gitu," celetuk salah satu temannya.
"Kayaknya sih. Kasian ya. Cantik-cantik tapi disakitin. Kalau gue yang jadi pasangannya, sumpah deh, bakal gue sayang-sayang terus," cetus pemuda itu membuat kedua temannya terkekeh.
"Mimpi kali ye."
"Nggak papa sekarang mimpi, siapa tau suatu hari nanti jadi kenyataan," sahut pemuda itu yang dibalas gelak tawa oleh teman-temannya.
"Dah yuk, lanjut main voli lagi. Temen-temen dah pada nunggu tuh." Salah satu dari mereka meraih bola dan berlari menuju sekumpulan orang yang sepertinya sedang liburan sambil bermain voli pantai pantai. Pemuda itu pun ikut berlari. Tiba-tiba pemuda tadi menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ia tersenyum. Senyum yang penuh arti.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...