Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Senja menyapa dengan lembut, menyorot teras rumah keluarga Wasupati Wardhana. Adam, dengan senyum lebar, melangkah masuk bersama seorang pria.
Di sofa, di ruang tengah, tampak tuan Wasupati duduk bersama istrinya, nyonya Sukhana Dewi.
"Assalamualaikum, Tante, Om.” pria yang bersama Adam menyapa hangat.
“Subkhannallah,,,” nyonya Sukhana terbelalak melihat kedatangan tamunya. “Kamu Raffi, kan? Ya Allah,,, lama sekali kamu tidak main ke sini. Kemana saja kamu?” Sambil mengusap pundak Raffi, nyonya Sukhana terus saja melontarkan pertanyaan.
Ina yang baru keluar dari dapur, hampir tersedak. Itu sopir taksi yang dikenalnya. Matanya membulat, mencoba mencerna kenyataan. "Itu kan pak sopir waktu itu… kok bisa ada di sini?" pikirnya.
“Loh, Anda kan,,,?” Raffi sendiri juga terkejut melihat keberadaan Ina di sana.
“Sini, Queen!” seru Adam melihat ina yang terpaku. Ditariknya tangan adiknya agar mendekat. “Ini Mas Raffi, yang waktu itu fotonya kamu lihat di hape Mas. Jangan bilang kamu lupa sama mas Raffi. Kamu loh yang dulu selalu ngerepotin Mas Raffi, kalau kita lagi main bareng.”
Raffi dan Ina saling pandang dalam diam. Ina tidak menyangka, sopir taksi yang menolongnya itu adalah Mas Raffi. Raffi sendiri juga tidak menyangka, jika wanita yang pernah ditolong dan pernah menolong putrinya adalah Quina, gadis kecilnya yang dulu centil dan cengeng.
"Kamu kenapa, queen?" Adam yang melihat Ina terdiam, mendekat. "Ada yang salah?" Adam juga menoleh ke arah Raffi yang sama diamnya.
"Mas Raffi… dia… dia sopir taksi yang pernah nolongin aku di Surabaya," Ina akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu, suaranya bergetar.
Seketika, suasana di teras menjadi hening. Tuan Wasupati dan nyonya Sukhana menatap Ina dan Raffi dengan heran.
Adam, dengan wajah penuh tanda tanya, menatap Raffi. "Sopir taksi?" tanyanya pelan. Adam menatap Ina dan Raffi bergantian.
Kemudian mengalirlah cerita Ina ketika dirinya nekat pergi ke Surabaya dengan menggunakan bus umum untuk mencari suaminya. Tentang bagaimana dia menemukan Ranu di rumah Siska, dan juga bagaimana akhirnya dia pulang membawa luka, saat mengetahui suaminya telah menikah lagi.
Wajah Tuan Wasupati memerah, urat-urat di lehernya menegang. Tangannya mengepal erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia mendengarkan cerita Ina, awalnya iba, namun berubah menjadi kemarahan membara. Bayangan Ina yang terlunta-lunta, mencari suaminya, lalu bertemu kenyataan pahit—suaminya telah menikah lagi—membuatnya sesak.
Kecewa dan marah bercampur aduk. Ia membayangkan penderitaan Ina. Amarah itu ditujukan kepada menantunya dan dirinya sendiri karena gagal melindungi putrinya. Andaikan saat itu dia tidak melepaskan Ina begitu saja,,, Ia menahan diri, tetapi api amarah masih menyala, menunggu waktu untuk meletus. Ia berjanji akan ada perhitungan atas semua ini.
Beberapa saat kemudian, suasana di ruang tengah kembali mencair. Adam menatap Raffi dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Ia ingin mendengar cerita Raffi tentang kejadian di Surabaya.
"Cerita dong, Raffi. Kok bisa jadi sopir taksi?" Adam bertanya dengan penasaran.
Raffi tersenyum, tidak tahu harus menjawab apa.
Ina pun menatap Raffi, "Cerita dong Mas. Aku juga penasaran," Ada rasa canggung setelah tahu siapa Raffi. Tapi rasa ingin tahu lebih menggebu.
Raffi menatap Ina dengan mata perasaan yang dia sendiri tidak tahu. Apa yang bisa dia ceritakan? Karena sebenarnya dia memang bukan sopir taksi. Hari itu dia hanya ingin healing sejenak dari segala kepenatan. Tiba-tiba saja dia ingin sekedar berjalan-jalan menggunakan salah satu armada milik nya. Dia juga tidak menyangka jika pada saat itu mobil taksi yang dia kendarai mendapat orderan.
Mendapati Ina sebagai penumpangnya hari itu, dia juga tidak tahu kenapa, dia merasa ada sesuatu yang lain dalam jiwanya. Dia yang saat itu tidak mengenali bahwa wanita yang ditolongnya adalah Quina, adik dari Adam, gadis kecil yang dulu sering digendongnya. Dia tidak tahu kenapa hatinya seperti ditarik untuk memberikan perlindungan.
"Ibu,,,,!” Andri yang berseru sambil berjalan cepat menuruni tangga membuyarkan ketegangan. Andri yang melihat ternyata ada orang asing di sana menghentikan langkahnya.
Ina menatapnya dengan senyum hangat. "Andri, sini sayang. Kenalan sama Om Raffi," katanya sambil melambaikan tangan agar putranya mendekat.
Andri melangkah ragu-ragu, namun Ina menariknya sedikit. "Ayo, sayang. Bersalaman," perintahnya lembut.
Dengan wajah sedikit canggung, Andri mengulurkan tangannya. “Hallo, Om!” sapanya.
Yang mengejutkan Ina, Raffi menyambutnya dengan senyuman lebar dan berjabat tangan dengan hangat. "Hai, Andri! Senang bertemu denganmu," ucap Raffi, suaranya penuh semangat.
"Aku juga senang ketemu Om Raffi," jawab Andri, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ina merasa lega melihat interaksi itu.
Ina tidak menyangka Andri bisa begitu cepat akrab dengan Raffi. Biasanya, Andri sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang baru, tetapi kali ini, dia tampak lebih nyaman. Ina juga melihat, Raffi berusaha mengajak Andri ngobrol lebih jauh.
"Andri sekolah di mana?" tanyanya dengan nada ramah.
Andri terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian menjawab, "Aku sekolah di SD Harapan."
“Wahhh, SD Harapan, ya?” Raffi tersenyum lebar. menunjukkan ketertarikan yang tulus. Andri mengangguk, matanya mulai berbinar menjawab semua pertanyaan Om Raffi.
Ina memperhatikan bagaimana Raffi berinteraksi dengan Andri. Raffi mendengarkan dengan seksama, sesekali memberi pujian. Hal itu membuat Andri tampak lebih percaya diri dan bersemangat menjelaskan lebih banyak tentang sekolahnya.
Ada yang berdenyut di dadanya. Bahkan saat bersama ayahnya saja, Andri tak pernah seantusias itu bercerita. Mungkin juga karena Ranu yang tak pernah mengakrabkan diri dengan anaknya.
“Oh iya, aku dengar anakmu juga kamu pindahkan ke sini sekolahnya, Raf? Di sekolah mana?” tanya Adam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi mereka.
“Oh iya, Rara kan sekolah di tempat Andri juga!” Seru Ina yang seketika mengingat pertemuannya dengan Rara.
Raffi terkejut mendengar ucapan ina. "Oh, iya, benar. Ya ampun Aku hampir lupa” ekspresi wajahnya berubah antusias.
Ina pun menceritakan pertemuan dengan Rara di sekolah Andri. Dan bagaimana gadis kecil itu memanggilnya ‘Mama’
Raffi tersenyum, tapi matanya menyimpan kepiluan. Mungkin hanya dia yang tahu kenapa Rara memanggil Ina dengan sebutan Mama
"Dia sangat ceria. Aku merasa dia punya energi yang positif," Ina melanjutkan, wajahnya berseri-seri. Tapi sejenak ia ragu, bibirnya sedikit terkatup.
Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tentang wanita yang bersama Rara—wanita yang dipanggil Rara sebagai Tante. Namun, Ina mengurungkan niatnya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan keinginan untuk menceritakan kekhawatirannya. Bukannya ia tidak peduli, tapi ia takut penilaian orang lain, takut dianggap ikut campur.
Raffi memperhatikan Ina dengan seksama, menyadari adanya keraguan dalam diri Ina. "Ada lagi yang ingin kamu ceritakan, Na?" tanyanya lembut, mencoba memberikan ruang bagi Ina untuk berbicara.
Ina menggeleng pelan, senyumnya sedikit memudar. "Tidak, Mas. Tidak ada apa-apa," jawabnya, suaranya sedikit teredam. Ia memilih untuk menyimpan kekhawatirannya dalam hati, mengharapkan yang terbaik untuk Rara.
***
Hari telah larut. Ranu duduk di sofa ruang tamu dengan gelisah. Sudah hampir dini hari, tapi Siska belum juga pulang. Kemana wanita itu pergi?
“Dia sudah semakin keterlaluan!” Ranu mengusap wajahnya dengan kasar, frustasi dan marah bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa tak berdaya menghadapi situasi ini, namun berusaha keras untuk tetap tenang. Mengepalkan tangannya, kemarahannya bukan hanya ditujukan pada orang lain, tetapi juga pada dirinya sendiri. Da menyesali kebodohannya dan merasa bodoh karena telah salah membuat pilihan.
Byarrr…
Ranu terjaga dari tidurnya di atas sofa, saat mendengar suara pintu terbuka. Menggosok dua matanya dengan punggung tangan, tampak olehnya Siska terhuyung masuk, aroma alkohol dan parfum asing memenuhi ruangan.
Ranu terpaku di tempatnya, seakan-akan dunia berhenti berputar. Aroma parfum pria bercampur dengan aroma nista, aroma bekas percintaan, menghantamnya seperti gelombang besar. Ia merasakan sebuah pengkhianatan yang begitu menyakitkan. Kemana, dengan siapa istrinya seharian tadi hingga hampir pagi ini,,,,
bantu doa semoga lekas mendapatkan pendonor yg cocok