Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketulusan dibalik Sifat Dingin
Di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang, suasana terasa canggung. Rara duduk diam di kursinya, memandang ke luar jendela tanpa ekspresi. Arga, yang duduk di sebelahnya, sibuk dengan tabletnya, meneliti dokumen penting yang harus ia bahas dalam rapat nanti siang. Di kursi depan, Nanda mencoba mencairkan suasana yang beku.
“Nyonya mau langsung ke rumah atau mampir dulu ke tempat lain?” tanya Nanda sambil melirik ke arah kaca spion, berharap mendapatkan jawaban yang lebih dari sekadar singkat.
“Aku langsung pulang saja,” jawab Rara datar, tanpa sedikit pun menoleh.
Nanda mengangguk pelan, lalu menghela napas. Ia bisa merasakan ketegangan di antara pasangan itu. Namun, Arga tetap tenggelam dalam dokumennya, seolah dunia di sekitarnya tidak ada.
Setibanya di depan rumah, Rara akhirnya membuka mulut, nadanya tenang namun terdengar menusuk. “Kalau aku pulang ke rumah, malam ini kamu akan ada di rumah atau sibuk dengan duniamu?”
Arga, yang terlalu fokus pada tabletnya, tidak mendengar pertanyaan itu. Hal ini membuat Rara semakin kesal. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membuka pintu mobil dengan cepat dan menghempaskannya kuat-kuat saat keluar. Suara pintu yang keras itu membuat Arga dan Nanda terkejut.
Arga menoleh ke arah Rara yang sudah berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang. “Ada apa dengannya?” tanya Arga dengan nada bingung.
Nanda memutar kursi untuk menatap Arga, lalu menggelengkan kepala. “Ke depannya, jangan terlalu sibuk bekerja di hadapan Nyonya. Kau terlalu fokus hingga orang di sekelilingmu kau acuhkan Ga. Itu menyakitkan.”
Arga terdiam. Ia menyadari ucapan nanda benar, tapi tetap sulit baginya untuk melepaskan tanggung jawab yang begitu banyak.
“Dia istrimu, Ga. Sesibuk apa pun kau, jangan lupa untuk tetap jadi suami yang dia butuhkan. Kalau terus seperti ini, Rara hanya akan merasa terabaikan,” tambah Nanda dengan nada serius.
Arga menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Aku tahu. Aku hanya… tidak tahu bagaimana membagi semuanya.”Arga menghela napas berat sambil menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. Ia meletakkan tabletnya di samping, merasa sedikit bersalah setelah mendengar komentar Nanda.
“Aku nggak bermaksud mengacuhkannya. Aku cuma…” Arga menghentikan ucapannya, menatap rumah megah di depannya dengan tatapan kosong.
“Kau cuma apa, Ga?” tanya Nanda sambil memutar kemudi untuk memarkir mobil di garasi.
Arga terdiam sejenak, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Aku cuma nggak tahu gimana caranya menyeimbangkan semuanya. Bisnis, dunia gelapku, dan… Rara. Dia mulai tahu terlalu banyak. Aku khawatir, Nanda.”
Nanda tersenyum tipis, memahami kekhawatiran majikannya itu. “Rara istrimu, Ga. Dia lebih kuat dari yang kau kira. Mungkin dia hanya butuh perhatianmu lebih, bukan perlindungan yang kamu bungkus dengan sikap dingin.”
Arga menatap Nanda dengan tatapan penuh pertimbangan. “Kau benar. Aku terlalu sering melindunginya dengan caraku sendiri, tanpa memikirkan apa yang dia rasakan.”
Nanda mengangguk pelan, mencoba memberikan semangat. “Cobalah berbicara dengannya nanti malam. Tapi, jangan terlalu keras kepala. Dengarkan dia.”
Arga mengangguk, lalu mengambil tabletnya kembali. “Kita lihat nanti. Sekarang, antar aku ke kantor. Masih banyak yang harus dibereskan sebelum malam.”
Nanda menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil. “Kamu memang keras kepala, Ga. Tapi setidaknya kali ini kau dengar saranku.”
Mobil pun melaju meninggalkan kediaman mereka. Sementara itu, di dalam rumah, Rara duduk di ruang tengah, menatap jendela dengan perasaan yang tak menentu. Dalam hatinya, ia berharap Arga bisa sedikit memahami kegelisahannya.
Di kamar, Rara dengan hati-hati menggantungkan setelan jas cokelat susu yang tadi ia beli untuk Arga di mall. Ia memandanginya sejenak sambil berbicara kepada dirinya sendiri, “Nanti malam kalau dia pulang, baru aku kasih. Tapi kalau nggak pulang, aku buang baju ini ke tong sampah!” Meski ucapannya bernada kesal, ada secercah harapan di dalam nada suaranya.
Setelah selesai merapikan barang belanjaannya, Rara turun ke taman untuk menikmati udara segar. Tidak lama, Bibi Sari mendekatinya dengan senyum lebar.
“Nyonya! Nyonya sudah pulang,” ucap Bibi penuh kegembiraan.
“Iya, Bi. Aku nggak mungkin terlalu lama tinggal di rumah Ibu Amira,” jawab Rara, tersenyum tipis.
“Syukurlah, Nyonya. Nyonya tahu nggak? Tuan semalaman sangat gelisah karena Nyonya nggak pulang. Tapi dia nggak mau menjemput karena katanya Nyonya pasti butuh waktu sendiri,” ucap Bibi penuh semangat.
Rara terdiam mendengar cerita itu. Hatinya mulai bertanya-tanya, apakah benar Arga memahami dirinya lebih dari yang ia duga?
“Tapi tadi pagi aku sudah ketemu Arga, Bi,” ucap Rara mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bibi Sari tertawa kecil. “Duh, Nyonya. Kalau Nyonya tahu saja… tadi pagi, Tuan nggak henti-hentinya nanya keadaan Nyonya ke anak buahnya. Begitu mereka bilang Nyonya pergi ke mall, Tuan langsung berangkat jemput Nyonya, nggak mandi, nggak sarapan dulu!”
Rara tertegun mendengar penuturan itu. Perlahan, ia menyadari bahwa meski Arga terlihat dingin, perhatian pria itu nyata adanya.
“Bi, tolong siapin sarapan buat Arga, ya. Aku yang antar ke kantor. Sekalian bawa pakaian ganti untuk dia,” ucap Rara tiba-tiba penuh semangat. Ia pun berlari menaiki tangga menuju kamarnya untuk bersiap-siap.
Bibi Sari hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Tuan, saya hanya tambahkan sedikit bumbu di cerita tadi. Selanjutnya, tugas Tuan untuk bikin Nyonya nggak ngambek lagi,” gumam Bibi sambil tertawa kecil, merasa puas melihat perubahan suasana hati majikan perempuannya.