Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak perlu berpura-pura lagi
"Tenang saja, Tuan Muda Raelion," suara Amon memecah ketegangan, penuh percaya diri.
Raelion melirik tajam ke arah pria itu, tak suka pembicaraannya disela. "Apa maksud Anda, Sir Amon?" tanyanya, suaranya berlapis kecurigaan.
Amon tersenyum tipis, langkahnya tenang mendekati Kaivorn yang tampak bingung.
"Saat Anda kembali nanti..." kata Amon, matanya menatap Raelion penuh keyakinan.
Semua orang di tempat itu—ksatria keluarga Vraquos, Elandra, Selvara, Raelion, dan Kaivorn sendiri—menunjukkan ekspresi yang sama: kebingungan.
Amon, tanpa ragu, menepuk lembut kepala Kaivorn, tangannya dengan santai memainkan rambut putih anak bungsu keluarga Vraquos.
"Saya yakin, saat Anda pulang, kemampuan Tuan Kaivorn akan melampaui Anda." Suaranya tenang, tapi setiap kata seperti guntur di telinga mereka.
Tempat yang tadinya dipenuhi kebingungan berubah.
Ekspresi mereka semua—kecuali Raelion—berubah menjadi keterkejutan yang tak tersembunyikan.
Tatapan Raelion justru semakin tajam. "Apa maksud orang ini...?" pikirnya, giginya mengepal dalam kebisuan.
"Kemampuan Kaivorn melebihiku?" Batin Raelion terkejut, tetapi tidak menampakkan kelemahan.
Dia mengarahkan pandangannya pada adiknya yang terlihat tenang, mencari petunjuk dalam keheningan.
"Apa itu masuk akal?" pikir Raelion lagi, berusaha mencerna pernyataan Amon.
Keheningan semakin pekat, menekan atmosfer tempat. Semua menanti jawaban.
Akhirnya, Raelion menarik napas panjang, lalu berkata dengan datar, "Tentu saja... karena Anda yang melatihnya, bukan? 'The Swordmaster of the Holy God.'"
Mendengar ucapan Raelion, para ksatria Vraquos yang berada disana mengangguk setuju.
Gelar Amon adalah salah satu yang paling dihormati di kerajaan—bahkan di benua.
Namun Amon hanya tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala. "Itu memang salah satu alasannya, tapi bukan itu yang saya maksud."
Elandra, yang sedari tadi diam, angkat bicara dengan nada skeptis. "Lalu apa maksud Anda, Sir Amon?"
"Apa lagi?" Amon menoleh perlahan ke arah Elandra, matanya penuh keyakinan. "Kalau bukan karena Tuan Kaivorn yang jauh lebih berbakat dari Raelion," jawabnya tanpa ragu, senyum kecilnya tak pernah pudar.
Setelah Amon menyampaikan keyakinannya, keheningan mencekam tempat.
Namun kali ini, Raelion tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Raelion, kini semakin tegas, menatap langsung ke mata Amon. "Kemampuan? Jika memang ada, dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda itu. Kaivorn bahkan tidak pernah berhasil dalam latihan fisik biasa, apalagi seni pedang. Saya tahu, saya melihatnya sendiri."
Selvara, meskipun sering kecewa terhadap Kaivorn, menatap adiknya dengan rasa sayang yang mendalam.
Dia menarik napas, lalu melangkah mendekat, berdiri di antara Amon dan Kaivorn.
"Sir Amon," kata Selvara lembut, namun tetap berwibawa. "Saya tahu Anda melatih Kaivorn dan mungkin melihat sesuatu yang kami tidak lihat... tapi, Kaivorn adalah adikku. Saya sudah melihatnya tumbuh dan mencoba sekuat tenaga. Anda mungkin percaya dia berbakat, tapi selama ini, dia kesulitan." Ia menoleh pada Kaivorn, tatapannya melembut. "Saya hanya tidak ingin dia terluka oleh harapan yang terlalu tinggi."
Elandra berdiri diam, mendengarkan dengan penuh perhatian.
Meskipun kata-katanya tidak terucap, sorot matanya mengungkapkan sedikit harapan yang tersembunyi.
Sebagai seorang ibu, dia selalu menginginkan yang terbaik bagi Kaivorn, meskipun di depan keluarga ia lebih memilih untuk tetap tenang dan realistis.
Ada rasa keraguan, namun juga keinginan yang dalam agar Amon benar.
Tetapi, sebagai seorang bangsawan, ia tak bisa menunjukkan perasaannya secara terang-terangan.
"Kita semua ingin percaya, Sir Amon," akhirnya Elandra angkat bicara, suaranya tenang tapi tegas. "Namun, keyakinan tanpa bukti hanya akan menjadi beban yang lebih berat bagi Kaivorn. Kami sudah melihat begitu banyak kegagalan... mungkin itu sebabnya kami ragu."
Kaivorn yang sedari tadi diam, merasa semua tatapan tertuju padanya.
Ada rasa hangat yang ia rasakan dari kakak kedua dan ibunya, meskipun mereka tidak mengungkapkannya secara langsung.
Kaivorn menutup matanya, membuat seluruh pandangannya jadi gelap, "Sistem" panggilnya dalam hati.
[Saya disini, Tuan Rumah]
"Apa kau akan menghilang suatu saat nanti?" tanyanya dalam hati lagi.
[Tidak]
Senyuman tipis perlahan muncul di bibir Kaivorn, "Baguslah" pikirnya.
Kaivorn menegakkan tubuhnya, membuka matanya perlahan.
Mata merahnya yang merah berkilat, bukan dengan kemarahan, tetapi dengan ketenangan yang tak biasa bagi anak seusianya.
Ada sesuatu dalam cara dia berbicara—cara dia menyusun kalimat, pilihan kata-katanya—yang membuat semua orang di tempat itu, tanpa sadar, menahan napas.
"Aku tahu," kata Kaivorn, suaranya sangat stabil. "Selama ini, aku tidak pernah dianggap sebagai seseorang yang punya potensi. Kalian melihatku sebagai... mungkin, kelemahan dalam keluarga ini."
Dia berhenti sejenak, memberikan jeda yang tepat, seperti seseorang yang tahu betul bagaimana memegang kendali sebuah percakapan.
Raelion dan Selvara tetap diam, terkejut melihat adiknya berbicara dengan begitu terukur.
Kaivorn tidak berbicara seperti anak yang merasa tersudut.
Tidak ada nada marah, tidak ada penjelasan panjang.
Hanya pernyataan yang sederhana namun tak terbantahkan.
"Tapi yang kalian tidak tahu," lanjut Kaivorn, matanya kini mengarah pada Amon, "aku tidak pernah menganggap itu sebagai masalah. Selama ini, aku mendengarkan, mengamati, dan menunggu. Kalian mungkin menganggap aku lemah karena aku tidak memilih untuk menunjukkan apa yang kalian harapkan."
Tatapannya kini beralih ke Selvara, yang terlihat bingung antara keinginan untuk mendukung dan keraguan.
"Aku tahu, Kak Selvara," Kaivorn berkata lembut, "kau selalu menginginkan yang terbaik untukku. Aku bisa merasakannya dalam caramu memperlakukanku. Tapi aku tidak bisa menjadi seperti Raelion, dan mungkin, tidak pernah akan. Aku tidak dilahirkan untuk menjadi bayangan siapa pun."
Selvara tertegun mendengar kata-katanya. "Kaivorn selalu tampak pasif, bahkan tidak ambisius" Batinnya. "Apa yang sedang terjadi saat ini?"
Kaivorn kemudian memalingkan matanya ke Raelion, saudaranya yang selama ini tak pernah menunjukkan tanda-tanda kasih sayang, namun selalu menjadi standar yang tidak terucapkan.
"Raelion, kau benar. Aku tidak pernah berhasil dalam seni pedang seperti yang kau harapkan. Tapi apakah kau benar-benar percaya bahwa itu satu-satunya cara untuk menjadi kuat?" Sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya. "Ada banyak jalan menuju kekuatan. Hanya saja, aku memilih jalanku sendiri."
Sebuah desahan halus terdengar dari Elandra, meskipun dia mencoba menahannya.
Sebagai seorang ibu, mendengar putranya berbicara seperti ini menyulut api harapan dalam dirinya yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
Namun dia tahu, Kaivorn tidak butuh pujian sekarang.
Kaivorn kemudian menatap semua orang yang berada di sana. "Jadi, aku punya permintaan."
"Kalian tak perlu langsung percaya padaku." ucapnya ingin mengakhiri ucapannya yang panjang. "Tapi tolong, beri aku waktu. Biarkan aku menunjukkan pada kalian... dengan caraku."
Saat itu, meskipun tidak ada yang langsung menjawab, tidak ada yang bisa menolak ketenangan dan kejelasan dalam setiap kata yang diucapkan Kaivorn.
Kaivorn tersenyum, senyumnya terlihat sangat bahagia dan sangat tulus, seolah-olah sinar matahari baru saja menembus awan kelabu yang menyelimuti hidupnya.
Tatapan yang jarang dilihat oleh keluarganya, ada harapan yang berkilau, sebuah kilasan cahaya yang menggugah semangat.
Wajah tampannya berkilau, tampak jauh lebih memesona dalam momen ini.
Setelah 15 tahun.
Akhirnya...
Aku...
Tak perlu berpura-pura lagi.....