"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Pertemuan
Pagi terasa suram, tak ada yang menenangkan. Dengan enggan, Ryan bangkit, merasakan kelelahan yang masih menggantung di tubuhnya. Rumah yang biasanya terasa hangat kini terasa kosong, sepi. Ia turun ke dapur, melihat ibunya duduk terpaku pada layar ponsel.
"Selamat pagi, Bu," ucapnya pelan, nyaris tanpa harapan untuk mendapat balasan.
"Hmm," balas ibunya singkat, tidak sekali pun mengangkat kepala.
Ryan hanya mengambil sepotong roti, memasukkannya ke dalam tas. "Aku berangkat dulu," katanya, lalu pergi tanpa menunggu jawaban.
Di perjalanan menuju sekolah, ia mencoba menghapus bayangan mimpi buruk. Tapi suara tawa mereka, ejekan-ejekan yang melekat di pikirannya, terus menghantuinya. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang semakin menekan.
Di sekolah, keadaan tak banyak berubah. Suasana ramai, siswa-siswa lain bercanda dan tertawa, sementara Ryan merasa seperti hantu, tak dihiraukan oleh siapa pun. Saat tiba di kelas, matanya tertuju pada Hana. Gadis itu duduk dengan earphone di telinga, tenggelam dalam musiknya sendiri. Beberapa hari terakhir, mereka sudah saling mengenal, berbagi beberapa percakapan, tapi mimpi buruk semalam membuat perasaan Ryan campur aduk.
Hana menoleh sejenak dan tersenyum, mengangguk padanya. Ryan balas tersenyum tipis, meski hatinya masih penuh keraguan dan kegelisahan.
Bel istirahat berbunyi, dan Ryan segera keluar dari kelas, menuju taman belakang sekolah, mencari sedikit ketenangan. Namun, ia mendapati Hana sudah duduk di bangku favoritnya. Gadis itu terlihat tenang, pandangannya menatap langit. Melihatnya, Ryan merasa campuran antara lega dan cemas, mimpi semalam masih menyisakan luka.
"Hei, Ryan," sapa Hana, tersenyum hangat. "Kau mau duduk?"
Ryan berdiri canggung, lalu mengangguk perlahan. "Tentu… kalau tidak mengganggu."
"Tidak apa-apa," kata Hana sambil bergeser sedikit. "Aku hanya menikmati udara di sini."
Ryan duduk di ujung bangku, masih menunduk, berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun hening yang tercipta justru memberinya sedikit ketenangan.
"Kau suka tempat ini?" tanya Hana, memecah keheningan.
"Iya," jawab Ryan, masih dengan suara kecil. "Kadang-kadang, aku perlu tempat yang tenang."
Hana tersenyum, mengangguk pelan. "Aku juga. Membuat kita bisa berpikir lebih jernih, kan?"
Mendengar itu, Ryan menoleh, sedikit terkejut. "Kau juga suka menyendiri?"
"Kadang," Hana mengangguk lagi. "Apalagi kalau ingin mendengarkan musik tanpa gangguan."
Ryan merasa lebih nyaman. Mereka sudah pernah berbicara sebelumnya, dan Hana seolah mengerti kebutuhannya untuk diam atau bicara hanya ketika ia siap. "Tadi… musik apa yang kau dengarkan?" tanya Ryan akhirnya.
"Oh, ini?" Hana mengangkat earphone-nya, tersenyum kecil. "Instrumental piano. Aku suka yang menenangkan."
"Instrumental piano?" Ryan tertarik. "Aku juga suka."
Hana tampak senang. "Serius? Siapa pianis favoritmu?"
"Yiruma. Aku suka 'River Flows in You,'" kata Ryan sambil tersenyum tipis, sedikit lega menemukan topik yang membuatnya merasa lebih terhubung.
"Benar? Itu juga salah satu favoritku," sahut Hana, antusias. "Lagunya indah, ya?"
Ryan mengangguk. Mereka terus mengobrol, berbicara tentang musik dan hal-hal kecil yang membuat Ryan merasa sedikit terbuka. Perasaan nyaman itu mulai mengisi ruang kosong dalam dirinya, meski hanya sesaat.
Namun, kebahagiaan kecil itu segera dirusak. Di tengah percakapan, bayangan Rei dan Ivan muncul di kepalanya. Ketakutan itu tak bisa hilang.
'Bagaimana kalau mereka melihatku bersama Hana?' pikirnya cemas. Hana tak boleh terlibat. Ia tak ingin membiarkan siapapun menyakiti Hana seperti yang mereka lakukan padanya.
"Hana, aku…" kata-katanya terhenti.
"Ada apa?" Hana menatapnya, bingung.
Ryan menggeleng, mencoba tersenyum meski hati diliputi kecemasan. "Maaf… aku harus pergi," ucapnya sambil bangkit.
"Oh," Hana tampak kecewa, tapi ia hanya tersenyum tipis. "Sampai jumpa."
"Sampai jumpa," balas Ryan, langkahnya cepat meninggalkan tempat itu.
Saat masuk kembali ke gedung, jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaan tak menentu menghantui pikirannya. Ada sesuatu yang ia rasakan untuk Hana, sesuatu yang semakin besar, namun ia tahu apa yang mungkin terjadi jika Rei dan Ivan menyadarinya.
Dari ujung koridor, dua sosok itu memperhatikannya. Senyum mereka tampak sinis, tatapan mereka mengancam.
...----------------...
Ryan berjalan ke kantin dengan langkah hati-hati, kepala sedikit menunduk. Hari ini, ia hanya ingin lewat tanpa masalah. Ia memilih duduk di sudut paling sepi, berharap tidak ada yang memperhatikannya.
Namun, ketenangannya tak berlangsung lama. Dua orang yang baru ia lihat beberapa hari terakhir tiba-tiba datang dan duduk di depannya, wajah mereka tanpa ekspresi seolah kehadiran mereka adalah hal yang wajar. Ryan terdiam, merasa sedikit terganggu dengan keberanian mereka.
Pemuda pertama tampak mencolok dengan rambut abu-abu yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Sorot matanya kehijauan, dingin dan tajam, seolah sedang mengamati lebih dari yang terlihat. Dia memperkenalkan dirinya dengan nada tenang namun agak dingin. "Andre. Pindahan dari Desa Kalibiru, di selatan Jawa Tengah."
Di sebelahnya, seorang gadis dengan kulit lebih gelap dan rambut hitam yang diikat rapi duduk dengan tatapan kosong. Wajahnya tirus, dan ada kilatan dingin di matanya. "Senna," ujarnya singkat, suaranya datar. "Baru pindah dari Sorong, Papua."
Ryan hanya mengangguk singkat, enggan untuk terlibat dalam percakapan panjang. Ia merasa ada yang aneh dari cara mereka bertanya.
"Kami dengar, sekolah ini... punya hirarki sendiri," ujar Andre dengan nada santai tapi tajam.
Ryan mendesah pelan, merasa percakapan ini tak ada gunanya. Namun, ia menjawab singkat. "Kalau maksud kalian orang-orang berkuasa, ya... Rei dan Ivan dikenal di sini."
Senna tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Kau tampaknya tidak terlalu dekat dengan mereka."
Ryan hanya menatap kosong, tak berniat menjelaskan apapun. Saat bel berbunyi, ia langsung berdiri, merasa lega.
"Maaf, aku harus kembali ke kelas," katanya singkat, segera pergi tanpa menoleh lagi. Dua anak baru ini meninggalkan kesan yang aneh, tapi Ryan tak ingin terjebak dalam misteri baru yang bisa menarik perhatian yang tidak diinginkannya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂