Pahlawan Tanpa Bakat
Di masa awal terbentuknya dunia, sebelum kerajaan-kerajaan besar berdiri, dunia manusia terbelah dalam jurang kekacauan yang tak terbayangkan.
Kekuatan adalah satu-satunya hukum, dan segala sesuatu diatur oleh kehendak individu yang menguasai kekuatan besar yang tidak bisa dibayangkan orang biasa.
Bukan hanya kekuatan fisik yang memegang kendali—ada sihir yang mampu meruntuhkan gunung, necromancer yang mengendalikan legiun makhluk mati, ahli beladiri yang bisa menghancurkan tubuh manusia dengan satu sentuhan, serta senjata-senjata kuno yang dikatakan mampu membelah bumi.
Dunia ini adalah tempat di mana tidak ada hukum selain kekuatan, dan siapa yang memiliki kekuatan terbesar adalah penguasa.
Dari kegelapan yang tak terkendali ini, lahirlah seorang pria yang akan mengukir namanya dalam sejarah manusia, bukan sebagai seorang penguasa, tetapi sebagai legenda.
Dia di sebut sebagai Sword God, seorang pendekar pedang yang tak hanya mampu menaklukkan siapa pun yang berdiri di hadapannya, tetapi juga mampu melampaui batas-batas kekuatan yang dianggap tidak mungkin oleh umat manusia.
Dia adalah seseorang yang, dalam sejarah panjang peradaban manusia, tidak ada yang bisa menandingi.
Dunia pada masanya terbagi menjadi beberapa aliran kekuatan besar.
Setiap individu yang berjuang untuk kekuasaan biasanya memilih satu dari beberapa jalan kekuatan.
Sihir, yang memberikan kendali atas elemen-elemen alam semesta dan bisa menciptakan kehancuran dengan kekuatan pikiran.
Necromancy, yang memungkinkan penggunanya memanggil arwah dan menghidupkan kembali yang mati sebagai pasukan yang tak terkalahkan.
Pengguna tangan kosong, seni pertarungan tanpa senjata yang menggunakan kekuatan dalam tubuh untuk menghancurkan apapun yang disentuhnya.
Senjata, di mana para pengguna senjata legendaris bisa menaklukkan ribuan musuh hanya dengan satu ayunan.
Di tengah kekuatan-kekuatan luar biasa ini, Pedang dianggap sebagai jalan yang ketinggalan zaman.
Di dunia yang penuh dengan penyihir yang bisa menghancurkan kota dengan mantra, necromancer yang bisa menghidupkan kembali raja-raja yang telah mati untuk berperang di bawah komandonya, atau petarung tangan kosong yang bisa memecahkan gunung dengan tinju.
Pedang dianggap hanya sebagai alat sederhana, senjata bagi mereka yang tidak bisa menguasai sihir atau kekuatan lainnya.
Namun, Sword God membuktikan bahwa mereka semua salah.
Dia menghabiskan masa mudanya menjelajahi dunia, belajar dari berbagai aliran kekuatan.
Namun, dia tidak memilih sihir, necromancy, atau seni tangan kosong.
Dia menemukan sesuatu yang lebih dalam—esensi dari kekuatan sejati.
Bukan tentang sihir, bukan tentang kemampuan supernatural, tetapi tentang kehendak.
Kekuatan terbesar bukanlah kemampuan untuk mengendalikan elemen atau menghidupkan yang mati, tetapi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri sepenuhnya, untuk memfokuskan semua potensi ke dalam satu titik.
Dan di sanalah dia menemukan takdirnya.
Pedang.....
......................
Seorang pemuda tampan duduk sambil bersandar di sebuah pohon yang terletak pada taman yang sangat luas dan indah.
"Hebat sekali.." Gumamnya sambil menatap buku berjudul 'Sword God'.
Mata merahnya memancarkan kekaguman pada buku tersebut, rambut putih panjang miliknya terurai terkena hembusan angin lembut.
"Tuan muda Kaivorn, saatnya makan siang." Panggil wanita yang mengenakan sebuah pakaian seorang pelayan bangsawan.
Kaivorn menoleh ke arah orang yang memanggilnya. "Aku segera kesana" ujarnya seraya menutup buku di tangannya.
Dia berdiri lalu bergegas berlari menuju wanita yang memanggilnya.
Kaivorn melangkah ringan, rambut putihnya melambai seiring dengan angin yang lembut menerpa wajahnya.
Setiap gerakan tubuhnya tampak anggun, meski usianya masih muda, ada aura tenang yang terpancar darinya.
Pandangannya sebentar menatap taman yang terbentang luas di sekitarnya, seolah menyesali waktu yang harus ia tinggalkan.
“Buku ini sungguh luar biasa, tapi mungkin aku harus menyelesaikannya nanti,” gumamnya dalam hati.
Saat ia mendekati pelayan wanita itu, raut wajah sang pelayan tampak tenang, namun ada sedikit rasa was-was di balik senyumnya.
Kaivorn menyadari, meski ia tidak menampakkan kekesalan, ada sesuatu yang membuat wanita itu khawatir.
“Tuan muda, Nyonya besar menunggu di ruang makan,” ucap pelayan itu dengan suara halus namun tegas.
Kaivorn mengangguk. “Baik, aku akan segera menemui beliau. Terima kasih, Mirelle.”
Langkahnya yang cepat membawa Kaivorn ke dalam kediaman bangsawan itu.
Aula besar dengan pilar marmer dan ukiran-ukiran rumit menyambutnya, namun Kaivorn tak begitu memedulikannya.
Kaivorn memasuki ruang makan yang megah, dikelilingi oleh ukiran kayu yang rumit dan jendela tinggi yang memancarkan cahaya matahari sore.
Di ujung meja panjang, duduk dua sosok yang sudah tak asing lagi baginya—Raelion dan Selvara, kedua kakaknya.
Mereka duduk dengan sikap tenang dan anggun, seperti dua patung yang dibentuk dengan kesempurnaan.
Kaivorn selalu merasa ada jarak yang tak bisa ia tempuh ketika melihat kakaknya, seolah dunia mereka begitu berbeda meskipun mereka memiliki darah yang sama.
Raelion menatap sekilas ke arah adiknya, dengan ekspresi yang tak terbaca.
Mata merah darahnya yang tajam menyapu Kaivorn seperti sedang menilai sesuatu.
"Kau terlambat," ucapnya singkat, nadanya dingin namun tetap formal.
Kaivorn hanya tersenyum kecil, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. "Maaf, aku sedang membaca."
Selvara yang duduk di samping Raelion, dengan tenang meletakkan gelasnya kembali ke meja.
Rambut panjang putihnya yang terikat rapi mengalir di punggung, dan mata merah yang lembut menatap Kaivorn sejenak, sebelum tersenyum tipis.
"Kau sering membaca buku akhir-akhir ini, Kaivorn. Apa yang kau baca kali ini?" tanyanya, dengan nada lebih hangat dibandingkan Raelion.
"Sword God," jawab Kaivorn sambil duduk di kursinya.
Selvara mengangguk, namun di matanya tersirat sesuatu yang sulit diungkapkan, mungkin simpati atau mungkin keraguan.
"Buku yang menceritakan leluhur?." Kata Selvara dengan senyuman lembut.
"Benar." Ucap Kaivorn tersenyum. "Aku menikmati caranya melihat dunia."
Saat mereka mulai menyantap hidangan, keheningan sesekali diisi oleh suara peralatan makan yang beradu dengan piring porselen.
Pelayan-pelayan bergerak dengan tenang, memastikan segala sesuatunya sempurna, sementara Elandra Vraquos, ibu mereka, duduk di ujung meja.
Elandra menatap ketiga anaknya, terutama Kaivorn, dengan tatapan yang tajam namun penuh kasih.
Dia merasakan ketegangan yang selalu hadir dalam dinamika antara Kaivorn dan saudara-saudaranya, terutama di hadapan Raelion.
"Ayah kalian sedang bertemu dengan Raja," kata Elandra, memecah keheningan. "Ada urusan penting yang harus diselesaikan."
Raelion hanya mengangguk singkat. "Apakah ada yang mendesak terkait urusan politik kerajaan, Ibu?"
Elandra mengangguk. "Ada kabar tentang ketegangan di perbatasan. Raja ingin memastikan bahwa keluarga Vraquos siap memberikan dukungan penuh dalam hal apapun yang mungkin terjadi."
Selvara menatap ibunya dengan serius. "Apakah kita akan terlibat lagi dalam konflik? Kapan ayah akan kembali?"
"Sulit dikatakan," jawab Elandra. "Tapi yang pasti, ayahmu selalu siap untuk apapun. Kalian semua harus begitu." Lalu, dia memandang Kaivorn, dan tatapannya melunak. "Kaivorn, apakah kau sudah memikirkan bagaimana kau ingin berkontribusi untuk keluarga ini?"
Kaivorn terdiam sejenak, merasa berat di bawah tatapan ibunya.
Pertanyaan itu, meskipun disampaikan dengan lembut, selalu menjadi duri baginya.
"Aku belum memutuskannya, Ibu." Jawab Kaivorn dengan senyuman masam. "Tapi aku yakin akan menemukan jalanku."
Raelion mendengus pelan, dan Kaivorn tahu, tanpa harus melihat, bahwa kakaknya tidak terlalu percaya pada jawaban itu.
Selvara tetap diam, meskipun ada kilatan kekhawatiran di matanya.
"Semua orang memiliki jalannya sendiri," Elandra akhirnya berkata, mencoba menyeimbangkan atmosfer yang mulai tegang.
Makan siang berlanjut dengan topik yang lebih ringan, tetapi Kaivorn tahu bahwa harapan keluarganya akan selalu membayangi setiap langkah yang ia ambil.
Kaivorn akhirnya selesai makan, dia berdiri perlahan dan berbalik.
"Aku pamit ke kamar terlebih dahulu." Kata Kaivorn sambil beranjak pergi.
Keluarganya menatap Kaivorn dengan kasihan.
Setelah Kaivorn keluar dari ruangan, Raelion ikut menyelesaikan makannya.
Dia mengelap mulutnya dengan tisu, sambil berkata. "Bagaimana bisa keluarga kita memiliki keturunan seperti dia."
Mendengar ucapan anaknya, Elandra menggebrak meja.
"Raelion!" Kata Elandra menatap tajam Raelion. "Jaga ucapanmu."
Raelion melangkah pergi dari ruang makan, "Ya, Bu" Jawabnya singkat, tanpa menoleh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments